Mari Bertengkar tentang Selera Musik

Edwin Fauqon
Komunitas Blogger M
3 min readApr 29, 2024

Kamu tidak harus menyukai apa yang orang sukai dan, begitu pula sebaliknya, kamu tidak bisa memaksa orang mendengar apa yang menurutmu enak didengar.

Suatu waktu saya meminta teman-teman di Instagram untuk menulis topik di open question story. Kebiasaan untuk menambah relasi dan berdiskusi (baca: caper). Setelah itu, saya akan memberikan opini tentang apapun itu dengan serampangan. Ada yang memberi topik soal pelet, representasi muslim di industri hiburan barat, dan mermaid – tanpa memberi konteks apapun.

Beberapa saya tanggapi dengan bercanda, sisanya saya pikir matang-matang untuk mencegah blunder yang mencederai imej. Selain itu, saya juga berharap orang akan mengira bahwa saya orang pintar dan berbudi pekerti yang luhur. Padahal, untuk topik-topik yang asing di pikiran, saya pasti riset kecil-kecilan dulu. Ya, minimal bersumber dari 72 jurnal yang terindeks scopus dan tervalidasi oleh mba senjatanuklir.

Umumnya, setelah saya memberi opini, tidak ada yang memberikan tanggapan balik. Kalaupun ada, cuma satu-dua. Ada yang setuju dan menambahi dengan sudut pandangnya. Ada pula yang kurang sepakat dan menjelaskan kenapa dia tidak berpikiran sama – tidak mengoreksi apalagi memaksakan pola pikirnya seolah opini saya salah. Kedua jenis respons tersebut saya sambut baik.

Menyenangkan untuk mengetahui bagaimana otak digunakan di kepala orang lain.

Meski begitu, ada sesekali balasan yang menarik hingga bikin saya heran dan takjub secara bersamaan. Saya tidak mengatakan opini itu cemerlang maupun tolol bukan kepalang – tapi mengetahui ada orang memiliki opini yang tak awam selalu bikin saya tertarik untuk menilik proses berpikirnya.

Suatu waktu, saya ditanyai mengenai topik k-pop.

Opini yang saya berikan, intinya, saya mengagumi bagaimana industri musik Korea Selatan, terutama talent management dan strategi pemasaran, bisa berkembang dan mendunia. Mereka seolah tak pernah kehabisan cara untuk menghadirkan boy/girlband baru untuk menjadi fenomena global – atau minimal di Indonesia. Meski begitu, di sisi lain, bagi saya pribadi, lagu k-pop sama seperti lagu-lagu lainnya alias tidak ada yang istimewa.

Saya tidak membatasi diri untuk mendengar satu genre. Beragam genre keluar-masuk telinga. Mulai dari pop, rock, RnB, k-pop, bahkan dangdut/koplo. Mereka bergiliran mengiringi hari-hari biasa saya. Tidak ada yang istimewa. Meski begitu, data bisa saja menunjukkan genre mana yang paling sering didengar dalam setahun. Tapi, penilaian pribadi saya yang buta nada dan teknis permusikan menyimpulkan bahwa semuanya sama saja.

Lalu, ada satu orang yang membalas opini saya dengan menilai selera saya terlalu kuno karena tidak menyukai k-pop. Sebelumnya, orang yang sama, juga pernah mengatakan bahwa non-kpop juga suka cari gara-gara dan menganggap saya adalah salah satunya.

Dia bebas beropini seperti itu, sama halnya saya punya kuasa untuk tidak mengamini pendapatnya bahwa musik k-pop adalah genre termutakhir yang ada. Tidak perlu ada ketersinggungan berlebihan yang berujung pada saling hina. Buat apa juga membela orang yang menang-kalah argumen yang kita berikan tak mengubah dan mempengaruhi apapun – termasuk kehidupan musisinya?

Lebih penting lagi, buat apa meributkan selera musik?

Musik, sebagai salah satu bentuk seni, bisa jadi punya kedekatan emosional tertentu dengan seseorang. Jadi, masa bodoh soal instrumen apa yang dipakai, efek bass apa yang digunakan, serta tempo ketukan drum yang dipukulkan, kalau memang lagu – atau kasarnya, bunyi-bunyian itu, memberi rasa tertentu yang menyenangkan, ya, yasudah.

Penilaian yang sahih untuk digunakan melabeli musik jelek atau tidak harusnya berhubungan dengan urusan teknis. Apa lagu tersebut di-mixing dengan rapi, tinggi nada antar instrumen saling melengkapi atau tidak, dan tetek bengek lainnya. Bukan perihal suka-tidaknya orang lain.

Tapi, kalau masih mau meributkan selera musik, ya monggo. Siapa saya bisa mengatur penggunaan waktumu.

--

--