Mao Zedong, Burung Pipit, dan Bencana

Muhammad Khoirul Wafa
Komunitas Blogger M
4 min readJan 24, 2021

--

Manusia mungkin memiliki cara tersendiri untuk bahagia. Strategi yang matang dan dengan optimis dicanangkan demi cita-cita mulia. Namun manusia hanya dapat berencana, juga mereka tak mampu begitu saja menolak karma.

Mao Zedong naik ke tampuk kuasa. Ia ingin majukan negerinya. Tak ingin rakyatnya kelaparan. Tentunya di negeri yang baru saja menemukan masa depannya, ia mendamba hari esok yang cerah.

Tanah pertanian yang terbentang luas adalah lumbung pangan. Namun, mata Mao Zedong melihat sebuah ancaman. Bukan Jepang atau Amerika Serikat, namun ia menangkap bahwa ada musuh alami bagi kelestarian makanan; burung pipit.

Logika mengatakan, burung pipit bisa mengancam hasil pertanian. Mereka adalah hama. Mereka mencuri biji-bijian para petani dengan jumlah yang tak wajar, kata orang. Lama-lama bila dibiarkan, hasil panen bisa jadi jatuh. Ketersediaan pangan akan menurun drastis. Tapi jika mereka punah, lumbung pangan mungkin akan terisi melimpah.

Kita juga mungkin akan bilang demikian. Saya pun begitu, waktu melihat dulu tanaman padi di sawah nenek yang terhampar menghijau, telah jadi surga untuk burung-burung gereja. Dengan segala cara nenek mengusir hama itu pergi, pakai orang-orangan sawah, atau kaleng bekas terpaut tali yang akan amat berisik jika ditarik dari gubuk sawah.

Perang melawan Chiang Kai Shek sudah usai bagi Mao Zedong. Sekarang adalah waktunya perang melawan hama burung pipit, yang mengancam masa depan Republik Rakyat China yang baru bangkit. Maka mendekati tahun enam puluhan, Mao Zedong mengeluarkan perintah genosida bagi burung pipit.

Akhirnya burung pipit dibasmi dimana-mana. Ditembak, ditangkap, dan sarang mereka dimusnahkan. Dengan berbagai cara, orang China mencegah agar burung pipit tak dapat makanan.

Itu adalah hari-hari yang suram bagi sejarah para burung. Mereka terperangkap di negeri yang luas, dimana mereka sudah seperti pemberontak yang hendak meruntuhkan negara. Terbang kemanapun, jangan sampai ketemu manusia, atau tamatlah riwayat hidup mereka.

Rencana Mao Zedong sukses besar. Perlahan-lahan populasi burung pipit menurun drastis. Mungkin sudah diambang kepunahan. Masa depan cerah tentang panen yang berlimpah tak "dicuri" sedikitpun oleh hama, sudah didepan mata bagi Mao Zedong. Ia pikir, apa yang dilakukannya sudah benar.

Namun hari yang cerah mendadak berganti badai tanpa pertanda mendung. Burung pipit hampir punah, maka populasi hama lain mendadak meningkatk drastis. Tidak ada yang memangsa ulat atau belalang lagi. Maka hama itu bisa beranak pinak hingga mencapai ledakan populasi. Mereka tumbuh tak terkendali. Kiranya tiada tindakan yang sepenuhnya bebas risiko.

Lahan pertanian dibanjiri hama yang jauh lebih lapar dan ganas daripada burung pipit. Gagal panen terjadi dimana-mana. Hingga akhirnya tak ada yang bisa dimakan lagi oleh manusia. Kelaparan diambang mata. Musibah dan bencana nasional menjadi ujian besar bagi negeri yang masih hijau itu.

China mengalami musibah kelaparan luas. Padi yang menjadi makanan pokok, tandas digilas hama. Bahkan saking buruknya bencana kelaparan waktu itu, desas-desus mengatakan sampai terpaksa harus ada kanibalisme. Alih-alih hasil pertanian melimpah, justru impian tentang panen raya hanya tinggal sejarah.

Keegoisan genosida burung pipit tak disangka menyebabkan efek domino yang luar biasa. Tragedi ini konon disebut sebagai salah satu bencana buatan manusia yang terparah dalam sejarah. Dimana selama bertahun-tahun musibah ini tak kunjung hilang, hingga puluhan juta nyawa konon harus melayang.

Mao Zedong mungkin tersedak saat mendengar kabar itu. Seharusnya ia berterima kasih pada burung pipit, bukan malah membasminya. Memutus rantai makanan berarti telah menggoyahkan keseimbangan alam.

Alam bekerja dengan mekanisme yang kadang tak mudah kita mengerti. Baik dan buruk menjadi perspektif, dan akhirnya yang nampak adalah kesimpulan bias. Siapa sebenarnya yang jahat?

Di alam bebas, sesuatu yang manusia anggap sebagai hama sekalipun, mungkin sebenarnya adalah suatu cara yang indah bagi bumi agar tetap hijau dan sejuk ditinggali. Manusia kurang melihat lebih jeli.

Dan mungkin bencana itu adalah sebuah karma bagi manusia yang enggan berbagi biji-bijian pada makhluk hidup lain. Banyak orang ingin menumpuk kekayaan sebanyak mungkin, tapi akhirnya mereka justru tak mendapat apapun. Takdir mengalahkan nalar manusia.

Manusia berpikir dengan logika, tapi mekanisme kehidupan tidak. Hidup tidak pernah memiliki rumus satu tambah satu sama dengan dua. Tidak pasti, maka seharusnya kita tak terlalu membusung dada untuk terlalu percaya diri.

Kita tidak bisa sepenuhnya mengandalkan rencana. Sebab doa kadang adalah upaya yang sebenarnya efektif, sayang sering terabaikan dengan logika matematis, seperti "jika aku rajin menabung, dan rajin bekerja, aku akan kaya."

Nyatanya, tanpa disadari ia justru menjelma jadi budak ambisiusme untuk selama-lamanya.

CATATAN: tragedi "tiga tahun kelaparan besar" yang melanda China sekitar tahun enam puluhan sebenarnya tidak hanya disebabkan genosida besar-besaran pada burung pipit saja. Tapi ada beberapa faktor lain yang menyebabkan hal itu bisa terjadi. Pemusnahan burung pipit adalah salah satunya.

Jika ingin tahu lebih banyak, bisa membaca salah satu buku karya sejarawan Frank Dikötter; Mao's Great Famine.

--

--

Muhammad Khoirul Wafa
Komunitas Blogger M

Redaktur di aswajamuda.com, alumus Ma'had Aly Lirboyo angkatan 2020 M. Tinggal di Wonosobo. Bisa disapa di Twitter/IG @rogerwafaa