Mantra Protokol Kesehatan

Anggit Rizkianto
Komunitas Blogger M
5 min readJun 19, 2020
Foto: Fakhri Hermansyah/ ANTARA

Jika merujuk kamus, mantra dapat didefinisikan sebagai perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan ghaib. Umumnya mantra terdiri dari beberapa kata yang unik dan terkadang mengandung rima. Ada juga beberapa mantra yang mengandung kata-kata yang sulit diucapkan, sehingga orang harus berlatih dan menghapalkannya.

Di beberapa daerah, mantra dikenal dengan istilah jampi-jampi, umumnya digunakan masyarakat untuk pengobatan, menolak bala, mengusir setan dan siluman atau sekadar berkomunikasi dengan makhluk dunia lain.

Masyarakat Indonesia cukup akrab dengan mantra, khususnya masyarakat tradisional yang masih memegang erat kebudayaan lokal. Penggunaan mantra pada masyarakat tradisional Indonesia memang bermacam-macam bentuk dan tujuannya.

Mereka yang memproduksi mantra adalah orang sakti, bisa dukun, paranormal, pawang, atau tokoh spiritual. Mereka tentu bukan orang sembarangan, karena kepiawaiannya akan suatu ilmu dan pengetahuannya akan hal-hal ghaib tak perlu diragukan. Sehingga kata-kata dalam mantra yang mereka buat banyak diikuti, dianggap benar dan absolut.

Untuk merapal sebuah mantra tentu tidak bisa sembarangan, perlu keyakinan dan kesungguhan hati. Konon, jika ada orang yang merapal mantra tapi tidak memiliki keyakinan terhadap kekuatan magis dibalik mantra, maka hanya akan sia-sia belaka.

Mantra tidak akan bekerja dengan baik, meskipun kata-kata dalam mantra itu penuh dengan metafora yang dapat menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Oleh sebab itu, perlu adanya bonding antara mantra dengan orang yang merapal mantra.

Di kampung halaman saya, ada banyak dukun yang dipercaya masyarakat dapat memberikan pengobatan, mengusir hantu atau siluman, bahkan menolak bala seperti kesialan hidup dan bencana alam. Di saat musim-musim tertentu, para nelayan kadang kesulitan mendapatkan ikan sehingga mereka meminta pertolongan dukun untuk membuat mantra:

“Air pasang telan ke insang,

Air surut telan ke perut,

Renggutlah,

Biar putus jangan rabut"

Mengapa sampai ada orang memutuskan untuk memakai mantra? Pada masyarakat tertentu biasanya karena ketidakberdayaan atau keputusasaan. Ada cobaan hidup yang tidak bisa diselesaikan, sehingga mereka mencari tempat pertolongan dan perlindungan kepada orang yang dianggap memiliki kesaktian.

Sakti dalam sudut pandang mereka adalah sesuatu yang ghaib. Faktor lainnya adalah kemalasan. Rasa malas yang akut kadang membuat orang mencari “jalan pintas”.

Di kalangan agamawan, istilah mantra seringkali jadi kontroversi. Tentu dikarenakan praktik penggunaan mantra yang dianggap menyeleweng dari ajaran agama. Mempercayai adanya kekuatan ghaib dibaliknya yang dapat memberi pertolongan dianggap perbuatan syirik karena menyekutukan Tuhan. Akan tetapi, jika kita kembali pada definisi mantra itu sendiri dan menghilangkan aspek perbuatan menyekutukan Tuhan, semestinya istilah mantra ini tidak jadi masalah.

Sedikit mengutip apa yang pernah dikatakan Ivan Lanin:

“kata itu netral, perspepsi manusia yang membuatnya liar.”

Jika kekuatan ghaib yang diyakini adalah kekuatan Tuhan, maka mantra tak ubahnya seperti do’a. Jawaban Tuhan atas do’a-do’a manusia tentu bekerja secara ghaib. Lalu, bukankah do’a dalam agama itu sangat dianjurkan? tentunya dengan usaha-usaha yang dilakukan manusia dengan mengikuti hukum-hukum Tuhan.

Ada banyak “mantra” dalam ajaran agama yang disebut do’a, baik berupa kutipan ayat-ayat suci maupun untaian kata kebaikan yang diajarkan oleh para alim ulama. Banyak permohonan keselamatan hidup dari mereka yang merapalkannya.

Jika tadi saya mengatakan mantra banyak digunakan oleh masyarakat tradisional, tetapi pada kenyataannya mantra juga digunakan oleh masyarakat modern. Mereka ada di kota-kota bahkan pusat pemerintahan. Di tengah ancaman pandemi covid-19 hari-hari ini, mereka memproduksi mantra untuk menghalau virus.

Ya, mantra itu adalah mantra protokol kesehatan. Pemerintah seringkali merapal mantra ini, yang kata-katanya antara lain:

“ Jaga Jarak

Rajin cuci tangan

Pakai masker

Hindari kerumunan

Menerapkan etika batuk

Tidak berboncengan

Menghubungi fasilitas kesehatan jika ada gejala sakit”

Kadang ada tambahan kata-kata dalam mantra untuk tempat-tempat tertentu, seperti pasar, mall, kendaraan umum, tempat ibadah dan perkantoran. Apakah mantra-mantra itu juga mengandung kekuatan ghaib di dalamnya? Tentu hanya pihak pemerintah yang tahu.

Tidak sebagaimana mantra lain, kata-kata dalam mantra protokol kesehatan tidak terlalu unik, juga tidak mengandung metafora dan rima. Barangkali agar lebih mudah dimengerti dan mudah diucapkan oleh semua jajaran pemerintah mulai dari presiden, menteri, juru bicara covid, polisi, TNI, gubernur, wali kota, bupati, camat, lurah, kepala desa, hingga ketua RT/RW.

Ada yang bilang mantra protokol kesehatan hanya itu-itu saja. Artinya mantranya selalu tetap, baik pada masa-masa awal pandemi, PSBB maupun new normal. Justru hal itu bukti kesaktian mantra protokol kesehatan, menunjukkan bahwa ia absolut.

Jika diperhatikan, mantra protokol kesehatan lebih dari sekadar kata-kata sakti untuk menghalau bencana virus, tetapi juga menghalau kebisingan pro-kontra di masyarakat. Misalnya saja saat muncul keramaian di pasar atau mall, seorang kepala daerah tinggal mengatakan bahwa sudah ada protokol kesehatan lalu merapalkan mantranya di hadapan media.

Begitu juga saat terjadi kerumunan di kendaraan umum, seorang menteri tinggal mengatakan bahwa mereka sudah membuat protokol kesehatan, kemudian merapalkan mantranya. Dengan demikian, segala kegaduhan sudah tertangani dengan baik. Tampaknya semua persoalan yang disebabkan oleh covid-19 selesai dengan adanya mantra protokol kesehatan. Luar biasa sakti, bukan?

Masalahnya, sebuah mantra hanya akan bekerja dengan baik jika yang merapalkannya memiliki keyakinan akan adanya kekuatan dibalik mantra. Maka, sudah seharusnya pemerintah juga yang memiliki keyakinan akan kekuatan dibalik mantra protokol kesehatan itu. Jika tidak, maka mantra tersebut hanya akan sia-sia dan akan membahayakan masyarakat. Lebih berbahaya lagi jika mantra protokol kesehatan hanyalah “jalan pintas” karena ketidakberdayaan atau keputusasaan.

Mengingat jumlah kasus infeksi virus covid yang semakin banyak jumlahnya dan kian tak terkendali, di sisi lain roda perekonomian harus kembali berjalan dan masyarakat tidak mungkin terus-terusan di rumah. Namun, sebagai kaum beragama sebaiknya kita tetap berbaik sangka. Tentunya mantra protokol kesehatan bukan “jalan pintas” karena ketidakberdayaan apalagi kemalasan, karena pemerintah sudah bekerja dan menimbang baik-baik sebelum mengambil keputusan.

Perlu untuk menyebarkan dan menanamkan mantra protokol kesehatan kepada masyarakat, sehingga mereka benar-benar meyakininya dan turut merapalkannya juga satu sama lain. Dengan keyakinan yang teguh, kita juga terus berharap adanya kekuatan ghaib dari langit sehingga persoalan hidup yang disebabkan oleh pandemi covid segera diangkat oleh-Nya.

Barangkali ada masyarakat yang sulit meyakini betul kekuatan mantra protokol kesehatan karena nalarnya yang terus bekerja. Sebagai solusinya, mantra protokol kesehatan perlu diiringi juga dengan mantra berupa do’a-do’a keselamatan dalam ajaran agama. Kita mengharapkan keterlibatan Dzat Yang Maha Agung selagi terus berusaha.

Do’a-do’a sapu jagad yang memohon keselamatan dunia akhirat sudah sepatutnya selalu dirapalkan. Di tengah ketidakberdayaan sebagai rakyat jelata yang tak dapat berbuat banyak, maka keyakinan akan kekuatan dari mantra berupa do’a itu akan kuat. Dengan demikian, maka mantra akan bekerja dengan baik.

--

--