Mendengarkan dan berbicara

Kita memiliki dua telinga dan satu mulut, karena itu kita bisa mendengarkan dua kali lebih banyak daripada berbicara.” — Epictetus

Rizky Rianto
Komunitas Blogger M
3 min readDec 9, 2023

--

Photo by saeed karimi on Unsplash

Dalam kesendirian menulis catatan dalam sebuah buku kecil. Tulisan singkat untuk dibaca kemudian hari, pernah menulis ini untuk meluapkan emosi kepada mereka yang tidak mengerti.

Semua kebisingan dalam kepala terus bersorak seperti lautan manusia yang sedang berdesak-desakan karena panik ingin selamat lebih dulu. Tentu isi kepalanya adalah tentang kekekhawtiran yang entah mengapa semakin menjadi. Dalam perjalanan waktu, ada saja emosi yang belum usai namun ditumpuk dengan emosi yang baru, itu melelahkan.

Ceritakan saja?” kata seseorang. Ketika ingin bercerita, ada tatapan mata yang meminta; selesaikan cepat aku juga ingin cerita, ceritaku lebih seru. Atau diabaikan di tengah cerita. Kemudian menanggapi cerita yang belum usai dengan kata-kata yang begitu indah, lalu beralih bercerita dan meminta secara halus dan tersirat; gunakan indra pendengaranmu aku akan bercerita. Sampai lupa diawal ia mengatakan “Ceritakan saja?” meski tidak semua orang begitu. Mendapat perlakuan seperti itu, masihkan ingin mencari tempat yang tepat dan bertaruh untuknya?

Begitulah. Jadi, siapa yang tepat untuk menjadi tempat bercerita? sepertinya tempat yang nyaman disekap dalam dalam gelap malam. Takut tersesat dan berakhir dicegat dengan rasa khawatir “Berhenti di sini, buat apa kau bercerita, kau hanya sampah dalam duniamu sendiri!”

Mencari tempat cerita bisa dibilang susah-susah gampang seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Apa aku berlebihan mengutarakan itu? Kita akan bertaruh rasa percaya dan kecewa. Susahnya untuk menaruh percaya dan gampangnya dikecewakan. Tempat cerita lebih nyaman memilih dia yang berbeda gender, laki-laki ke perempuan, perempuan ke laki-laki. Meski tidak semalanya harus begitu. Nyatanya itu lebih nyaman untuk sebagian orang.

Memilih dengan sesama jenis, seringnya berakhir diabaikan dan ditertawakan. Hingga yang ada hanya diam dan cerita yang terpendam, lama. Dan ketika wadah untuk emosi dan cerita itu penuh. Rasanya sesak, ingin ditumpahkan segera. Tapi pada siapa? siapa yang mau mendengarkan? Kebanyakan lupa untuk mengedepankan telinga dan malah mempertontonkan mulut. Lupa alasan kenapa diciptakanya mulut hanya satu dan telinga berjumlah dua. Bukankah untuk mendengarkan lebih banyak daripada berbicara.

Tidak semua cerita perlu ditanggapi dengan verbal, terkadang sang pemilik cerita hanya butuh didengar dan rasa empati yang tulus dari yang mendengarkan. Bukan tanggapan verbal yang memuakkan dan cenderung mengintimidasi dan menceramahi.

Kemudian, aku menemukan cara yaitu menulis sebagai salah satu caranya merilis emosi dan tempat bercerita. Awalnya untuk konsumsi pribadi lantaran rasa percaya belum terkumpul. Hingga mulai berbagi cerita untuk mereka yang memutuskan untuk mendengar. Menulis menjadi media yang senyap tanpa suara, hanya cerita yang menari indah dalam balutan huruf yang berjejer rapi membentuk barisan cerita.

Pada akhirnya, kita harus belajar lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Setidaknya untuk diri sendiri, belajar untuk lebih mendengarkan suara hati dan berbicara menyemangatinya. Baru kemudian diterapkan untuk orang lain.

“Kita memiliki dua telinga dan satu mulut, karena itu kita bisa mendengarkan dua kali lebih banyak daripada berbicara.” — Epictetus

Dengan mendengar tentu dapat lebih mudah memahami orang lain dan menjadi orang yang bijaksana dalam bertindak.

Saat mendengarkan seseorang yang sedang bercerita merupakan bentuk rasa menghargai yang kita berikan kepada mereka. Hal kecil namun berarti.

Terkadang, dalam beberapa situasi, mendengarkan lebih baik ketimbang berbicara. Mendengar lebih baik daripada banyak berbicara ketika apa yang dikatakan tidak memiliki ‘isi’ atau justru malah melukai orang lain.

Terima kasih telah memilih untuk mendengarkan.

--

--

Rizky Rianto
Komunitas Blogger M

Suka mengembara dalam pikiran, menikmati imajinasi dan bila sempat, menulis disana.