Membuat Boundaries Yang Sehat Untuk Anak

Dengan Tak memberi banyak pilihan

IDEN
Komunitas Blogger M
5 min readSep 25, 2021

--

“Wherever love and compassion are active in life, we can perceive the magic breath of the spirit blowing through the sense world.” Rudolf Steiner

Boundaries Yang Sehat Untuk Anak (https://unsplash.com/@daen_2chinda)

Dalam pendidikan yang holistik, pendidikan yang menekankan pada proses berkegiatan yang sehat bagi anak. Kegiatan di sekolah dan di rumah adalah satu kesatuan utuh yang saling melengkapi. Keduanya seolah menjadi bahan perhatian baik untuk guru dan orang tua. Misalnya sebut saja ritme harian seorang anak akan selalu diperhatikan. Ritme yang dimulai dari aktivitas bangun tidur sampai kembali tidur. Lalu pola dan jenis makanan yang sering dikonsumsi anak. Keadaan lingkungan sekitar yang mempengaruhi kebiasaan main anak, dan masih banyak lagi hal yang akan menjadi bahan kajian.

Ritme yang sehat di dalam keluarga secara tidak langsung akan memberikan dukungan yang baik bagi perkembangan dan pertumbuhan anak-anaknya. Sebaliknya, ritme yang tidak diperhatikan maka efeknya akan terasa saat anak masuk di jenjang sekolah. Misalnya terganggu waktu tidur anak dalam jangka panjang akan menyebabkan anak-anak mengalami kesulitan belajar dengan berbagai isue. Sebut saja anak menjadi lemas, tidak bisa fokus, tantrum, dan gejala lainnya.

Demikian halnya dengan boundaries atau batasan yang ditetapkan dalam sebuah keluarga. Boundaries yang sehat akan mendukung anak-anak dalam belajar dengan baik di sekolah. Boundaries ini tampaknya menjadi ancaman bagi orang tua yang terbiasa menerapkan pola asuh moderate. Namun jangan berkecil hati, boundaries ini dilakukan dengan ukuran yang berbeda pada anak tergantung kebutuhan setiap keluarga. Asal memahami tujuan dari boundaries ini maka segalanya bisa berjalan dengan dinamis.

Dalam golife dot id dituliskan jenis boundaries berdasarkan kondisinya antara lain:

1. Jenis pertama adalah material boundaries di mana kita memiliki hak untuk memberikan atau meminjamkan materi seperti uang, pakaian, buku, makanan hingga harta benda yang kita miliki lainnya kepada orang lain.

2. Jenis kedua adalah physical boundaries yakni batasan atas tubuh Kita misalnya kepada siapa Kita bisa memberikan privasi fisik seperti jabat tangan, pelukan hingga berdekatan dengan seseorang.

3. Jenis ketiga adalah mental boundaries yakni meliputi pikiran, nilai serta pendapat Kita. Kita bisa berpikir untuk menilai apakah Kita betul-betul memahami keadaan yang ada atau tidak. Ketika Kita mudah terpicu secara emosional dan bertindak defensif, mungkin saja mental boundaries Kita kurang kuat.

4. Jenis keempat adalah emotional boundaries di mana menjadi pemisah antara emosi dan tanggung jawab. Batasan ini dapat membantu Kita untuk tidak mencampuri urusan orang lain. Karena hal ini akan mencegah Kita untuk mengemukakan pendapat personal yang tidak diminta dan diperlukan dari orang tersebut. Sehingga Kita tidak mudah menyalahkan orang lain jika berada dalam situasi yang kurang menguntungkan.

5. Jenis kelima adalah sexual boundaries yakni Kita memiliki hak atas kenyamanan dari sentuhan dan aktivitas fisik yang diinginkan. Kita memiliki hal untuk memilih di mana, kapan dan dengan siapa Kita melakukannya. Dengan catatan tidak ada pihak yang dirugikan dan kedua pihak telah menyetujuinya.

6. Jenis terakhir adalah spiritual boundaries yakni hubungan Kita dengan keyakinan terhadap Tuhan. Kita memiliki hak untuk memilih, melakukan ibadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Dengan begitu Kita juga akan otomatis menghargai dan menghormati orang lain baik dengan kepercayaan yang sama maupun yang berbeda.

Boundaries Yang Baik

Memberi batasan bagi anak terutama yang awalnya selalu memberi banyak pilihan tidak bisa dilakukan dengan cepat. Membiasakan dengan ritme akan menjadi sebuah solusi bagi anak dan orang tua. Di sini, pemegang otoritas yang menentukan keputusan terbaik bagi anak harus dari orang tua. Orang tua harus tahu yang terbaik bagi anak. Sehingga ketika ada pertanyaan dari anak, orang tua bisa menjawab dengan baik bahwa inilah yang terbaik untuk kehidupanmu sekarang.

Ketika batasan baik selalu dijaga oleh orang tua, maka kelak ketika ada hal yang membuat anak harus bertanya maka ia akan bertanya terlebih dahulu kepada orang tuanya. Orang tua akan menjadi pilihan terbaik saat anak membutuhkan. Ia tidak akan lari ke mana-mana kelak ketika dewasa karena ia mengalami dan mendapatkan boundaries waktu kecil bersama orang tuanya.

Beberapa hal ini bisa membantu orang tua menetapkan batasan yang baik bagi anak:

1. Memberi dua pilihan yang terbaik yang ditetapkan oleh orang tua.

Jangan memberikan pilihan yang terlalu banyak kepada anak-anak. Mereka belum memiliki referensi sebanyak kita dalam banyak hal. Misalnya sebelum makan biasanya orang tua suka kebingungan dengan menu, ia bertanya pada anaknya “mau makan apa nak?” pertanyaan ini akan juga membingungkan buat anak. Berikan pilihan yang sudah ada, “mau makan telur atau makan daging?”. Atau juga pilihan baju, “pilih baju A atau B” sudah cukup untuk anak belajar menentukan pilihan dan batasan tetap ada di orang tua.

2. Membuat prioritas kegiatan

Jika ada banyak kegiatan yang harus diikuti anak, tentukan dari awal mana yang dibutuhkan oleh anak. Tidak memberikan banyak pilihan karena anak akan memilih kegiatan yang paling mudah buat dirinya. Misalnya dibandingkan dengan bermain di luar ruangan, anak sekarang lebih banyak memilih bermain di dalam sambil memegang gawai untuk menonton. Perlu disadari bahwa aktivitas di luar ruangan sangat dibutuhkan oleh anak-anak di usia belajarnya. Atur jadwal, kapan boleh pegang gawai dan kapan harus main ke luar ruangan. Menentukan jadwal ini semata-mata dilakukan demi kesehatan diri anak.

3. Because i said so!

Ini adalah kata-kata terakhir yang mujarab untuk anak belajar mengetahui boundaries yang ditetapkan orang tua. Dengan catatan sekali lagi, orang tua harus sadar sepenuhnya bahwa membangun boundaries ini bukan menjadikannya otoriter tetapi untuk membangun batasan yang baik bagi anak.

Nah, kembali mengingat tiga prinsip dasar dalam pendidikan waldorf yang selalu saya jadikan dasar dalam pendidikan anak. 0 sampai 7 tahun dimana anak mengenal dunia itu baik, anak belajar dengan mengimitasi orang tua atau guru TK-nya.

7–14 tahun anak mengenal dunia indah, anak belajar segala hal yang indah, pembelajaran dilakukan seindah mungkin, otoritas mulai berlaku di tahap ini karena pembelajaran sudah menggunakan instruksi.

Dan terakhir 14–21 tahun, anak mengenal dunia ini terpercaya, anak bisa mengetahui hal baik dan buruk serta konsekuensi dari setiap kegiatannya di dunia ini.

Menanamkan boundaries secara perlahan dimulai sejak 7 tahun pertama, pelan-pelan naik di 7 tahun kedua, dan 7 tahun ketiga proses menanamkan boundaries ini sudah tertanam dalam dirinya sehingga ia bisa mandiri untuk belajar di mana pun.

Sekali lagi boundaries ini dilakukan dengan ukuran yang berbeda dalam setiap keluarga. Tidak bisa digeneralisasi untuk diterapkan dalam lingkungan keluarga satu dengan keluarga lainnya.

Namun hal terpenting yang menjadi perhatiannya adalah menetapkan boundaries ini dilakukan orang tua demi kebaikan anak dalam belajar. Anak mengetahui aturan, anak mengetahui mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang tidak boleh. Dengan boundaries ini juga tanpa sadar kita menanamkan etika sosial yang baik dalam diri anak yang akan berguna bagi kehidupannya kelak.

--

--