Mendidik Lidah

Iqbal Abizars
Komunitas Blogger M
4 min readSep 18, 2020

Lidah memang tak bertulang, tetapi ia bertuan. Lidah adalah abdi yang tugasnya mengecap berbagai rasa. Ia bertanggungjawab penuh untuk menafsirkan apa-apa yang dimakan dan diminum tuannya menjadi bahasa rasa.

Rasa tersebutlah yang kemudian melahirkan preferensi. Tiap-tiap tuan pemilik lidah memiliki preferensi yang berbeda, kebiasaan adalah pemicunya. Ibarat mulut adalah pintu gerbang, maka lidah adalah elemen yang mengubah sinyal fisik menjadi sinyal elektronik yang kemudian akan dikirimkan kepada otak manusia.

Lidah adalah abdi. Ia adalah induk dari bahasa rasa yang melahirkan preferensi. Lidah adalah sensor yang membantu tuannya mengenal alam rasa.

Pada semesta manusia, umumnya kita mengenal enam rasa dasar: Asin, asam, pahit, umami, tawar, dan manis. Namun, tak semua dari kita mampu menjadi penikmat dari semua rasa tersebut. Preferensi lagi-lagi menjadi dalih. Soal selera, semua setara. Tak ada yang bisa dipaksakan dan disalahkan tentang kesukaan, tetapi apa salahnya mendidik lidah kita?

Manusia menyukai sesuatu karena terlebih dahulu mengenalnya. Manusia menyayangi suatu rasa karena rasa tersebut sudah diperkenalkan terlebih dahulu oleh abdinya — lidah.

Saya pun demikian, saya menyukai rasa manis karena lidah saya sudah terlebih dahulu mengecapnya. Kesukaan tersebut menjadi kebiasaan atau kebiasaan yang menimbulkan kesukaan? Lama-lama, saya cenderung hanya makan dan minum yang manis saja.

Saya tak suka kopi pahit, kurang bersahabat dengan jamu kunir asem, perlu menahan napas ketika minum susu tawar, dan tak berkutik dengan asinnya ikan teri. Saya akan lebih memilih minum kopi dengan gula yang menggumpal, menikmati jamu beras kencur yang manis luar biasa, menghayati segelas susu yang sudah dicampur sari nira aren, dan mengganti lauk ikan teri dengan siraman sambel kacang.

Namun, kebiasaan tersebut berubah belakangan. Saya tidak hanya hidup di satu tempat dengan satu juru masak. Kondisi mengharuskan saya untuk hidup di tempat yang berbeda-beda, juru masak yang berbeda-beda, dan sumber pangan yang berbeda-beda pula.

Pada fase inilah, saya mulai mendidik lidah saya. Batin saya, jika terus-terusan hanya makan dan minum yang manis-manis saja, saya kira mati kelaparan segera akan menyambut.

Saya ingin mengajukan suatu seruan: Mendidik lidah itu penting! Secara sederhana, mendidik lidah adalah suatu proses yang mana kita — tuan dari lidah — memperkenalkan dan melatih abdi kita untuk mengecap minimal enam rasa dasar secara kontinu.

Tujuannya apa? Agar kita tidak ketergantungan pada satu preferensi rasa saja. Lantas, apa manfaat dari tujuan tersebut? Jawabannya adalah berkaitan dengan “bertahan hidup”. Bagaimana pun juga, “makan” dan “masak” adalah salah dua dari sekian keahlian dasar untuk bertahan hidup.

Kemampuan bertahan hidup adalah kemampuan lintas gender, baik lelaki maupun perempuan harus menguasainya. Keahlian mengenal dan menikmati berbagai bahasa rasa akan membuat kita menjadi manusia yang lebih adaptif. Kita dapat memenuhi gizi bagi semesta tubuh dengan mudah karena tidak hanya bergantung pada satu atau dua sumber pangan yang kita sukai saja. Toh, masa depan tak pernah ada yang tahu secara pasti.

Masa depan adalah probabilitas, bisa iya dan bisa tidak. Namun, kemungkinan sekecil apapun tetap bisa terjadi. Mungkin saja di masa depan akan terjadi bencana kekeringan yang mematikan sumber pangan kita di sawah dan ladang.

Mungkin juga di masa depan, lonceng kematian peperangan antar umat manusia akan berdenting sehingga akses pangan menjadi eksklusif. Belum lagi, kemungkinan-kemungkinan lainnya yang berada di luar nalar kita saat ini. Tidak bermaksud berlebihan dalam mengukur masa depan, tapi bukankah sejarah akan berulang dengan pola yang sama?

Menjadi manusia adaptif adalah menjadi manusia yang tidak berlebihan dalam menghadapi perubahan yang tiba-tiba. Jika lidah sudah terdidik, paling tidak satu beban hidup menjadi ringan.

Tidak adanya nasi dari padi, masih bisa kita makan nasi dari jagung. Tidak adanya nasi dari jagung, masih bisa kita makan singkong. Tidak adanya singkong, masih bisa kita makan thiwul. Tidak adanya thiwul, masih bisa makan sagu. Masih banyak pula lainnya: Talas, gadung, garut, suweg, ganyong, gembili, dan uwi. Itu semua baru makanan pokok/makanan berat, belum lagi jika kita mampu beradaptasi dengan berbagai rasa biji-bijian, sayuran, buah, rimpang, bunga-bungaan, susu, madu, dan sumber-sumber pangan lainnya yang rasanya beragam.

Jika begitu, bukankah distribusi pangan dari petani dan peternak juga akan menjadi lebih lancar dalam keadaan normal? Kenapa? Karena lidah kita serta kehendak bapak petani dan ibu peternak sama-sama tidak didikte untuk memenuhi kebutuhan suatu preferensi rasa tertentu, demi kepentingan kelompok tertentu.

Sumber pangan bangsa kita melimpah. Jangan sampai di tengah keberlimpahan tersebut kita justru hanya bergantung pada salah satu atau duanya saja. Pelan-pelan mari kita coba. Saya pun masih kesulitan karena mengurung nafsu bernama preferensi tidaklah mudah. Mari, tengok lingkungan sekitar rumah kita dan mulai berpihak pada sumber pangan lokal!

Penulis: Iqbal Abizars
Ilustrator: Alif Yuniantoro
Penyunting teks: Yustin Paramita Dewi

--

--