Mari Menyelam dalam Keheningan

Sebuah Kontemplasi

Ventino
Komunitas Blogger M
3 min readJun 7, 2024

--

Photo by Les Argonautes on Unsplash

Bagi sebagian orang, mereka akan menganggap dunia ini terlalu berisik untuk ditinggali. Begitu pun saya. Walau begitu, perlu saya garis bawahi bahwa saya tidak ingin mengkategorikan seseorang dalam lingkup introvert atau ekstrovert jika membicarakan hal-hal semacam ini.

Dunia yang berisik. Sebuah kalimat yang selalu terngiang dalam pikiran saya. Pikiran itu akan hinggap ketika malam datang dan mengganggu jiwa yang tenang. Sebab, tidak hanya dunia yang berisik dan gaduh, tetapi benak kita pun sama berisiknya.

Ketika membuka ponsel atau komputer, hal-hal ‘berisik’ akan hadir lewat huruf dan frasa. Keluar dari rumah, bunyi tangisan bayi dan las menggema. Menyentuh jalan raya, suara kendaraan berdiesel menyentak telinga. Seolah dikepung oleh kebisingan, rasanya lebih baik menghilang dan pergi ke “dunia putih”.

Hidup sendiri jauh dari orang-orang dan hal yang berisik mungkin menjadi keinginan sebagian orang di dunia ini. Siapa juga yang tidak ingin ketenangan? Apalagi ketika hidup kita tiap harinya dikelilingi oleh manusia-manusia dengan berbagai jenis mulut.

Saya tahu, kebanyakan orang-orang tidak akan atau sulit untuk melepaskan diri dari ponsel. Suara notifikasi entah dari media sosial atau aplikasi chating, kadang (selalu) merangsang telinga kita. Dimana rangsangan itu akan diteruskan ke saraf otak dan memberi dopamin yang kita inginkan. Sehingga membuat, ketika mendengar bunyi notifikasi, tubuh kita langsung bergerak untuk menyalakan ponsel dan melihat pesan yang masuk.

Jika kebisingan kecil semacam itu sulit untuk kita hindari, apa daya diri kita yang menginginkan ketenangan. Sebab, mau bagaimana pun, setidaknya kita perlu mengistirahatkan pikiran kita dari segala keramaian. Beri waktu untuk tubuh kita bergerak dalam keheningan.

Namun, keheningan mungkin bukan sesuatu yang baik pula. Terkadang keheningan malah membuat otak kita berimajinasi sendiri dan menciptakan skenario yang bisa jadi lebih mengganggu dari kebisingan yang ingin kita hindari. Lagi pula, seperti yang ditulis dibuku-buku pelajaran sekolah, kita ini makhluk sosial — hidup dalam kebisingan dan mati dalam keheningan.

Bahkan orang-orang yang punya keingingan untuk hidup sendiri dan bekerja sendiri (individualis), perlahan menunjukkan hidung mereka, sadar bahwa hidup ini tak bisa hanya mengandalkan diri sendiri.

Dunia berubah sepanjang waktu. Waktu-waktu yang bergerak cepat itu membawa kita dalam era yang modern ini. Semakin maju negara kita dan dunia, mungkin hidup dalam keheningan hanya menjadi sebuah mimpi bagi banyak orang.

Slogan “Mari Menyelam dalam Keheningan” mungkin akan ramai dituliskan lewat pamflet atau poster di masa depan nanti. Orang-orang akan banyak yang mengikuti pelatihan meditasi dan merencanakan berlibur ke gunung yang sepi. Melupakan keramaian dalam kota dan perlahan lepas dalam keterikatan teknologi. Lebih mencintai alam dan hidup dalam ketenangan yang nyata. Tapi, apa tetap bisa lepas dari kebisingan? Jika bisa pun, harga apa yang perlu dibayar?

Bukan sesuatu yang mudah untuk berpikiran bahwa segalanya bisa berubah hanya dalam beberapa waktu saja. Bisa saja apa yang saya sampaikan di atas bukanlah sesuatu yang betul-betul akan terjadi. Lagi pula, segala hal itu adalah sebuah opini yang dibentuk. Walau opini, tulisan ini adalah satu buah bentuk kebisingan dalam benak saya. Dan saya hendak membagikan kebisingan itu kepada kalian yang membaca. Jadi bisa dikatakan, kalian yang tengah membaca kalimat-kalimat ini adalah seseorang yang tengah merasakan arti dari kebisingan itu sendiri.

Selamat menikmati dunia yang BERISIK. Dan jangan lupa menyelam dalam KEHENINGAN.

Sebab dalam kesunyian, sesungguhnya kau bisa mendengar ingar-bingar yang merdu.

— Bernard Batubara

June 2024

--

--