Membebaskan Puisi dari Tirani Hujan

Sekelumit kisah perjalananku di daerah pelosok Buton Indonesia.

Isa Brew
Komunitas Blogger M
3 min readAug 8, 2024

--

Photo by author

Langit di bulan Juni begitu sembab di Pulau Buton. Lembab, basah dan dingin! Hari-hari penuh dengan hujan, hari-hari penuh dengan kemalasan! Entah karena faktor geografis, iklim, atau apapun itu, Pulau Buton di bulan Juni benar-benar bersahabat dengan hujan. Aku sangat tersiksa oleh hubungannya…

Sudah seminggu jemuranku masih basah. Sementara stok pakaianku sudah habis. Semuanya kotor. Tinggal apa yang saya pakai hari itu. Sialan!

Aku sudah tidak bisa menahan diri untuk mengumpat kepada hujan. Segala ilmu agamaku yang melarang untuk mengumpat kepada hujan, seketika terlupakan. Segala rasa romantismeku terhadap hujan, seketika mati rasa.

Aku sudah tidak kuat dengan tubuhku yang menggigil setiap kali berwudhu, dengan jalan menuju masjid yang becek penuh tanah merah, dan dengan kemalasanku bangun dini hari untuk melakukan sembahyang karena hawa yang begitu dingin menusuk sampai ke tulang sumsumku. Puncaknya, ketika air spermaku yang tak bisa dibendung keluar begitu saja tanpa permisi di malam yang begitu lembab. Sekali lagi, sialan!

Sampai pada suatu hari, entah siapa yang menyakitinya, entah siapa yang membuatnya terluka, langit Pulau Buton tak henti-hentinya mengeluarkan tangisannya sampai 48 jam tanpa henti!

Sebuah fenomena alam yang jarang sekali aku dapatkan di Bandung, tempat asalku. Aku dan teman-temanku pun tak henti-henti menggerutu. Kami yang masih berstatus bujangan sama sekali tidak diuntungkan dengan cuaca ini, hei! Hari-hari pun diisi dengan kedinginan, hari-hari pun diisi dengan kemalasan, hari-hari pun diisi dengan menggerutu.

Keadaan hatiku sangat kontras dengan tahun-tahun kebelakang mengenai fenomena hujan. Dulu, ketika aku masih menjadi seorang sastrawan musiman, periode musim hujan adalah periode keemasanku. Sebuah periode yang dipenuhi oleh puisi-puisi dan cerpen-cerpen yang begitu dalam dan bermakna (dari semua karya-karya sastraku).

Pada periode itu adalah waktu yang sangat cocok untuk melamun. Mencari makna dibelantara kata. Menggubah satu-dua puisi yang bermakna dan mendapatkan satu ide cerpen dalam satu lamunan, adalah hal yang biasa pada saat itu. Dan ketika aku membaca ulang puisiku, aku seolah-olah seperti Sapardi atau Joko Pinurbo, karena begitu puitisnya puisiku(menurutku sendiri hehe). Seperti satu puisi ini :

Gemuruh

Diluar terdengar jelas nyanyian hujan
meretas kembali jejak-jejak kenangan.

Didalam terdengar samar gemuruh badai
meluluhlantakkan jiwaku yg mulai sansai.

Kini, pandanganku terhadap hujan berubah 360 derajat. Entah karena masa kasmaranku sudah habis dengannya, entah masa keemasanku sebagai sastrawan sudah lewat. Yang jelas,bukan puisi-puisi yang keluar dari kepalaku, melainkan rasa kekesalan yang kian menumpuk.

Atau mungkin, karena kini, hari-hariku dipenuhi oleh distraksi. Efek negatif dari pemakaian gadget yang berlebihan. Ya, kini, hari-hariku diisi dengan menonton video-video recehan di TikTok, Instagram dan Youtube. Tidak ada lagi lamunan, tidak ada lagi rasa sunyi yang menenangkan. Benar kata seseorang, Bengong adalah sebuah kemewahan di era penuh distraksi digital. Bukan hujannya yang berubah, tapi diriku lah yang telah berubah..

“Bengong adalah sebuah kemewahan di era penuh distraksi digital.”

Setelah langit Pulau Buton selesai dalam masa berkabungnya, aku pun keluar dari Desaku menuju Kota Baubau yang jaraknya kurang lebih 2–3 jam menggunakan motor.

Disepanjang jalan, aku melihat pohon-pohon tumbang yang berceceran di jalan, dan petugas PLN setempat sibuk memperbaiki tiang listrik yang terkena imbasnya.Tidak heran, karena sudah dua hari Buton dilanda hujan yang lebat.

Karena kelelahan di perjalanan, aku dan temanku istirahat sejenak di warung kopi disamping jalan. Memakan 3–4 gorengan hangat dan secangkir kopi saset. Memulihkan tenaga.

Disela-sela kami memakan gorengan, kami mengobrol dengan pemilik warung mengenai cuaca Pulau Buton akhir-akhir ini. Kami seperti curhat mengenai cuaca ektrem — menurut kami — yang sedang melanda Pulau Buton yang sangat jarang terjadi ditempat tinggal kami. Tetapi aku cukup kaget dengan respon pemilik warung itu, ia hanya tersenyum, seperti fenomena ini hanya perkara biasa. Dan aku pun semakin kaget ketika mendengar ceritanya, bahwa pernah di daerahnya di Pulau Buton juga, mengalami hujan selama seminggu penuh!

--

--

Isa Brew
Komunitas Blogger M

Exploring the mountains and remote areas of Indonesia 🧭 🇮🇩