Love What You Do, Do What You Love

Hal yang Perlu Dilakukan Agar Tidak “Burnout”

Denny Kodrat
Komunitas Blogger M
4 min readApr 14, 2024

--

Photo by Christian Erfurt on Unsplash

Saya sering mendengar dan membaca kata “burnout” hari-hari ini. Mereka yang mengatakan burnout ini menjadikan alasan untuk mengakhiri hidup. Ya, bunuh diri. Alasannya, tuntutan dan tekanan hidup tidak dapat lagi mereka elakan. “Saya sudah tidak kuat dengan derita hidup ini.” begitu kurang lebih yang saya cerap.

Setelah ditelusuri, burnout ini mengacu pada kondisi fisik, psikis dan emosi yang sangat lemah. Akibat tekanan pekerjaan dan kehidupan yang sudah pada tingkat melebihi ketahanannya. Ia lebih dari stress. Mungkin dapat digolongkan dekat dengan depresi. Marah yang kelewat batas, tantrum, atau bahkan membenci pekerjaan yang selama ini menghidupinya, hilang semangat, menarik diri dari lingkungan sosial, mudah sakit, menjadi indikasi apakah kita tengah pada fase burnout atau tidak.

Rapat manajemen di salah satu institusi pendidikan

Dalam bekerja saya memiliki prinsip yang dengan cara ini saya yakin terhindar dari burnout.

  1. Love what you do, do what you love. Cintai pekerjaan kita. Dengan cinta, kita pasti ikhlas melakukan apapun atas pekerjaan tersebut. Saya selalu mengaitkan cinta dan ikhlas secara pararel. Ikhlas itu cinta, cinta itu ikhlas. Karena pada keduanya tidak ditemukan syarat apapun. Ikhlas itu tanpa syarat. Begitupula cinta. Saya seorang guru, dosen dan pendidik. Saya mencintai profesi saya ini. Saya pernah berpengalaman mengajar di empat institusi berbeda di salah satu tahun ajaran, SMA Negeri Jatinangor, SMA Taruna Bakti, STBA Sebelas April, STIE Sebelas April. Capek, jelas. Banyak pekerjaan yang menyita waktu, pasti. Tapi saya suka, cinta. Saya jalani dengan ikhlas tanpa keluhan capek, lelah dan yang lainnya. Saya mencintai menulis. Ia merupakan passion saya. Tidak peduli, tulisan saya dibaca orang, tidak pernah viral, atau membuat saya kaya. Saya tidak peduli. Saat tulisan saya selesai, saya posting, saya senang. Titik. Saya menulis di beberapa platform selain medium, seperti kompasiana, retizen, gurusiana dan majelistausiyahcinta. Jika kita merasa stress, bahkan burnout, cek lagi. Jangan-jangan apa yang kita lakukan bukan yang kita cintai. Lebih pada beban, tuntutan dan kebutuhan. Bila demikian, pilihannya terbatas. Opsi hanya dua, (1). Tinggalkan, cari pekerjaan lain yang dapat menggantikan pekerjaan lama; atau (2). Tetap di sana, bersabar.
  2. Mengelola waktu. Posisi kita terhadap waktu sangat unik. Waktu tetap 24 jam/hari, tidak pernah berubah. Sementara, kita hanya dapat mengelola aktivitas kita sesuai waktu yang tersedia. Sebagai pegawai, tentunya ada waktu kantor (office hour), kita bekerja dan dibayar kurang lebih delapan jam per-hari. Kadang kita sibuk, banyak hal yang harus diselesaikan, dan terkadang kita menghadapi waktu luang. Pada fase manapun, saya menilai kita harus bersegera menyelesaikan tugas-tugas kita. Tidak menunda pekerjaan, apalagi menumpuk dan akhirnya membawa pekerjaan ke rumah. Selesaikan setiap pekerjaan secara cepat dan cermat. Saya sangat membenci tuntutan penyelesaian yang mendadak dan tengat waktu yang ketat. Energi kita terkuras dengan cara kerja seperti itu. Ini tidak sehat. Itulah alasannya saya harus cepat-cepat menyelesaikan tugas rutin, untuk mengantisipasi tugas-tugas mendadak yang harus diselesaikan secara cepat. Saya senantiasa menjadikan ukuran bila masih sempat menonton film, mendengarkan podcast di Youtube, saya belum sibuk. Masih lenggang.
  3. Berkolaborasi. Saya sangat merasa mudah dan dimudahkan saat bekerja dengan tim yang satu frekuensi. Miliki dan bangun chemistry dalam tim. Ini inti kolaborasi. Seberat apapun tugas, bila diselesaikan secara team work, pasti tuntas. Kerja cerdas, kerja sama dengan pembagian kerja yang proporsional, dan kerja ikhlas, saya yakini dapat menghilangkan burnout. Terlebih lagi tim yang saling menguatkan, memudahkan, mengetahui posisi mana yang harus diisi, itu akan mengakselerasi kinerja kita. Mungkin, kita sendiri tidak boleh itung-itungan pekerjaan dan uang saat bekerja dalam tim. Setiap kita memiliki kontribusi sehingga berikan apresiasi, penghargaan dan juga respect kepada rekan-rekan satu tim.
  4. Apresiasi. Baik kerja sendiri atau tim, apresiasi tetap perlu. Saat kerja sendiri, bentuk apresiasi yang saya lakukan setelah pekerjaan selesai dengan healing, me time. Nah, healing atau me time, saya kebetulan menulis, membaca buku atau mendengarkan podcast pengembangan diri/motivasi. Tapi sesekali saya memberikan apresiasi kepada diri saya dengan pergi jalan-jalan ke tempat perbelanjaan, atau ke alun-alun sambil mengamati aktivitas yang dilakukan banyak orang. Olahraga salah satu pilihan bijak. Secara tim, apresiasi dapat dilakukan dengan makan bersama, baik ditraktir atau bayar masing-masing. Memberikan pujian kepada rekan-rekan atas keberhasilan telah menyelesaikan pekerjaan. Ini penting untuk menjaga vibes positif di lingkungan pekerjaan.
Suasana di Hotel The Edge Cimahi

Pemimpin (leader) memiliki peran besar dalam mencegah burnout staf karyawan. Setidaknya, dengan memberikan porsi pekerjaan yang proporsional, dengan tengat waktu yang sebelumnya dikomunikasikan, dan pemberian umpan balik positif serta apresiasi setiap saat sudah lebih dari cukup menurunkan tensi pekerjaan.

Dalam banyak kejadian, saya menemukan komunikasi menjadi kunci mengurai masalah dan burnout. Pemimpin nampaknya penting berperan mencairkan kemacetan saluran-saluran komunikasi. Ia harus hadir di tengah-tengah timnya.

Bila demikian, bagaimana jika pemimpinnya yang mengalami burnout? Sederhana jawabannya. Ia belum layak menjadi pemimpin. Seorang pemimpin harus memiliki daya tahan, determinitas dan persistant yang melampaui rekan-rekan yang ia pimpin. Ia harus mencari cara agar tidak masuk pada zona burnout. Sehingga penting menurut saya, seorang pemimpin harus memiliki passion atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Ia menikmati setiap detik tuntutan dan beban yang menguras tenaga dan pikirannya. Sambil ia memikirkan cara sederhana untuk mengurangi tekanan yang dialami rekan-rekan satu timnya.

Singkat kata, seorang pemimpin harus sudah selesai dengan urusan dirinya, termasuk masalah burnout ini. Tidak lupa ia persiapkan salah satu dari tim terbaiknya untuk menggantikannya setiap saat.

Denny Kodrat is a passionate writer, citizen journalist and educator, based in Sumedang, West Java Province, Indonesia.

--

--