Sitemap
Komunitas Blogger M

Komunitas Blogger Medium. Tempat kumpul, berbagi dan berinteraksi sesama blogger Medium dari Indonesia

Melihat lebih dekat dampak krisis iklim

--

Coba kita flashback masa-masa SD. Bukan soal jajanan telor gulung atau mie lidi. Tapi sedikit balik ke pelajaran SD, pasti kita pernah dengar pernyataan ini :

  • Penebangan hutan secara liar menyebabkan hilangnya habitat satwa, kekeringan, berkurangnya pasokan udara bersih, bencana banjir dan longsor.
  • Pembukaan lahan menyebabkan berkurangnya area resapan air sehingga terjadi banjir. Karna mengubah fungsi dari hutan itu sendiri.

Kalimat-kalimat ini biasanya berulang kali kita temukan di buku sekolah, mulai jaman saya masih sekolah hingga 3 tahun yang lalu saat saya masih aktif part-time mengajar private siswa sekolah dasar.

Tulisan ini sedikit menjadi pengingat tentang ‘hukum alam’ yang sejatinya sudah sering kita dengar saat masih sekolah.

Brutal truth, hukum alam ini tidak bisa dilihat dan dirasakan oleh semua orang. Ada titik dimana perhatian tidak diberikan ke semua yang juga berhak mendapatkannya.

Saya gak paham tuh, kalau petani bisa gagal panen karna krisis iklim, soalnya kalau saya mau makan nasi, ya langsung saja ambil di rice cooker.

Akhir-akhir ini musim panas terasa lebih lama dari biasanya. Kadang, saat cuaca panas terik lalu tiba-tiba hujan deras sampai terjadi banjir. Atau malahan, di bulan Desember ini yang harusnya musim hujan, kita malah kepanasan.

Juni hingga Agustus 2023 merupakan tiga bulan terpanas sepanjang sejarah dan bulan Juli 2023 menjadi bulan yang paling panas. Kabar buruknya, menurut Indeks Risiko INFORM tahun 2023, Indonesia menduduki peringkat ketiga teratas negara yang paling berisiko terhadap bahaya iklim (peringkat ke-48 dari 191), termasuk banjir, kekeringan, dan gelombang panas (European Commission, 2023). Frekuensi dan intensitas bahaya iklim diperkirakan akan meningkat seiring dengan memburuknya perubahan iklim.

Banyak orang berpikir perubahan iklim berarti kaitannya suhu yang semakin meningkat. Tapi kenaikan suhu hanyalah awal dari mulainya perubahan iklim. Coba kita lihat root cause-nya, karena Bumi adalah sebuah sistem, di mana semuanya terhubung, perubahan di satu area dapat memengaruhi perubahan di semua area lainnya. Kemudian perubahan ini akan mempengaruhi semua aspek basic needs atau kebutuhan dasar dalam kehidupan sehari-hari.

Dulu kita menyebut iklim untuk membantu mengingat pola cuaca jangka panjang, agar kita biar bisa tahu kalau di Indonesia saat bulan Juni musim panas, atau saat bulan Desember musim hujan. Saya menulis ini di bulan Desember, dan inilah cuacanya.

Sedari kecil tinggal di Kalimantan, saya percaya pernyataan-pernyataan dari pelajaran SD itu benar adanya. Terutama saat bencana karhutla tahun 2015, 2019, dan tahun 2023 ini, yang bahkan menjadikan Kota Sampit — berkali-kali menoreh prestasi peringkat 1 udara terburuk di Indonesia, dengan angka ISPU kategori Berbahaya.

Sudah menjadi rahasia umum jika kebakaran hutan dan lahan gambut 99% disebabkan oleh faktor kesengajaan manusia yang membakarnya, entah untuk membuka lahan, mencari ikan di semak, atau mendapat “mandat” untuk melakukannya. Perpaduan antara cuaca panas dengan suhu yang semakin tinggi, lahan gambut yang mengering dan sensitif terbakar, serta kesengajaan untuk membakarnya, lengkap sudah mengundang kebakaran lahan. Hingga September 2023, tercatat 3.208 kasus ISPA di Kabupaten Kotawaringin Timur. Ini hanya salah satu kabupaten di Kalimantan Tengah, belum lagi terhitung kabupaten lain se-Kalimantan.

Kebakaran lahan gambut di Kota Sampit. Sumber: @sampitinfo

Bencana lainnya, tahun 2021 terjadi banjir besar di Kalimantan Selatan. Oke, banjir besar di Kalimantan. Yang dikenal banyak pohonnya. 11 dari 13 kabupaten di Kalimantan Selatan saat itu terendam banjir dan dilanda longsor. Di sini, di sebuah pulau yang dikenal “The Lung’s of The World”, saya menjadi relawan dalam menyalurkan bantuan untuk ribuan korban banjir, bahkan ada beberapa korban rumahnya tenggelam dengan ketinggian banjir hingga mencapai 3 meter, yang tidak pernah sama sekali terjadi sebelumnya. Berulang kali saya bertanya kepada beberapa penerima manfaat saat menyalurkan bantuan, “pernah banjir begini Bu?”. Semuanya menggeleng, ikut kebingungan dengan banjir besar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan, sebagian besar wilayah tidak bisa dilewati dengan kendaraan bermotor dan hanya bisa menggunakan perahu. Terkadang perahu ini menjadi tempat tidur para korban banjir yang tidak tinggal di pengungsian, karena sudah tidak bisa lagi mengandalkan kasur empuk yang telah kuyup terendam. Belum lagi ladang dan kebun sumber penghasilan warga yang habis dilalap banjir.

Baca lebih lanjut tentang Banjir Kalimantan Selatan: https://www.mongabay.co.id/2021/02/01/belajar-dari-banjir-kalimantan-selatan-peringatan-agar-bijak-kelola-alam/

Foto kedua anak perempuan saat banjir Kalimantan Selatan, 2021

Hutan gambut yang luas di Indonesia menjadikannya salah satu negara dengan luasan gambut tropis terbesar di dunia yang mencapai 13,43 juta hektare, tersebar di tiga pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua (sumber: pantaugambut). Paru-paru dunia memang punya banyak kekayaan. Saking kayanya, bukan hanya keanekaragaman hayati, tapi lahannya yang luas dan kaya juga berpotensi untuk ditanami sawit, apalagi dengan seiring meningkatnya kebutuhan CPO di dunia. Semakin hari, perkebunan kelapa sawit berkembang lebih cepat daripada hampir semua komoditas pertanian lainnya. Mengutip dari Ditjenbun (2018), perkembangannya sangat pesat hingga pada tahun 2017 luas area perkebunan sawit mencapai sekitar 14 juta hektar. Padahal pada awal tahun 1980-an, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih sekitar 249 ribu hektar.

Perluasan area perkebunan kelapa sawit yang masif sayangnya akan mengorbankan fungsi kawasan lahan gambut dan menganggu habitat flora fauna si penghuni asli. Hutan gambut semakin mengalami degradasi kualitas karena sejatinya ia memiliki keanekaragaman hayati yang punya kemampuan menyimpan karbon jauh lebih baik dibandingkan perkebunan monokultural seperti sawit.

Dua karakter utama lahan gambut :

  • Terbentuk dari tanaman yang mati dan membusuk (bahan organik) yang sangat tinggi. Sehingga dapat menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar dan dalam waktu yang lama.
  • Mempunyai sifat seperti spons, menjadi penyerap air dan penyalur air. Sehingga berperan penting terhadap tata kelola hidrologis ekosistem.

Kedua karakter tersebut menjadikannya sebagai solusi alam yang efektif dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Namun sayangnya, tingginya simpanan karbon di hutan gambut dapat terlepas menjadi emisi apabila hutan tersebut dialihfungsikan, dikonversi, didrainase, hingga akhirnya menjadi semakin kering dan mudah terbakar.

Sawit memang cukup seksi, karna dilihat dari sisi pendapatan ekspor, sawit menempati posisi kedua setelah batu bara. Namun, jika terus-menerus tanpa diimbangi dengan upaya serius perlindungan hutan – seperti mengabaikan peran otentik hutan gambut bagi ekosistem – pada akhirnya tinggal memilih untuk terus memperluas dengan segala konsekuensi ekologis, atau mempertahankan solusi alami sebagai tameng perubahan iklim.

Agar upaya menghadapi perubahan iklim ini bisa melangkah maju, penting untuk meningkatkan pendidikan, kesadaran, dan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan dalam mitigasi perubahan iklim, dengan juga memperkuat ketahanan global dan kapasitas adaptasi terhadap dampak pemanasan global. Rencana iklim nasional dan internasional hanya dapat berhasil jika dikembangkan dengan serius, serta melibatkan otoritas lokal dan regional, yang terdampak langsung dan bersentuhan langsung dengan ‘akibatnya’ di lapangan.

Jika setiap ton CO2 yang dilepaskan berkontribusi terhadap pemanasan global, maka semua upaya dalam pengurangan emisi juga memiliki kontribusi dalam memperlambat pemanasan global. Dampak perubahan iklim sangat serius dan mempengaruhi banyak aspek kehidupan. Dan jika kerusakan lingkungan ini terus meningkat, banyak wilayah di Indonesia akan menghadapi keterbatasan dalam kemampuan beradaptasi, seperti banjir, karhutla, dan bahkan menghadapi kekurangan air bersih.

Para penyangkal krisis iklim berupaya untuk meremehkan pentingnya pemanasan global dan peran manusia dalam pemicunya. Pada akhirnya, semua berawal dari dasar pemikiran, egosistem atau ekosistem. Mengabaikan masyarakat yang langsung berhadapan dengan dampak krisis iklim yang sama saja dengan “lack of emphaty”, padahal tinggal di bumi yang sudah memberikan segalanya untuk kita hidup.

Krisis iklim tidak hanya bisa disampaikan dengan sekedar narasi di buku sekolah dasar, tidak juga mengandalkan janji-janji dari narasi yang menenangkan, tapi sudah butuh kesadaran kolektif dan bukti aksi nyata. Yang senyata-nyatanya.

Bacaan lainnya :

--

--

Komunitas Blogger M
Komunitas Blogger M

Published in Komunitas Blogger M

Komunitas Blogger Medium. Tempat kumpul, berbagi dan berinteraksi sesama blogger Medium dari Indonesia

No responses yet