Makanan Burung kok Dimakan Manusia?

Iqbal Abizars
Komunitas Blogger M
4 min readJul 19, 2022
Foto: Tubagus Yuan

Matahari tidak ingkar janji untuk merekah tepat waktu pagi ini. Setelah menandaskan sarapan secara paripurna, saya bergegas menuju rumah seorang teman yang berprofesi sebagai petani.

Pagi ini saya diberkahi panas terik. Rencananya, saya akan ikut bantu-bantu teman menjemur gabah.

Kegiatan pagi ini terlahir oleh dorongan rasa penasaran yang saya miliki, “Apakah beras hitam maka kulit bulir gabahnya juga akan berwarna hitam?” Dan jawaban dari rasa penasaran itu seketika terhampar di depan mata ketika saya telah sampai di rumah teman tadi.

Saya ternyata telat sepersekian detik.

Bulir-bulir gabah telah terhampar di atas tanah beralaskan terpal panjang. Kulit gabah padi hitam berwarna hitam sebagaimana warna berasnya jika sudah disosoh.

Ya, meskipun tidak sepenuhnya hitam. Ada juga beberapa yang berwarna kuning kecokelatan sebagaimana gabah padi putih pada umumnya. Entah kenapa bisa begitu.

Saya kemudian merapatkan badan ke tubuh teman saya yang sedang menunjukkan beras hitam hasil dari gabah yang telah disosoh kemarin.

Saat itu juga, seorang bapak yang sedang melintas berceletuk, “Mau buat apa, Mas? Itukan makanan burung!” Heuheu.

Saya hanya bisa saling melempar pandang dengan teman saya tanpa perlu mengucap apa pun. Kami bingung harus memberikan reaksi yang seperti apa setelah beras-beras yang akan kami konsumsi disebut sebagai “makanan burung” oleh bapak yang melintas barusan.

Saya mengalami kejadian seperti ini tidak hanya sekali, tapi berulangkali.

Pada kesempatan yang lainnya, saya juga pernah mendengar celetukan yang mirip-mirip dengan celetukan bapak tadi ketika sedang bersantap siang di suatu rumah makan di kaki Gunung Sindoro.

Siang itu, saya memesan nasi hitam goreng (nasi goreng yang bahan utamanya dari beras hitam). Eh, teman saya berkomentar, “Lah, kamu dateng ke rumah makan kok malah pesen makanan burung?” saya cuma bisa meringis sambil membatin, “lha, gimana wong makanan burung itu enak je!”

Kejadian yang lain adalah saat konten saya tentang sorgum viral di TikTok. Di tengah nostalgia dan rasa penasaran yang membanjiri kolom komentar, saya juga menemukan warganet yang berkomentar bahwa sorgum itu makanan burung.

Apa benar beras hitam dan sorgum itu makanan burung?

Enggak salah juga kalau beras hitam dan sorgum itu disebut-sebut sebagai makanan burung. Banyak toko pakan burung yang menjual keduanya, baik dalam bentuk curah yang dipajang di wadah berupa kotak-kotak kayu ataupun yang sudah berbentuk kemasan dengan merek tertentu.

Beras hitam dan sorgum adalah pakan bagi beberapa jenis burung seperti perkutut dan merpati. Ada pula beras merah yang menurut pengakuan teman saya dimanfaatkan sebagai pakan ayam petarung. Harga pakan-pakan tersebut tidak murah, justru sejajar atau bisa lebih mahal daripada beras putih yang biasa manusia Indonesia konsumsi.

Udah tau makanan burung tapi kok tetep dimakan, sih?

Mungkin kita terlanjur menjadi bangsa yang sudah-amat-sangat biasa makan nasi putih. Kisah-kisah yang saya alami di atas mungkin levelnya sudah bukan lagi “belum makan nasi, belum makan”, tapi “makanan pokok selain nasi (putih), bukan makanan manusia.” Hahahaha.

Padahal kalau dipikir-pikir, manusia makan sayur toh ulat dan bekicot juga makan sayur. Manusia makan buah, kelelawar juga makan buah. Burung makan beras hitam dan sorgum?

Ya, seharusnya bukan menjadi sebuah persoalan. Lagi pula burung emprit dan gereja dan ayam juga doyan beras putih sebagaimana kita.

Keragaman sumber pangan

Bangsa Indonesia itu mesti bersyukur. Kita semua dianugerahi tempat tinggal dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Artinya, sumber pangan pokok kita juga melimpah ruah.

Beras hitam dan sorgum hanya contoh kecil. Tiap-tiap daerah punya sumber pangan lokal masing-masing (tentunya sebelum beras putih dari padi dikultuskan sebagai makanan pokok yang paling utama).

Ada jali, sagu, singkong, ubi, jagung dan lain sebagainya. Tiap-tiap sumber pangan ada variasinya yang sangat beragam.

Contohnya jenis-jenis padi lokal yang jumlahnya banyak. Begitu pula dengan sorgum yang tak kalah variatifnya. Singkong dan ubi? Jangan tanya, ada belasan atau mungkin puluhan jenis yang ada di Indonesia.

Sumber-sumber pangan tersebut nilai nutrisinya tidak boleh dikesampingkan dan disingkirkan. Kita harus berkontemplasi mungkin selama ini terlalu mengerdilkan sumber pangan non-nasi putih dan di saat bersamaan selalu mengagung-agungkan nasi putih (begitu pula dengan saya).

Selain soal nutrisi, mengonsumsi beranekaragam pangan juga penting supaya bangsa kita tidak bergantung pada satu jenis sumber pangan saja. Takutnya, kalau tiba-tiba kita dilanda kelangkaan bahan pangan yang mana kita semua sudah terlanjur bergantung kepada bahan pangan tersebut, kita bisa mengalami bencana kelaparan yang hebat.

Lebih takutnya lagi, cara mencegah dan mengatasinya adalah semata-mata dengan impor. Ya, memang impor enggak dosa. Terdengar mustahil juga jika ada suatu negara yang sama sekali tidak melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tapi kalau ternyata skema impor digunakan untuk kepentingan sebagian kecil orang saja dengan memanfaatkan keadaan buruk yang dialami masyarakat bagaimana? Hehehe.

Menjadi miris sebenarnya jika kita harus mengimpor bahan makanan padahal kita hidup di tengah-tengah sumber bahan makanan.

Pangan lokal tak cukup hanya dilirik, ia harus diperhatikan. Posisi dan fungsinya sangat penting bagi kelanjutan hidup bangsa kita. Ada kutipan menarik dari Ahmad Arif dalam bukunya yang berjudul Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan, “Kamu adalah apa yang kamu makan,” juga berarti, “Mau seperti apa bangsa kita sesuai dengan apa yang dimakan oleh bangsa kita.”

Sekian dulu curhatan dari saya. Besok-besok ketika saya sedang bersantap dengan bahan pangan selain nasi putih lalu ada orang berceletuk, “Itukan makanan burung, Mas!” saya akan balas, “iya! Burung makan ini jadi sehat.

Belum pernah denger ditemukannya kasus burung kena diabetes to? Burung-burung makan ini kicaunnya juga jadi bagus. Monggo, anda makan ini juga. Siapa tau, suara sumbang anda bisa jadi suara merdu.”

Penulis: Iqbal Abizars
Penyunting teks: Yustin Paramita Dewi
Foto: Tubagus Yuan

--

--