Mencari Makna Eksistensial Dunia Melalui Filsafat Absurdisme

Hasbi Haris
Komunitas Blogger M
9 min readApr 24, 2024
sumber gambar: pribadi

Aku yakin pada suatu waktu dirimu dan aku pernah menanyakan banyak hal mengenai dunia yang penuh keabstrakan ini. Terkadang, ketika malam hari tiba dengan begitu sunyinya dan hanya suara jangkrik yang terdengar nyaring di telinga, lalu pada saat tidur, pikiran kita mereka ulang kejadian pada masa lalu yang telah dilalui. Hingga pada satu titik, pikiran liar kita muncul pada suatu kesimpulan yaitu, untuk apa itu semua? Untuk apa hal ini terjadi? Apa maksud dan tujuan dari kehidupan itu sendiri? Apa alasan kita hidup?

Segala alasan dan tujuan, serta makna yang terjadi pada setiap peristiwa dan momen yang sudah terjadi lalu motivasi internal diri kita sendiri dalam memahami setiap hiruk-pikuk dunia akan mengarahkan kita pada pertanyaan semula. Apakah ini semua berarti? Apakah segala hal yang terjadi memiliki tujuan yang pasti? Mengapa kehidupan berjalan demikian?

Mungkin, jika digali melalui sudut pandang religiusitas segalanya akan mudah terungkap. Kau dan aku sudah tahu bukan? Di dalam kitab suci juga begitu. Tuhan menerangkan bahwasanya manusia hidup hanya untuk beribadah kepada-Nya, sesimpel itu.

Namun, kadang manusia terlalu penasaran akan dunia dan mekanismenya dan tidak puas terhadap jawaban yang tertulis begitu saja, tanpa bisa didiskusikan dan dibantah lebih lanjut. Selain itu, manusia acapkali lalai dan sombong terhadap perintah Tuhan dan lari dari realistas sehingga memunculkan banyak sekali pertanyaan kembali soal dunia dan hidup yang fana ini.

Untuk kau dan aku yang mencoba memahami isi dunia yang rumit ini, pandangan mengenai keabsurditas dunia menarik untuk dibahas.

Cerita mengenai Sysiphus

The Myth of Sysiphus (sumber gambar: wikipedia.com)

Kita akan mulai tema ini melalui esai berjudul Le Mythe de Sisyphe yang ditulis oleh Albert Camus, seorang filsuf eksistensialisme kontemporer yang akan memperkenalkan keabsurdan dunia melalui filosofi yang ia ajarkan. Esai ini memuat kurang lebih seratus dua puluh halaman dan susunan originalnya dikeluarkan di Prancis pada tahun 1942.

Kurang lebih ceritanya begini. Menurut legenda zaman dulu, ada seseorang raja yang amat kuat bernama Sysiphus. Dia memiliki kerajaan yang amat besar, kekuasaan yang amat luas, harta yang begitu banyak, serta prajurit dan pengikut setia yang rela mati untuknya. Semuanya sempurna hingga suatu waktu keadaan berubah secara cepat.

Para dewa dari atas langit mendengar mengenai cerita soal Sysiphus yang begitu perkasa. Mereka takut bahwasanya kekuasaan dan kekuatan dari Sysiphus dapat pula mampu mengalahkan kekuatan dari para dewa itu sendiri. Terjadi kepanikan di antara para dewa yang lambat laun menjadi sebuah ancaman yang nyata. Para dewa benar-benar gelisah jika suatu saat nanti mereka mampu dikalahkan oleh seorang manusia yang menurut mereka memiliki derajat yang lebih rendah.

Suatu waktu, salah seorang dewa mengusulkan agar memanggil Sysiphus dan memerintahkannya agar tidak memperluas kekuasaannya lagi secara besar-besaran. Usulan ini disetujui oleh seluruh dewa langit dan secara cepat meminta Sysiphus untuk menemui mereka.

Sysiphus pun menghadap para dewa dengan perasaan bingung. Dia mengetahui bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan apapun yang membuat para dewa marah. Hingga dirinya bertanya alasan mengenai dirinya dipanggil pada hari itu.

Para dewa menjelaskan bahwa segala kekuasaan dan kekuatan yang dirinya miliki telah membuat hatinya sombong sebagai manusia. Lalu para dewa memerintahkan dirinya agar berdiam diri di kerajaannya tanpa melakukan apapun demi memperluas kembali wilayah kekuasaannya serta menambah pasukannya supaya lebih banyak.

Hal ini tentu saja ditolak oleh Sysiphus. Dia ingin agar kekuasaannya menjadi semakin luas dan luas. Terjadi perdebatan hingga dengan lancang Sysiphus mencetuskan perang melawan para dewa langit menghadapi prajuritnya yang amat tangguh. Para dewa marah dan mengusir Sysiphus dari langit. Hingga singkat cerita, Sysiphus pun dikutuk.

Kutukan Sysiphus mengekang kebebasannya sebagai manusia. Dia tidak lagi memiliki kuasa atas kerajaannya atau memiliki kekuasaan untuk memerintahkan prajuritnya. Kutukan yang selama-lamanya, kutukan yang benar-benar membuatnya seperti manusia yang sungguh tidak memiliki pilihan lain dalam hidupnya. Kau tahu apa kutukan yang diberikan para dewa untuknya?

Dia dikutuk agar menggendong batu yang amat berat ke atas bukit lalu hingga sudah sampai di atasnya, batu itu akan menggelinding kembali ke bawah dan dirinya akan mengangkat kembali batu tersebut dan menggendongnya ke atas bukit terus menerus. Hal ini akan berlangsung lama, permanen, dan selama-lamanya. Dia tidak mampu berbuat apa-apa atas tubuhnya sendiri dan akan selalu berbuat demikian. Dia menerima takdirnya sebagai manusia yang tanpa pilihan berbuat begitu.

Kalian pasti akan bertanya-tanya mengenai cerita tersebut dan makna kehidupan yang akan kita bahas. Cerita mengenai Sysiphus akan memudahkan kita dalam memahami filsafat absurdisme.

Albert Camus

Albert Camus (sumber gambar: thenewyorker.com)

Aku akan menjelaskan mengenai orang yang memperkenalkan nilai-nilai absurdisme terlebih dahulu. Albert Camus merupakan seorang filsuf asal Prancis yang lahir pada tahun 1913. Dia juga seorang novelis dan jurnalis pada masa perang dunia. Dia menulis beberapa karyanya yang membuat namanya besar seperti The Stranger, The Plague, Le Mythe de Sisyphe, The Fall dan The Rebel.

Dia lahir dan berkembang pada keluarga miskin. Albert Camus tumbuh di lingkungan yang kumuh dan penuh dengan kriminalitas. Dia kehilangan ayahnya pada perang dunia pertama dan hidup dalam suasana perang. Dia kemudian belajar filsafat di Universitas Aljazair dan bekerja sebagai wartawan pada saat telah lulus.

Pada perang dunia kedua di tahun 1940, Jerman menginvasi Prancis sehingga dirinya harus melarikan diri tetapi pada akhirnya bergabung dengan Perlawanan Perancis dengan menjabat sebagai pemimpin redaksi sebuah surat kabar bawah tanah, yaitu Combat.

Secara filosofis, nilai-nilai yang diajarkan Camus banyak berkontribusi pada keeksistensialisme manusia pada manusia, namun dirinya dengan tegas menolak bahwa dia termasuk ke dalam seorang filsuf eksistensialis. Dia mengembangkan aliran filsafatnya sendiri yang dikenal sekarang sebagai filsafat absurdisme.

Makna Dunia dalam Keabsurdisme

Kita masuk ke dalam inti pembahasan pada tema kali ini. Suatu pandangan filsafat yang menurutku begitu seksi untuk dibicarakan, terlebih dengan perkembangan dunia yang begitu dingin, masif dan seakan-akan manusia hanyalah sebagai objek dari dunianya sendiri. Hidup monoton, begitu-begitu saja, bangun pagi, sekolah, bekerja, hingga malam tidur kembali. Begitu saja hingga kematian menunggu.

Secara etimologis, kata “absurditas” berasal dari padanan kata absurdus dalam bahasa latin yang berarti ab yaitu “tidak” dan surdus yang singkatnya diartikan sebagai “dengar”. Absurd secara penjelasan diterangkan sebagai tidak didengar, tuli, tidak berperasaan atau tidak memiliki arti yang jelas atau makna. Atau dapat pula diartikan sebagai sesuatu yang tidak masuk akal.

Nah, berangkat dari sini kau dan aku akan mulai mengerti pembahasan mengenai filsafat absurdisme ini akan menuju kemana. Menurut Albert Camus, absurdisme diartikan sebagai pandangan bahwasanya sekeras apapun manusia memahami kehidupan dan dunia, sebijak apapun mereka, seintelektualitas apapun pikirannya, maka pada dasarnya mereka tidak akan mampu dengan jelas memahami dunia yang serba abstrak, tidak pasti, aneh, dan absurd seperti ini. Ketidakmampuan memahami dan mengartikan dunia, seperti itulah pandangan absurdisme.

Camus membayangkan bagaimana manusia hendak memahami dunia yang tidak memiliki arti dengan akal dan perasaan yang dirinya miliki. Perasaan absurd mengenai dunia akan terus menerus muncul dan membentengi pikiran mereka dalam jauhnya jarak antara realitas dunia yang fana dengan akal manusia.

Menurutnya, perasaan absurditas seperti ini muncul pada dinamika abstrak dunia yang tidak mampu dipahami oleh manusia yang lemah. Hal ini mungkin saja relate dengan kalian bukan? Seperti bertanya-tanya soal arti momen yang terjadi, mengapa hal tersebut dan tujuannya, atau banyak hal lain yang tidak ada habisnya. Pada dasarnya, semua itu tidaklah memiliki tujuan yang jelas.

Kemunculan absurditas juga akan muncul pada kehidupan modern seperti sekarang. Manusia yang bekerja terus menerus dari pagi hingga malam, interaksi yang palsu di dunia maya, sikap datar tanpa adanya hubungan timbal-balik yang hangat, begitu lelahnya hingga hanya seperti program ai yang dijalankan tanpa adanya kebebasan yang patut untuk diperjuangkan.

Albert Camus menjelaskan sebenarnya sebelum perasaan absurditas pada manusia muncul, sebelum itu manusia memiliki tujuan, perhatian untuk masa depan dan visi yang jelas. Manusia bertindak seakan-akan mereka memiliki kebebasan untuk diri mereka dan berpikir dunia mampu untuk diarahkan segala jelas.

Namun, seiring berjalannya waktu manusia kembali linglung dan bingung lalu bertindak tanpa hati nurani. Manusia jenuh dan kembali merasa bodoh. Mereka heran terhadap dunia dan tidak mampu serta tidak bebas memilih pilihannya.

Seperti pada karyanya The Stranger, Camus menceritakan seorang Prancis bernama Mersault yang hidup dengan kehidupan yang monoton. Dia bekerja di pagi hari dengan naik kereta, lalu di siang hari ke restoran untuk makan siang, selanjutnya sore menjelang malam kembali ke rumah untuk beristirahat dan tidur. Esoknya, dia akan melakukan hal yang sama dan sama lagi hingga akhirnya kematian akan datang kepadanya.

Dengan kehidupan yang absurd tersebut Mersault tidak mampu memikirkan hal-hal esensial soal dirinya, cinta, perhatian akan hal yang dia sukai dan hal-hal mendasar soal kehidupan untuknya. Menurut Mersault, sekeras apapun dirinya mencoba dan mencoba, dunia akan tetap begitu. Dunia akan terus berjalan begitu. Dunia akan tetap monoton. Mersault merasa kehidupan pada dunia ini terasa seperti robot dan berjalan mekanik tanpa kendali penuh atas dirinya. Dunia, dengan segala maknanya tidak akan mampu dipahami manusia hingga pada akhirnya manusia putus asa dan terus menjalani kehidupan yang begitu saja hingga pada akhirnya menunggu untuk mati.

Hal ini sejalan dengan kehidupan yang dijalani Sysiphus. Untuk apa dia dihukum begitu? Untuk apa kehidupan yang kaku dan monoton tersebut ditimpakan untuknya? Hingga pada akhirnya, Sysiphus akan tetap mendorong batu tersebut hingga puncak, lalu kembali ke bawah, setiap harinya.

Namun begitu, dunia yang begitu dingin untuknya akan tetap ia jalani dengan bekerja dengan sangat keras demi mendorong batu yang tidak ada maknanya. Sama seperti dunia, dengan segala hal dan hiruk-pikuk, dunia tidak memiliki makna yang pasti.

Jalan Keluar dari Absurditas

Walaupun Camus berpendapat bahwa manusia akan tetap menjalani dunia yang tanpa arah ini dengan perasaan apatis dan putus asa terhadapnya, dirinya mengatakan ada beberapa jalan berpikir yang mampu dipakai dalam menghadapi dunia yang penuh ketidakjelasan ini. Aku akan menjelaskannya secara ringkas:

1. Melompat dari Makna yang Rasional

Camus berpendapat bahwasanya, religiusitas dan kepercayaan tradisional dari agama akan membawa pelarian seorang manusia dari dunia yang absurd. Menurutnya, agama memainkan peranan penting dalam membimbing manusia untuk mencari tujuan hidup yang jelas. Aku berpikir bahwa Tuhan ada sebagai pelarian manusia dalam mencari makna kehidupan, serumit apapun dan seabstrak apapun dunia yang ia huni.

2. Memberontak Terhadap Dunia yang Monoton

Camus menjelaskan bahwa peraturan, regulasi serta apapun hal yang mengikat kebebasan seorang manusia pada dunia yang monoton haruslah dilawan. Memberontak pada dunia yang kaku dan dingin, berkata tidak pada nasib yang itu-itu saja, melawan terhadap takdir dan menemukan takdir yang baru. Camus begitu bersikeras terhadap opsi memberontak ini. Dengan pemberontakan, manusia akan mengerti banyak hal mengenai hidup dan filosofi yang ia pegang.

Pemberontakan ini terbagi atas dua yaitu pemberontakan metafisik dan pemberontakan historis. Pemberontakan metafisik adalah gerakan dimana seseorang memprotes soal kondisi yang ia alami. Mereka menghendakkan kebebasan seperti para budak yang melakukan revolusi.

Sedangkan, pemberontakan historis ialah mengenai pertentangan manusia terhadap terjadinya perasaan, ketidakadilan dan ketidakbebasan bagi manusia dalam menentukan eksistensinya sendiri akibat ideologi dan dogma keagamaan. Gerakan ini melawan sejarah-sejarah yang ditentukan sehingga manusia sendiri tidak mampu keluar dari koridor yang dibuat tersebut.

“Aku memberontak, maka aku ada.” — Albert Camus dalam opininya membandingkan perkataan Descartes, aku berpikir maka aku ada.

3. Bunuh Diri

Ya, kau tidak salah dengar. Namun bukan berarti aku menyuruh kalian untuk opsi ketiga. Camus mengatakan bahwa bunuh diri dilakukan oleh manusia yang pasrah akan banyak hal dan keadaan. Namun, selama harapan akan kebebasan dan jiwa memberontak itu ada, maka makna dunia yang tidak jelas ini tidak akan membuat mereka lemah dan tunduk begitu saja. Mereka akan mencari maknanya sendiri yang membuat mereka untuk terus hidup.

Teruslah Hidup

Ya, sedikit rumit memang tema ini. Kurasa, tema ini merupakan tema paling memberatkan otakku daripada beberapa artikel yang selama ini kubuat. Memang penjelasanku tidaklah terlalu sempurna, dan kurasa jika kalian ingin lebih memahami maka bacalah tulisan-tulisan dari Albert Camus.

Teruslah hidup, kurasa. Seabstrak, setidakjelas, setidakadil, setolol, seabsurd apapun dunia menurut hal yang diterangkan oleh Camus, maka teruslah hidup. Kita harus mencari tahu makna hidup kita sendiri walaupun pada akhirnya kematian akan menemui diri kita masing-masing. Makna dan harapanlah yang akan membuat kita tumbuh. Hidup akan terus menerus berputar.

Atau larilah kepada Tuhan kembali, seperti yang Camus katakan. Jadilah pribadi yang baik dan sebagai pemberi kebaikan Tuhan di bumi ini. Makna-makna yang dalam dan esensial seperti inilah yang membedakan kita sebagai hewan.

Itu saja kurasa.

Sumber:

Ahkam., et al. (2003). Absurditas Manusia dalam Perspektif Pemikiran Albert Camus. Jurnal Sosiohumanika.

Agustinus. (2020). Autentisitas Manusia Menurut Albert Camus. Universitas Katolik Parahyangan.

Bagus, L. (1996). Kamus Filsafat. Penerbit Gramedia.

Camus, A. (2017). Caligula, The Misunderstanding, The Just Assasins. Terj. Ahmad Asnawi. Penerbit Pustaka Promethea.

Camus, A. (2017). Crises Liberte. Terj. Edhi Martono. Penerbit Simpang.

Camus, A. (2015). The Myth of Sysiphus and Other Essays. Terj. M. S. Azmy. Penerbit Simpang.

Camus, A. (2017). The Stranger. Terj. Max Arifin. Penerbit Pustaka Promethea.

Martin, Vincent. (2001). Fiksafat Eksistensialisme, Kirkegaard, Sartre, Camus. Penerbit Pustaka Pelajar.

Yasin, M. (2019). Absurditas Manusia dalam Pandangan Filsafat Eksistensialisme Albert Camus. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

--

--