Programmer Level ‘Niat’

Merasa paling jago di sekolah, padahal malas belajar. Ya, itulah gambaran saya ketika masih menjalani masa - masa terseru dalam hidup, yaitu sebagai seorang siswa SMK Jurusan TKJ (Teknik Komputer Jaringan).

Hafidz Fairiz
Komunitas Blogger M
10 min readApr 7, 2024

--

Photo by KOBU Agency on Unsplash

Cerita

Photo by Assad Tanoli on Unsplash

Saat SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) saya bercita-cita untuk menjadi seorang programmer, meskipun saya nggak terlalu paham apa itu programmer, apa yang dikerjakan oleh seorang programmer, berapa penghasilannya dan lain semacamnya, saya hanya merasa titleprogrammer’ itu adalah sesuatu yang keren.

Sampai suatu ketika, ada sebuah festival kejuruan di sekolah saya, tepatnya di tahun kedua saya sekolah disana. Wali kelas meminta kami untuk mendatangkan beberapa perwakilan, diantaranya adalah saya (dengan beberapa anggota tim) dan teman-teman sekelas saya.

Karena jurusan TKJ (Teknik Komputer Jaringan) di sekolah saya saat itu hanya ada satu kelas saja, maka terbentuklah beberapa tim dari kelas saya sebagai perwakilan dari jurusan TKJ.

Sebagai orang yang bercita-cita menjadi programmer (dan hacker), dengan jumawa, saya mengusulkan untuk membuat sebuah website, yang saat itu belum banyak orang yang bisa membuatnya seperti sekarang, dan ide itu pun disetujui teman-teman saya tanpa pikir panjang, mereka merasa saya bisa ‘meng-gendongmereka pada festival ini. Padahal saya saja belum paham apa itu programmer, apalagi website. Saat itu yang saya tahu, website adalah friendster atau social media (sebutan sekarang).

Namun, karena merasa menjadi ‘carry’ di tim tersebut (dan memang hanya saya yang suka 'gembar gembor' soal programmer dan hacker), saya berkeyakinan bahwa ini akan berhasil. Ya, 100% berhasil.

Dengan bermodalkan internet yang masih seadanya (yaitu dengan metode kosong delapan kosong sembilan delapan sembilan empat kali), saya googling perihal apa itu website, apa itu programmer dan hal-hal yang berkaitan dengan modal kecepatan internet ala kadarnya saat itu.

Jujur saja, saya googling hampir seminggu, utak-atik sana sini, namun saya merasa sangat payah, bahkan tidak bisa membedakan apa itu website, apa itu web design dan apa itu web application. Saya masih menganggap ketiganya adalah hal yang sama (padahal beda kan ya?).

Dan nggak berhenti sampau disitu, saya juga baru tahu ada istilah yang namanya bahasa pemrograman, database, hosting dan yang lainnya.

“Hhhhhhh pindah sekolah aja kali yah” dalam hati saya.

Sumpah, saya sangat asing dengan istilah-istilah aneh itu, yang saya pikirkan sebenarnya simple aja, yaitu programmer nulis kode alias ngoding seperti di film-film dan jadilah sebuah website secara ajaib.

“Orang gila mana yang mikir kaya gitu” kata saya kepada cermin.

Photo by Markus Spiske on Unsplash

Waktu terus berjalan, dan saya pun masih 'mentok' dengan website apa yang akan saya buat, jangankan kepikiran flow process-nya, sekedar membayangkan design-nya saja saya gagal paham.

Akhirnya, demi menjaga marwah saya, saya terpaksa mencari bala bantuan ke teman saya yang beda sekolah, namun kami saling mengenal lewat pertemanan band (kami tidak satu grup band, tapi kami sering jamming bareng), yang saya tahu dia adalah seorang hacker beneran (terlihat dari koleksi CD Linux Debian Series, dimana saat itu saya hanya tahu kalau OS itu hanya Windows 7).

Dialah Dwi ‘The Savior’.

Photo by Ali Kokab on Unsplash

Setelah curhat ini dan itu, akhirnya dia (mungkin) langsung menyimpulkan bahwa saya ini adalah programmer level ‘niat’. Kenapa? Ya simple saja, karena saya belum pernah menulis kode ‘barang sebaris pun’ untuk menjadi sebuah aplikasi atau bahkan sekedar mencetak "Hello World!". Apalagi sebutan yang lebih cocok bagi orang seperti saya selain dengan programmer level 'niat’?

Dwi berpikir agak keras. Disamping waktu yang cukup terbatas dan level programming kawan-nya ini masih dalam level ‘niat’, dia juga harus memikirikan jenis project apa yang paling tepat untuk saya dan tim.

Selang beberapa saat, dia menyarankan saya untuk membuat website dengan menggunakan Joomla sebagai CMS (Content Management System)-nya dengan alasan dapat dipercantik dengan mudah (ketimbang harus ngoding menggunakan metode html, css dan js).

Mudah bagi dia, tapi mimpi buruk buat saya.

Dimulailah perjalanan belajar saya dengan Dwi, karena saya suka 'nongkrong', jadi waktu belajar saya tentunya sangat tidak produktif, lebih banyak 'sebat' sambil ngomongin soal musik atau dunia hacking ketimbang membahas perihal pembuatan website yang saya masih awam itu, dan itu berlalu berhari-hari.

Hingga tak terasa sudah H-3 menjelang festival, sekaligus hari terakhir saya belajar dirumah Dwi.

Waktu sudah sore dan saya harus pulang, namun agar terlihat hasil saya 'belajarselama ini, saya minta beberapa file untuk saya kerjakan di rumah pada malam harinya.

Lalu, dengan infrastruktur seadanya dan modal flash disk Kingston 256MB yang berisi XAMPP (Windows Apache MySql Php) Installer dan file kompresi Joomla yang diberikan oleh Dwi sebagai bahan dalam membuat sebuah website, saya mulai mencoba mempraktikkan apa yang sudah diajarkan olehnya di rumah, sendirian, sebelum saya menjelaskan konsepnya ke tim saya.

Apa yang dapat saya buat atau pelajari di rumah? Nothing!

Photo by Tim Gouw on Unsplash

Saya bingung, ini cara install-nya bagaimana? Yang saya tahu selama saya belajar di sekolah, cara melakukan instalasi sebuah aplikasi atau software cukup dengan ‘nge-klik’ 2 kali file dengan format .exe, klik next sampai finish.

Saya tidak paham saat itu, bahwa untuk sekedar sampai ke halaman instalasi CMS Joomla, harus melakukan instalasi xampp terlebih dahulu, lalu memindahkan folder joomla (yang sudah di extract) ke dalam folder htdocs dan seterusnya.

Noob.

Herannya, ketimbang saya menanyakan kebingungan saya kepada Dwi, pada malam itu saya memilih untuk main game sampai menjelang tidur.

Hebat.

Kebiasaan saya yang suka menunda-nunda pekerjaan dan lebih suka nongkrong di basecamp (tempat kelas kami biasanya melakukan kerja kelompok), membuat teman saya meragukan kondisi project yang sedang digarap.

Setiap ada teman saya yang bertanya: “Gimana pis websitenya?”

Saya jawab: “Tenang, masih ada beberapa hari, gue lagi exploit kok”

Entah malaikat apa yang bisikin saya, sehingga keluar kata ‘exploit’ pada konteks yang sebenarnya tidak terlalu tepat saat itu.

H-1 dan tim kami masih belum membuat project apa pun!

Akhirnya dengan agak memaksa, saya ajak kawan saya yang satu itu (Dwi) untuk datang ke basecamp tempat saya dan tim saya ‘bekerja’, dia memberi panduan step-by-step kepada kami sampai malam hari, memang harus diakui saat itu yang cukup serius mendengarkan panduan dia hanyalah saya, karena entah kenapa, saya merasa yang paling bertanggungjawab atas project ini (ya memang seharusnya).

Photo by Priscilla Du Preez 🇨🇦 on Unsplash

Dia ajarkan kepada kami secara praktis, dan ternyata memang ga sesulit yang saya bayangkan ketika si Dwi menjelaskan, hanya saja saya yang malas bertanya ketika ‘mentok’ ke dia saat proses pembelajaran waktu itu, terlalu asik nongkrong.

Sayangnya, dalam waktu satu hari itu, kami belum menentukan ‘tema’ apa yang akan kami bawakan untuk festival nanti, sehingga mempengaruhi design pada website yang sedang kami buat, ada yang bilang tema-nya ini ada yang bilang itu, dan tidak cukup sampai disitu, yang kami install adalah CMS, artinya harus ada konten yang ditulis di sana, macam blog medium ini.

Belum lagi soal tata letak kontennya, dan lain sebagainya, sehingga kami harus mengerjakan itu semua sampai tengah malam dan memutuskan menginap (izin ke orang tua masing-masing) karena besok harus langsung ke sekolah mempresentasikan project kami.

Saya harus pulang dan ambil baju untuk festival besok, namun karena rumah saya jauh dari basecamp, saya serahkan ke tim saya beserta Dwi ‘The Savior’ sebagai pendamping untuk melanjutkan pembuatan website tersebut selama saya pergi.

Photo by Harsh Gupta on Unsplash

Ketika saya kembali, waktu sudah malam dan kawan saya yang sangat berjasa untuk kami itu, Dwi ‘The Savior’, pamit untuk pulang, dan dia kasih tips ke kami seperti ini kira-kira:

“Nanti kalo misalnya harus ganti laptop atau mindahin ke komputer sekolah, lu pada tinggal install XAMPP sama copy folder Joomlanya yang udah di edit ini, dan taro di folder htdocs kaya yang gue ajarin tadi ya” kata dia.

“Siap boss, tenkyu yaaaa” jawab kami serentak sambil memberi senyuman paling manis kepada penyelamat kami satu itu.

Akhirnya tiba saatnya saya untuk review website-nya (karena tadi saya sempat tinggal agak lama) dan saya make sure lagi apa yang kurang karena harus dipresentasikan besok.

Ternyata, di luar dugaan saya, pada project website kami tersebut, terpampang logo sekolah kami yang mencolok, semua konten sudah diisi, ada tulisan jalan (belakangan saya baru tau namanya itu adalah marquee) yang sungguh epic sekali. Saya berkata dalam hati: “Keren anjir, besok fix mantep ini tim gue”.

Photo by Dan Cook on Unsplash

Festival dimulai jam 9 pagi, maka istirahatlah kami semua dengan tenang, ya tentunya sebelum istirahat kami ngobrol dan sebat hingga sepertiga malam dan baru bisa tidur di jam 2 pagi (kalo ngga salah), saat itu sepertinya saya sedang mimpi indah hingga akhirnya salah satu teman saya membangunkan saya dengan agak memaksa.

“Pis, bangun pis gawat pis” kata Ardi teman saya.

“Kenapa di?” jawab saya.

“Laptop gua mau dipake ama kakak gue, urgent katanya pis” lanjutnya.

“Oooh gua pikir kesiangan, kaget gua. Oke di gapapa, cuma gua pindahin dulu ya ke USB, biar nanti tinggal pindahin ke laptop lain, aman” jawab saya dengan tenang tanpa menyadari apa yang akan terjadi.

Oh iya, saat itu, jarang di antara kami yang memiliki laptop, termasuk saya pun belum punya, sehingga butuh waktu untuk mencari laptop pengganti punya kakaknya si Ardi yang kami pinjam untuk mengerjakan project website kami itu.

Setelah mencari-cari, akhirnya dapat-lah laptop pengganti untuk di install website yang telah kami buat, saat itu sudah pukul 6 pagi.

Kami lakukan pemindahan website sesuai arahan Dwi ‘The Savior’ sampai selesai.

Sukses!

Iya, proses instalasi XAMPP dan pemindahan folder Joomla tadi berhasil dilakukan, sehingga tiba saatnya kami untuk membuka browser dan mengakses “http://localhost” untuk melihat apakah wesbsite kami berjalan dengan baik atau tidak.

Sebelum saya ceritakan apa yang akan terjadi, sedikit saya jelaskan dulu perihal mengapa “http://localhost” yang harus diakses oleh browser kami:

  • Ini adalah url / alamat yang secara default, aksesnya itu mengarah ke komputer kita, sehingga secara konfigurasi itu sangat mudah, tinggal ‘next next’ saja sampai ‘finish’ tanpa perlu melakukan perubahan port yang secara konfigurasi itu sedikit lebih rumit.
  • Dwi paham, kami semua ini ‘noob’, maka dia tidak menjelaskan terlalu dalam soal ini demi menghindari pertanyaan-pertanyaan aneh yang malah kontra produktif dalam pembuatan website kami.

Lalu dengan harap-harap cemas, kami tekan enter.

Proses loading agak lama, beda dengan di laptop kakaknya Ardi semalam.

“Ah mungkin speknya ga sebagus laptop kakaknya Ardi ini mah, makanya lemot” saya mencoba menghibur diri dan teman-teman saya.

Dan..

Photo by Francisco De Legarreta C. on Unsplash

Zonk!

Error dimana-mana!

‘Merah’ sana, ‘merah’ sini, secara tata letak website sudah benar, namun konten yang sudah kami tulis tidak ada yang muncul sama sekali, nama sekolah kami keluar, namun logo sekolah kami tidak muncul!

Panik!

Saya telepon Dwi, tidak diangkat-angkat! (belakangan saya tau dia baru bisa tidur pagi hari karena semalaman membantu kami)

Ya Allah.

Saya mencoba berkali-kali, tetap tidak berpengaruh banyak, saya coba refresh berkali-kali browser-nya, tetap tidak berubah apa-apa, bahkan sempat ganti laptop saat itu, dan tetap tidak bisa.

“Ah elaaaahhhh~” ucap saya hampir menangis saat itu.

Akhirnya saya mulai mencari kambing hitam, mulai menyalahkan diri sendiri karena menunda-nunda, menyalahkan Ardi karena laptop yang sudah ‘ready to show off’ tiba-tiba tidak bisa digunakan, hingga menyalahkan Dwi ‘The Savior’ yang tidak bangun-bangun saat dibutuhkan.

Pasrah.

Photo by Tadeusz Lakota on Unsplash

Lalu saya dan tim memutuskan untuk tidur lagi dan datang ke sekolah agak siang dengan harapan festival sudah selesai.

Mimpi saya untuk membuat amaze siswa-siswi dan pemilik Yayasan sekolah kami (yang hadir pada saat itu) pupus sudah.

Namun, saya tetap datang ke sekolah tepat setelah festival dinyatakan telah usai, di sana saya mendengar cerita teman-teman saya yang berhasil mempresentasikan project / karya mereka.

Ada yang memamerkan website dengan HTML, ada yang menggunakan jasa web replika (saya lupa apa nama penyedianya) dan bahkan yang cukup menarik, ada juga yang mengaku berhasil membuat game dan akan direkrut oleh developer game kelas dunia.

Saya tidak peduli dengan itu semua, hari itu adalah hari yang paling nyebelin buat saya, hari yang sempat membuat saya sempat benci dengan istilah website atau programming, dan hari di mana saya merasa bahwa saya cuma bisa ngomong doang alias bluffing.

Photo by Warren on Unsplash

Beberapa hari setelah festival selesai, saya nongkrong lagi di tempat Dwi, saya jelasin ke dia problem yang kami alami kemarin sembari sebat.

Saya jelaskan ulang apa yang dia sempat ajarkan ke kami, saya benar-benar mempraktikkan step-by-step yang dia ajarkan ke saya, sampai di akhir penjelasan saya, dia tertawa:

“Hahahhahahahahhha… Gobloooookkk… 😆” cela dia.

“Hah? Ngapa? Ada yang salah kah? 🥲” kata saya.

“Nggak, udah bener semua kok, cuma lo kurang 1 step lagi. Eh 2 deng, dan gua lupa ngajarin, hahahhaha” kata dia.

“Aiiihhhh.. Apaan emaang yang belum lo ajariin?” kata saya penasaran.

“Ada proses yang namanya backup dan restore, jadi harusnya lo backup dulu database yang dari laptop kakaknya Ardi, abis itu restore di laptop yang satunya” jelas dia.

Lalu dia praktekkan cara itu di laptopnya, dan berhasil!

“Ah elaaaaahhhhhh~” sambil nepok jidat orang.

“Hahahahhahahahahahhahahahahahaha” puas Dwi ngetawain saya saat itu.

Key takeaways

Momen itu menjadi pelajaran berharga bagi saya untuk tidak terlalu percaya diri, jangan menunda-nunda (meskipun masih sampai sekarang) dan jangan terlalu mengandalkan orang lain.

Saya paham, bahwa sesuatu yang keren, epic, mind blowing dan sebagainya itu butuh yang namanya proses yang dijalani dengan persiapan yang serius.

“You don’t get lucky while sitting in the sofa with arms crossed doing nothing. You can be lucky only when you are prepared.” — Nesta Jojoe Erskine

Saya juga belajar untuk menurunkan ekspektasi, karena semakin tinggi ekspektasi kita, maka semakin besar kekecewaan yang akan kita dapatkan ketika ekspektasi itu meleset

Terakhir, setidaknya, saya paham, tidak ada orang keren yang ingin dilihat keren.

Photo by Josh Rakower on Unsplash

--

--