Membumikan Neologisme Bahasa Indonesia

Muhammad Khoirul Wafa
Komunitas Blogger M
3 min readJun 4, 2021

--

Manusia diberi anugerah bisa berkomunikasi dengan bahasa. Peradaban kita demikian kaya, di setiap benua, bahkan hampir di setiap negara, memiliki ragam bahasa yang berbeda. Pun di Indonesia saja ada banyak sekali tutur kata dari bahasa daerah, bukan hanya bahasa Indonesia.

Namun kadang kita menyepelekan bahasa, dan menganggap itu sebatas alat komunikasi saja. Asal yang kita ajak bicara, atau yang baca tulisan kita paham, itu sudah cukup. Padahal jika kita sadari betul, setiap bahasa punya aturan dan tata cara pemakaiannya sendiri.

Atau kita sudah merasa cukup terlalu percaya diri. Kita merasa tak perlu belajar bahasa Indonesia, karena bagi sebagian orang bahasa Indonesia adalah bahasa ibu mereka. Dan bagi yang lain, bahasa Indonesia adalah bahasa sehari-hari. Bahasa yang dipakai hampir setiap saat di media sosial, ketika berselancar di internet, waktu menulis tugas sekolah, dsb.

Kita sudah merasa kemampuan bahasa Indonesia kita baik. Padahal kenyataannya mungkin tidak sama sekali.

Dalam beberapa hal, secara tak sadar kita sering menggunakan kata-kata tidak baku. Bahkan sering mencampur adukkan kosa kata bahasa asing ke dalam bahasa kita, dengan alasan tak tahu padanan katanya. Atau alasan lain? Mungkin agar terdengar lebih keren.

Kita tak begitu akrab dengan kata-kata seperti tembolok, salindia, unggah, unduh, daring, luring, dsb. Kita juga lebih terbiasa menggunakan kata email, daripada surel.

Walaupun akhirnya pendengar atau pembaca kita jadi bingung, saat kita menggunakan istilah baku dalam bahasa Indonesia. Saat misalnya alih-alih memakai kata jadul, kita malah memilih menggunakan kata arkais. Orang lebih akrab dengan kata takdir, daripada kata predestinasi. Orang juga lebih paham saat kita mengatakan zuhud, daripada asketis.

Belum lagi saat dihadapkan untuk menulis ejaan yang baik dan benar. Apakah nama hari ditulis dengan huruf kapital? Atau huruf biasa? Rabu, ataukah rabu? Kalau diucapkan akan sama saja, tapi saat ditulis itu jelas berbeda.

Kita kadang tak mengenal bahasa Indonesia dengan seutuhnya, karena ternyata dalam praktek (praktek atau praktik?) bahasa sehari-hari, kita masih sering salah dalam penggunaan tanda baca, ejaan, juga kosakata.

Apakah masih yakin kemampuan berbahasa Indonesia kita cukup baik?

Sebenarnya itu semua menunjukkan betapa buruknya kemampuan berbahasa Indonesia kita. Kita kadang tak bisa membedakan penggunaan kata "di". Disini atau di sini? Pemukiman, atau permukiman? Terlanjur atau telanjur? Mempengaruhi, atau memengaruhi? Kiai atau kyai?

Apakah kosakata kita sudah cukup kaya, sehingga merasa cukup dengan apa yang telah kita miliki?

Sebenarnya masalah sederhana ini juga hal penting yang sering luput kita sadari. Keterbatasan kosakata membuat tulisan terlihat "membosankan", karena akhirnya kita jadi hanya bisa menggunakan kalimat yang itu-itu saja. Tak ada variasi, tak ada alternatif kata-kata lain.

Kadang kita juga jadi terjebak pada pemakaian bahasa asing. Padahal sebenarnya kata yang kita maksud sudah ada bahasa Indonesianya. Kita disibukkan dengan kalimat panjang, padahal sebenarnya pemborosan kata yang kita pakai itu sudah ada istilah singkatnya. Atau kita secara tak sadar memakai definisi yang salah, karena tak mampu membedakan (misalnya) apa bedanya "kata" dengan "kalimat"?

Padahal, dari kebiasaan kecil, kita bisa melatih diri untuk membudayakan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Misalnya saat menulis chat balasan di WhatsApp, kita selalu menggunakan bahasa yang sesuai EYD. Memperhatikan huruf kapital, titik koma, serta penggunaan tanda baca lainnya. Itu sebenarnya hal sederhana, namun penting untuk melatih kebiasaan berbahasa yang baik dan benar.

Agar saat dalam situasi lain yang menuntut kita untuk menggunakan bahasa dengan tepat, kita telah terbiasa. Supaya ketika membaca artikel atau buku, kita bisa merasakan kalau ejaan ini salah, kalimat ini tidak efektif, dsb.

Dan seperti kata Ivan Lanin, "memiliki bahasa ibu bahasa Indonesia bukan berarti kita paham betul bahasa kita sendiri."

Kadang kita takut, atau mungkin malas, menggunakan kosakata seperti takarir, yang berarti caption dalam bahasa Inggris. Takut pembaca di Instagram tidak paham apa yang kita katakan, atau malas karena kata "caption" terdengar lebih keren. Lebih nginggris istilahnya.

Namun pada akhirnya, jika kita masih terus-terusan mencampur adukkan bahasa, dan lebih memilih untuk mempopulerkan istilah-istilah asing, lalu kapankah bahasa Indonesia itu sendiri akan berkembang?

Yah, kita masih perlu untuk belajar kembali. Dan tidak malu kalau kita memiliki bahasa Indonesia.

***

Oleh-oleh dari buku mas Ivan Lanin, Xenonglosifila: Kenapa Harus Nginggris?

--

--

Muhammad Khoirul Wafa
Komunitas Blogger M

Redaktur di aswajamuda.com, alumus Ma'had Aly Lirboyo angkatan 2020 M. Tinggal di Wonosobo. Bisa disapa di Twitter/IG @rogerwafaa