Memaknai Pergaulan Sehari-hari Sebagai Proses Ekonomi

sebuah esai tentang mekanisme permintaan dan penawaran atas nilai-nilai dalam perspektif ketaksadaran

askell
Komunitas Blogger M
6 min readApr 10, 2021

--

Saya kerap jengkel dengan orang-orang. Setiap menenggelamkan diri dalam beberapa pergaulan yang berbeda, saya akan senang untuk sesaat, lalu setelahnya ditinggalkan pada ketidakpuasan. Perlu waktu lama menyepi dan menepi dari keramaian, agar saya bisa sedikit menemukan kejernihan, pada cara saya mendekatkan diri dengan orang-orang.

Dalam waktu-waktu menepi tersebut, saya banyak merenung tentang keterasingan dalam pergaulan keseharian. Mungkin, saya hanya sedikit dari banyak orang yang sama-sama terasing — entah terasing dari dirinya sendiri atau lingkungannya.

Kadang, saat orang terbiasa melihat dalam gelap, orang bisa melihat segalanya tampak di wajah-wajah manusia dalam pergaulan sehari-hari — hal-hal yang mereka tekan dan sembunyikan, ketidakbahagiaannya, kekecewaannya, kelaparannya. Semua terlukis di wajah orang-orang yang coba ditutupi dengan senyum tak meyakinkan, bedak tebal dan topeng ceria setiap hari, lalu setiap orang coba meyakinkan dunia bahwa mereka menjalani hidup hebat dan luar biasa.

Kalau orang melihat, ia bisa melihat kelelahan dan ketidakpuasan itu dalam wajah-wajah manusia. Coba, tanyakan ke orang-orang, tentang dirinya dan segala yang dianggapnya berharga, impian dan nilai-nilai hidupnya; dan orang-orang yang ditanya akan akan diam melongo.

Kita memanggul kebebalan kita setiap hari, bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang, tapi kita tak pernah benar-benar terhubung secara dalam atau lebih manusiawi, karena orang tak pernah benar-benar tahu apa yang dingininya.

Selama perenungan mendalam dan tahun-tahun keterasingan itu, saya sadar bahwa saya selalu menarik orang-orang yang sama, dengan masalah-masalah yang sama dalam kehidupan dan pegaulan sehari-hari.

Padahal, saya sudah mencemplungkan diri di lingkungan yang berbeda, dengan periode yang berbeda pula. Orang-orang yang saya tarik ke orbit saya biasanya adalah orang-orang yang punya problem mental atau diri, punya kedekatan ideasional, dan datang sekadar untuk bercerita atau sama-sama belajar.

Di sisi lain, orang-orang yang paling dekat secara emosional dengan saya, justru adalah orang-orang dengan kepribadian yang sepenuhnya berbeda dengan saya, bagai bumi-langit. Saya bisa menikmati kesendirian, sementara orang-orang yang dekat secara emosi dengan saya tidak tahan lama-lama tidak mengobrolkan sesuatu atau tidak melakukan apa-apa.

Saya menceburi banyak kolam; secara abstrak dan konkret, secara ide dan pergaulan. Dalam hal tertentu, kekerasan kepala saya baru bisa dikikis dengan nencemplungkan diri secara langsung pada lingkungan tertentu, mencobainya airnya, mencecapi rasanya, lalu meludahkannya keluar dengan ketidakpuasaan yang menjengkelkan.

Pola tak sadar ini terus berulang, membuat saya berpikir, kalau bukan orang-orang, mungkin memang ada kekeliruan, atau kesesatan pada cara saya bergaul dengan orang-orang dan mendekati dunia.

Dalam pergaulan sehari-hari, dan dalam banyak tindakan-tindakan sosial kita, seringkali orang berpikir bahwa keputusan untuk memilih lingkungan, tempat, orang-orang untuk bergaul, dibuat atas dasar paling rasional dan paling masuk akal. Kita bergaul dengan kelompok sana, atau dengan orang-orang itu, karena secara kepentingan, kelompok atau orang-orang itu yang paling mungkin memenuhi kepentingan tersebut.

Kita merasa sadar dengan pilihan-pilihan kita, dengan lingkungan, teman-teman, atau ide-ide yang kita dalami. Nyatanya, pilihan-pilihan yang kita anggap sadar itu, lebih banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek tidak sadar di belakang layar. Dan kita sendiri tidak pernah benar-benar tahu, atau mencari tahu, apa dan mengapanya.

Homo Economicus, manusia sebagai mahluk ekonomi, berpandangan bahwa dalam proses ekonomi, manusia senantiasa memenuhi kepentingan personalnya atas dasar dan motif rasional. Secara luas, ekonomi di sini mengacu pada segala bentuk pendistirbusian sumber daya atau pertukaran nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat.

Selain alam, manusia merupakan sumber daya yang menghasilkan nilai-nilai. Konsep nilai di sini diartikan sebagai segala sesuatu yang dianggap berharga oleh seseorang atau masyarakat. Nilai adalah satuan atau ukuran atas sumber daya yang dihasilkan manusia atau alam.

Rasanya, proses ekonomi jauh melampaui aspek-aspek kesadaran dan material semata. Barangkali, bila memperluas makna ekonomi sebagai pertukaran nilai-nilai dalam pergaulan sehari-hari, dan konsepsi soal kesejahteraan dan kemakmuran diperdalam lagi maknanya, sebagai pemenuhan aspek non-material diri, maka pengibaratan interaksi sosial sehari-hari sebagai proses ekonomi bisa dimaklumi. Atau, bila pertanggungjawaban ilmiahnya kurang, anggap saja aspek seni selalu menggunakan metafora untuk menggambarkan suatu fenomena.

Dalam perspektif humanis dan budaya, nilai di sini tidak terbatas atas aspek material semta. Segala hasil dari ekspresi kedirian seorang manusia merupakan sebuah nilai yang berharga. Tentu saja nilai itu bisa terekspresi dalam bentuk-bentuk yang bisa dipersepsi langsung oleh indera, namun dalam kegiatan sehari-hari nilai tersebut dapat berupa sesuatu yang abstrak, tak memiliki bentuk, namun bisa dirasakan langsung pada diri seseorang.

Dalam prosesnya, nilai-nilai kedirian seseorang kemudian berinteraksi dengan nilai-nilai lain dalam masyarakat, menghasilkan sebuah kesepakatan tak sadar antara apa yang dianggap berharga atau tidak. Nilai-nilai yang tersebar dan disepakati berharga oleh masyarakat, merupakan nilai yang diinginkan oleh suatu individu sebagai tujuan atau arah perkembangan dirinya. Rasa humor, kepemimpinan, kemampuan komunikasi yang baik, skill sosial, adalah nilai-nilai yang disepakati berharga oleh masyarakat dan dicari oleh orang-orang.

Namun, sejatinya ada pula nilai-nilai yang sifatnya personal dan mendasar. Orang membutuhkan nilai-nilai tersebut sebagai pondasi kepribadian atau hubungan yang baik dengan manusia lain. Walau nilai-nilai ini bisa saja dihargai secara berbeda oleh masing-masing orang. Satu orang mungkin menghargai kreativitas dan kebebasan, sementara yang lain lebih menghargai disiplin dan kekuatan.

Dengan asumsi bahwa manusia adalah mahluk yang mencari kepuasan batin, manusia didorong oleh prinsip atau motif untuk memenuhi “keinginan” dan “kebutuhan” jiwanya akan nilai-nilai. Sejauh mana prinsip keinginan dan kebutuhan mendorong seorang manusia bertindak, bisa berbeda tiap orang. Kedua prinsip untuk memenuhi nilai-nilai tersebut kemudian saling mempengaruhi satu sama lain dan membentuk kepribadian seseorang.

Nilai sebagai ekspresi diri atau esensi diri yang bersifat immaterial ini, penting untuk menjelaskan mekanisme pertukaran sebagai sebuah proses ketaksadaran yang berlangsung sehari-hari. Pergaulan sehari-hari tak lebih dari mekanisme permintaan dan penawaran dalam aspek batiniah. Lingkungan, tempat, dan orang-orang merupakan pasar berlangsungnya pertukaran nilai-nilai tersebut.

Mungkin, kita bergaul dengan orang-orang yang suka kebebasan atau menabrak aturan, karena kita dibesarkan dari keluarga yang kaku dan tidak demokratis. Mungkin, kita bergaul di lingkungan politik atau himpunan kampus karena tempat itu menawarkan keterbukaan dan persaudaraan yang hilang dalam diri kita. Atau, kita mencari pasangan yang bisa diandalkan dalam urusan praktis, karena kehidupan kita amburadul dan tak terstruktur.

Apapun nilai-nilai yang dibutuhkan atau diinginkan tersebut; Cinta, kehangatan, persaudaraan, keterbukaan, kemampuan mendengar, atau kreativitas, kebebasan, pengertian; barangkali didorong oleh motif-motif tak sadar yang berusaha untuk memenuhi atau mengkompensasi kekurangan jiwa pada aspek-aspek tertentu.

Dalam aspek rasional dan material, interaksi ekonomi memberi kepuasaan bagi aktor-aktor ekonomi apabila tercapai profit atau keuntungan pada kedua pihak yang berinteraksi; sementara dalam aspek ketaksadaran pergaulan sehari-hari, kepuasan batin tercapai bila ada pengertian di antara orang-orang yang berinteraksi dan pemenuhan diri atas nilai-nilai.

Harapannya begitu, namun dalam praktek sehari-hari, kekaburan konsep untuk bergaul karena “ingin” atau “butuh”, membuat hubungan putus, pertentangan yang tak sehat, kejenuhan, chat yang tak berbalas, tawa yang tak disambut, dan apresisasi atas manusia yang rendah.

Tak ada air yang sama untuk semua kolam. Kita mesti belajar lagi untuk berhubungan. Kapan kita beragaul karena kita ingin belajar dari orang atau lingkungan tertentu, kapan kita bergaul karena kita butuh dengan orang. Mengaburkan, atau parahnya, mencampur keduanya adalah perbuatan ceroboh dan egois. Yah, saya sadar itu. Saya sadar itu..

Kita menjual barang, atau mencari barang, di pasar-pasar yang tidak sesuai. Kita menjual emas, di pasar yang menjual ikan. Kita mencari sembako, di toko yang hanya menjual barang-barang elektronik. Lalu kita berang pada orang karena tidak menghargai diri kita, dan kita mengamuk atau mengkritik karena ketidaktersediaan barang yang kita cari. Mungkin, kita telah menjual atau mencari di tempat yang salah, dan kita tak berani mengakui bahwa kesalahan terletak pada diri sendiri.

Mungkin kita terlalu banyak menuntut, dan tak mampu melihat apa adanya. Mungkin kita menuntut orang memberikan apa yang kita inginkan, sementara ia hanya menyediakan apa yang kita butuhkan. Atau, kita menuntut orang memberikan kebutuhan kita, sementara orang itu hanya menawarkan apa yang kita inginkan.

Mungkin kita telah menuntut badut untuk mengungkap makna cinta dan hakikat kehidupan, sementara ia hanya menawarkan tawa dan suka cita.

Mungkin kita telah menuntut anak menjadi seorang kesatria, padahal ia seorang pencinta dan penyembuh.

Mungkin kita harus berhenti meminta filsuf, penyair, untuk menghibur penonton, sementara mereka menawarkan kebijaksanaan dan kebebasan.

Mungkin kita telah menuntut seorang kekasih terlalu banyak, untuk menjadi Ibu, Ayah, sahabat, saudara, sekaligus pemuas hasrat dan fantasi seksual kita, sementara ia hanya menawarkan cinta platonis semata.

Makassar, 01/04/21

--

--