Memaknai Kembali Bhinneka Tunggal Ika melalui tragedi Mei 1998.

Muhammad Irvan
Komunitas Blogger M
3 min readDec 23, 2023

Banyak hal yang dapat dikagumi dari keelokan bumi pertiwi, salah satunya adalah keanekaragaman suku, ras, budaya serta agama menghiasi seluruh pulau Nusantara. Berbagai perbedaan tersebut diikat dengan satu semboyan yang memaknai kekompakan insan bumi pertiwi meskipun terdiri dari berbagai latar belakang, Bhinneka Tunggal Ika.

Benar jika kekayaan budaya menjadikan kita satu langkah lebih maju dari bangsa lain. Namun akan muncul pertanyaan berikutnya, apakah resiko gesekan antar anak bangsa akan muncul dengan sebab perbedaan? bagaimanakah kiat untuk menyikapi konflik yang muncul dari adanya perbedaan?

Ilustrasi Toleransi beragama di Indonesia

Ironis memang, Bumi pertiwi yang dikenal dengan keelokan budayanya justru memikul cerita kelam yang muncul dari gesekan perbedaan. Banyak kasus kelam seputar diskriminasi SARA tercatat seiring berjalannya Republik ini. Salah satu yang paling membekas di memori kita adalah Tragedi Mei 1998.

Siapa yang bisa melupakan tragedi Mei 1998? Tragedi yang diawali dengan krisis moneter yang dialami oleh Indonesia, yang berdampak pada anjloknya kondisi negara kita, Jatuhnya nilai Rupiah terhadap Dollar, kelangkaan serta meningginya harga barang pokok, kenaikan harga bbm yang membuat kondisi perekonomian negara kita memburuk. Ditambah praktik KKN yang begitu masif pada masa Orde Baru membuat masyarakat muak dan memutuskan untuk menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya.

Aksi demonstrasi yang pada awalnya diikuti oleh segelintir mahasiswa, lambat laun menjadi sebuah aksi yang cukup besar. Dimana seluruh elemen masyarakat turut terlibat dengan motivasi untuk mengakhiri penderitaan yang sama. Tetapi keterlibatan oknum membuat aksi demonstasi menjadi ricuh. Pertumpahan darah pun terjadi antar sesama anak bangsa. Beberapa nyawa melayang sia-sia bahkan sampai sekarang tidak dijumpai kejelasannya oleh keluarga duka.

Hal tersebut diperparah dengan kondisi massa yang menjadi liar. Etnis Tionghoa pun menjadi sasaran karna stereotip kedekatan mereka dengan penguasa serta kemudahan mereka dalam meraup pundi-pundi kekayaan. Massa menjadi semakin tak terkendali, seluruh harta Etnis Tionghoa dijarah secara brutal. Bahkan perempuan-perempuan Tionghoa diperkosa dan dibunuh.

Tragedi kerusuhan Mei 1998 : Penjarahan yang dilakukan oknum

Upaya mereka untuk membuka kasus pun dibungkam dengan dibunuhnya Ita Martadinata seorang aktivis Tionghoa jelang sehari sebelum memberi kesaksian kepada PBB. Bukti bahwa tragedi tersebut dijalankan secara Sistematis. Sehingga korban memilih bungkam dan terus menjalani hidup meskipun trauma menghantui ketimbang memberi kesaksian dengan nyawa sebagai taruhan.

Sungguh tragedi yang memilukan bagi Bumi Pertiwi. Apakah negara kita justru darurat toleransi di tengah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang kita banggakan? apakah negara kita justru tidak aman bagi minoritas di tengah negara yang menjamin setiap warga negara memiliki hak yang sama dan diakui oleh undang-undang? Lantas apa yang bisa kita lakukan?

Memaknai Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya sekedar terucap di bibir saja, namun bagaimana Bhinneka tunggal Ika dapat hadir dalam sendi-sendi kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Pemerintah serta masyarakat harus hadir dan menerapkan nilai-nilai toleransi sesuai dengan koridornya masing-masing.

Pemerintah harus hadir sebagai pelindung bagi kaum minoritas tanpa melupakan hak serta perhatian kepada kaum mayoritas. penguatan hukum sebagai unsur pelindung bagi setiap warga negara perlu ditingkatkan dalam rangka meningkatkan nilai toleransi. Masyarakat juga harus saling menghormati, mementingkan kebersamaan dan persatuan diatas kepentingan pribadi dan golongan serta menerapkan nilai saling memiliki dan tenggang rasa yang kuat antar sesama menjadikan “Bhinneka Tunggal Ika” benar-benar hadir di tengah kehidupan masyarakat.

Sehingga Impian kita untuk melihat Indonesia Emas semakin dekat menuju kenyataan bila seluruh unsur yang hadir di republik ini bergandengan tangan bersama-sama menerima semua perbedaan dan bersatu dalam membangun negeri.

--

--