Memanen Hujan

Iqbal Abizars
Komunitas Blogger M
3 min readJan 23, 2021

Rintik hujan turun dengan tenang, kemudian meluncur deras membanjiri wajah. Bak berlinang air mata, saya usap tiap titik-titik air yang bersandar manja pada bulu mata. Kala itu, saya sedang bersama dua orang teman. Kami adalah pedestrian malam itu, sepakat berjalan menyusuri trotoar yang sama sekali tak tumbuh rumput di celah-celahnya.

Meski guyuran hujan menerpa, udara pengap masih terasa. Sejauh mata memandang, tak terlihat para laron sedang berpesta api unggun — menari-menari mengelilingi cahaya. Oh, mungkin para laron belum masanya untuk lahir atau mungkin laron tak bisa hidup di bawah akar pohon beton yang tinggi berjejer tanpa jeda?

Reflek, tangan merogoh tas. Jari jemari menyusuri kantong-kantong untuk mencari payung. Belum sempat payung ketemu, seorang teman berseloroh, “Tak usah pakai payung. Asik hujan-hujanan!” Ia lalu berjalan sambil berputar-putar, menari-nari kegirangan seolah sedang menampilkan Tari Yapong di depan jutaan pasang mata.

Hujan makin deras, kami berlari sambil acapkali memercikkan air dari hentakan kaki yang mendarat di atas genangan air. Sebelum petir menyambar-nyambar, kami bertiga sudah berada di dalam kereta rel listrik yang penuh sesak.

“Aduh hujan deres, pasti sebentar lagi listrik padam!”; “Aduh hujan, siap-siap banjir deh setelah ini!”; “Aduh hujan, kapan keringnya jemuran di kos-kosan?”; “Aduh laper, mana hujan terus dari tadi, jadi males, kan!”; “Aduh hujan, gagal deh malam mingguan!”; dan aduh-aduh yang lain sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru.

Bukannya hujan adalah berkah? Mengapa orang-orang menyambutnya dengan mengaduh-aduh? Ternyata hujan adalah masalah di sini. Pelik memang, saya pun ikut mengaduh, “Duh! Kenapa tetesan hujan tadi merembes ke sela-sela pantat?”

Di balik aduh-aduhan soal hujan, milyaran biota hidup darinya. Tanaman-tanaman bersuka cita menyambut hujan, juga rongga-rongga tanah yang kering memanjatkan syukur karena terisi kembali. Hujan bukan hanya berkah bagi manusia, tapi juga untuk semesta — semestinya. Rasanya egois sekali jika manusia hanya berpikir bahwa hujan adalah masalah, tapi hujan memang menjadi masalah bagi manusia.

Hujan tak kunjung turun pun juga jadi masalah, jutaan orang sulit mendapatkan air. Masih banyak wanita dan anak-anak di pelosok negeri yang harus berjalan puluhan kilometer untuk mendapatkan air. Jadi, hujan turun atau tidak tetap saja menjadi masalah bagi manusia. Salah hujan? Hujan salah apa?

Kereta berhenti, saya tersentak dari kantuk. Saat pintu kereta terbuka, lirikan mata saya disuguhkan tulisan #SAVEWATERPLANTTREES. Mata sayu saya coba mengeja, “Save water?” Apa iya kita harus menyelamatkan air? Atau kita harus menyelamatkan diri kita sendiri? Sesungguhnya, kita harus menyelamatkan diri kita sendiri dan generasi yang akan datang. Angkuh jika menganggap kita harus menyelamatkan alam semesta. Toh, alam semesta akan baik-baik saja tanpa kita — manusia. Jika kemudian manusia gagal menyelamatkan manusia, sama saja manusia sedang bersama-sama menarik pelatuk untuk menggerakkan picu kematian.

Perang? Manusia hampir selalu berperang karena berebut sumber daya. Perang air? Bisa saja. Bukan perang menggunakan air, tapi perang untuk merebutkan air. Di belahan bumi yang satu, air melimpah menjadi bah yang menimbulkan kerusakan. Di belahan bumi yang lainnya, air justru menjadi sesuatu yang langka.

Hujan reda, udara malam menusuk dada. Saya berpisah dengan kedua teman saya di stasiun terakhir. Melanjutkan perjalanan dengan berkendara sepeda motor, saya berbicara pada diri sendiri sembari menepuk-nepuk hati, “Ayo jadi manusia yang bersemangat memperbaiki, bukan manusia yang hanya bisa mengutuki!”

Kapan kita bisa bersama-sama memanen hujan? Tuhan sudah menanamnya, benih air diangkat-Nya lalu ditumbuhkan-Nya dengan subur menjadi gumpalan-gumpalan di kolong langit. Saat waktunya tiba, Ia menjatuhkan gumpalan tersebut menjadi berkah bagi ciptaan-Nya.

Kapan ada panen raya hujan? Kapan kita merasakan suka cita saat hujan ataupun tetap bersyukur tatkala hujan belum bisa dipanen karena panenan sebelumnya masih mencukupi? Kapan kita berhenti mengutuki zat ciptaan Tuhan?

Penulis: Iqbal Abizars dan Tika Ayu Kusuma Wardhani
Ilustrator: Alif Yuniantoro
Penyunting teks: Yustin Paramita Dewi

--

--