Menemukan RA Kartini Baru pada Generasi Muda

Hasbi Haris
Komunitas Blogger M
8 min readMay 3, 2024

“Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.” — RA Kartini.

RA Kartini (sumber gambar: wikipedia.com)

Setiap orang lahir dari rahim seorang perempuan. Ya, itu logis dan memang seharusnya terjadi dimana-mana bukan? Bukan hanya terkait manusia saja, namun seluruh makhluk hidup juga akan mengalami hal yang sama. Tidak akan pernah ditemukan kasus jika seseorang pernah lahir dari seorang laki-laki, bisa kiamat dunia. Mungkin saja jika itu bisa terjadi, maka kemungkinan besar orang beragama akan menyebutnya azab dan lain sebagainya. Dan kalangan skeptis akan berusaha mendebat apapun mengenai hal tersebut. Menyebut ini konspirasilah, atau apalah. Yang pasti, perempuan hanya satu-satunya yang memiliki peranan dalam melahirkan seorang anak.

Ketidakberdayaan perempuan menjadi masalah dari berbagai budaya. Ketidaksetaraan dalam hal sosial, pendidikan, ekonomi, politik dan urusan-urusan lain yang merupakan dampak dari evolusi zaman dulu telah membawa dampak yang signifikan terhadap kehidupan sehari-hari seorang perempuan. Memang, peranan laki-laki dan perempuan pada era dulu bersifat transaksional dan berdasarkan kebutuhan biologis, apalagi terkait mempertahankan diri. Perempuan bisa memberikan keturunan dan mengolah bahan makanan, sedangkan laki-laki dengan kemampuan tubuh serta otot yang sudah dirancang seperti itu akan berburu dan melindungi keluarganya dari berbagai ancaman.

Namun, yang menjadi permasalahan ialah bahwa jika dna dari evolusi zaman dulu tersebut masih berkembang pada berbagai kebudayaan. Walaupun dunia semakin fleksibel dan setiap manusia terlepas apapun gendernya berhak mendapatkan porsi yang sama pada setiap sendi kehidupan, praktek-praktek yang baku dan dikotomis seperti itu masih tetap dipertahankan. Patriarkisme. Perempuan terkungkung pada ranah rumah tangga dan hanya itu dunianya.

Walaupun begitu, jika dipikir-pikir kembali apakah hanya itu dunia bagi perempuan?

Kali ini, aku akan membahas mengenai kesetaraan gender dengan mengambil salah satu tokoh emansipasi wanita di Indonesia, yaitu Raden Ayu Adipati Kartini.

Berdandan, Mengurus Anak, dan Memasak

Aku baru membaca dan menamatkan salah satu buku kemarin. Judulnya yaitu “Berhutang pada Rakyat” terbitan tahun 2002. Buku ini ditulis dalam rentang waktu tahun 98 hingga 2000-an dengan perspektif yang dibangun dan sebagian besar narasi berkutat pada orde baru serta pemerintahan presiden Gusdur. Buku ini ditulis oleh drh. Chaidir, M.M, seorang tokoh intelektual Riau yang pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Provinsi Riau.

Pada halaman 138, hatiku bergetar ketika membaca hal ini. Di sana membahas mengenai Hari Perempuan sebagai judul dan topik utama. Pada narasi tulisan di halaman tersebut menerangkan bahwa, trilogi peran wanita di kehidupan sosial hanya tiga yaitu macak, manak, masak (berdandan, mengurus anak, memasak). Di banyak budaya, terlebih budaya jawa ketiga hal tersebut merupakan regulasi baku bagi tiap perempuan yang ada.

Peranan yang dibuat dalam tatanan sosial masyarakat tersebut mengungkung perempuan di Jawa dan banyak tempat untuk mengaktualisasikan dirinya pada banyak bidang di masyarakat. Budaya patriarki pada yang berpusat pada pola kepemimpinan yang struktural serta dominan pada laki-laki saja tanpa memberikan kesempatan buat perempuan berkembang menjadi ideologi yang hegemoni dan sakral. Budaya ini mengakar sejak lama, dari zaman penjajahan, hingga perang dunia satu dan dua. Walaupun begitu, budaya yang dianggap telah kuno dan usang pada dunia yang sekarang dan modern masih tetap dipertahankan pada banyak tempat.

Hal ini menjadi semakin rentan terhadap keamanan perempuan itu sendiri. Perempuan yang dituntut hanya menurut saja tanpa harus boleh mendebat atau mengeluarkan pendapat menciptakan lingkungan yang toksik dan berimplikasi pada karakter, nilai-nilai, dan pemikiran dari kaum perempuan. Perempuan menjadi pribadi yang tanpa pilihan dan tidak bisa bertindak apapun demi dirinya. Perempuan ibarat patung dan tidak dapat bertindak sendiri tanpa seizin otoritas diatasnya.

Budaya patriarki yang menguat dan menjadi norma baku malah akan menambah beban psikologis bagi perempuan. Perempuan yang acapkali termarginasi oleh peranan struktural akan serba salah dalam bertindak dan jika salah satu tindakannya menyalahi norma yang mengarah langsung pada budaya patriarki maka dianggap akan sangat salah dan layak untuk dihukum. Hukuman itu bisa saja kekerasan dalam bentuk fisik maupun sanksi sosial lainnya.

Karakter perempuan yang dianggap harus lembut, penyayang, bernada rendah jika ngomong, manut-manut saja tanpa bisa mengeluarkan pendapatnya merupakan sistem paradoksal negatif yang sepertinya jika pada zaman sekarang harusnya sudah tidak ada lagi. Dunia yang semakin fleksibel seharusnya memberikan tempat yang ideal bagi perempuan zaman sekarang dalam membuat diri mereka berkembang menurut apapun yang mereka inginkan. Seseorang tidak boleh membantah hal tersebut.

Peranan perempuan tidak hanya sebatas berdandan, mengurus anak dan memasak. Jika dalam peranan biologis, memiliki anak dan menyusui adalah hal yang tidak dapat diubah dan bersifat kodrat, maka hal-hal lain terkait kegiatan sosial, politik, ekonomi, dan banyak hal lain maka seharusnya perempuan dapat mencapainya. Perempuan mempunyai kesempatan itu.

Perempuan pada zaman dulu bertindak secara lebih was-was dan hati-hati dalam memberontak. Hal ini masih berkutat pada dunia yang belum sefleksibel sekarang. Jika pada zaman dulu, ketika peranan sosial dan politik masih terdikotomi terhadap gender laki-laki saja dan peranan perempuan di rumah serta mengurus anak, maka dunia yang sekarang bukanlah tempat yang konsisten lagi untuk budaya patriarki.

Aku akan membahas salah satu perempuan hebat yang menurutku begitu bertalenta dan intelek. Perempuan yang menjadi inspirasi bagi perempuan Indonesia dalam bertindak. Perempuan yang pada zaman dulu memiliki keinginan cita-cita emansipasi wanita di Indonesia dan ingin memberikan kesempatan buat perempuan bersekolah sama seperti laki-laki. Perempuan yang menentang dunia perempuan yang hanya soal berdandan, mengurus anak dan memasak.

Perempuan hebat dan kuat, ibu kita Kartini.

RA Kartini dan Kesetaraan Gender

Perempuan kuat dan cerdas ini lahir pada keluarga yang feodal dan partiarki. Lahir pada lingkungan jawa yang amat kental dan terkungkung pada ranah-ranah rumah tangga yang begitu melekat pada perempuan jawa. Perempuan jawa yang pada saat itu tidak diperbolehkan sekolah sama seperti laki-laki seusianya, dan hanya memikirkan bagaimana dan apa yang akan dimasak pada hari-hari esok.

RA Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Mayong, sebuah kota kecil pada wilayah Jepara. Dia bukan orang yang sembarang dalam kapasitasnya sebagai perempuan. Terlahir sebagai bangsawan dan mempunyai cita-cita besar terhadap kehidupan wanita yang hidup sezamannya. Ia mati muda pada umur 25 tahun, namun walau begitu seperti yang dikatakan oleh Tan Malaka jika boleh meminjam perkataannya, Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi! Memang benar adanya!

RA Kartini muda mempunyai misi dan cita-cita yang mulia dan begitu revolusioner. Daya pikiran dan juangnya luar biasa. Dia ingin bersekolah tinggi-tinggi sama seperti teman-teman londonya. Namun bukan hanya saja dirinya yang ia pikirkan, akan tetapi sesuatu hal yang lebih besar lagi. Ini bukan terkait dirinya saja sebagai perempuan namun hal lebih penting menyangkut seluruh perempuan jawa yang ada. Menurutnya, kesetaraan tersebut haruslah ada dan nyata.

RA Kartini menginginkan perempuan jawa bersekolah sama rata dengan laki-laki seusianya, tanpa memikirkan hanya akan bekerja di dapur dan melahirkan anak. Seorang perempuan bangsawan yang hidup di lingkungan dan struktural yang feodalistik namun melahirkan pemikiran revolusioner melintasi zamannya. Seperti itulah Kartini. Wanita yang kuat dalam pemikiran dan daya juangnya.

RA Kartini telah jauh-jauh hari memikirkan emansipasi wanita sebelum sebagian besar wanita seumurnya memikirkan hal tersebut. Dia mampu mengartikulasikan dan mengakumulasikan pemikiran-pemikiran dan kehendak perempuan yang tidak terdengar oleh struktural yang feodal, walaupun hal tersebut berbentuk surat-surat pribadinya. Akan tetapi, hal ini lebih dari cukup dan maksimal untuknya terlebih begitu banyak rintangan dan halangan untuknya pada saat itu. Jika saja kupikir dia berasal dari perempuan eropa, mungkin saja dia akan menjadi seorang perempuan yang benar-benar berkembang dan berdampak. Dia akan mudah menjadi seseorang yang berpengaruh. Namun, bukan berarti pengaruhnya sebagai wanita jawa tidaklah ada pada saat itu. Terlebih keadilan dan kesetaraan gender mulai hangat diperbincangkan pada era 1970-an, lebih dari seabad kemudian yang menjadi pergolakan pemikiran RA Kartini.

Dia tidak mampu menggerakkan massa untuk memberontak atau melawan secara fisik, oleh karena itu segala pemikirannya soal kesetaraan gender ia curahkan dalam bentuk tulisan kepada sahabat-sahabat londonya di Belanda yang begitu jauh. Mungkin ia tidak menyangka bahwasanya tulisannya akan dibukukan. Mungkin saja dia juga tidak menyangka bahwa hasil curhatan kepada sahabat-sahabatnya itu akan dicetak dan diterbitkan tidak hanya dalam bahasa Indonesia saja, namun juga ke dalam bahasa Belanda dan Inggris. Habis Gelap Terbitlah Terang, buah pemikirannya yang menjadi inspirasi pada zamannya dan tidak akan pernah usai hingga sekarang.

Bahkan semenjak kematiannya pada 12 November 1913, namanya dikenang begitu luas. Yayasan Kartini dibangun di Semarang oleh keluarga Van Deventer setahun sebelum kematiannya, tokoh Belanda yang menentang kerja paksa dan pemikirannya mengenai politik etis. Lalu pada hari lahirnya yaitu 21 April diperingati sebagai Hari Kartini secara Nasional.

Sosok RA Kartini Baru

Buah dari pemikiran RA Kartinilah yang seharusnya sekarang menjadi inspirasi bagi generasi perempuan masa kini. RA Kartini berjuang lewat intelektualitasnya demi mengangkat isu emansipasi wanita hingga sekarang. Perempuan Indonesia harus meningkatkan kualitas dirinya dari berbagai aspek sehingga dapat bersaing di dunia yang kini seharusnya memberikan tempat yang ideal untuk semakin berkembang.

Namun, perjuangan RA Kartini sepertinya hanya akan sia-sia saja jika perempuan masa kini lebih terfokus terhadap hal-hal non-esensial yang mengungkung dirinya pada ranah yang tidak terlihat. Perempuan bukan hanya mengandalkan aspek wajah saja, apalagi itu hanya pemberian Tuhan sejak lahir. Media sosial memberikan ruang yang sebebasnya untuk itu. Perkara industri kecantikan dan produk standar kecantikan yang hanya berkutat pada penampilan fisik malah akan merusak perempuan itu sendiri.

Yang hanya dijual adalah wajah, bukan karya dan usaha dari internal seorang wanita. Hal ini tidaklah sehat dan sebagian besar laki-laki menginginkan itu, dan juga sebagian besar perempuan juga memenuhi standar industri itu pula. Industri di era internet yang lambat laun akan memperbudak perempuan itu sendiri pada citra yang semu dan hanya memuaskan hasrat seorang laki-laki. Standar kualitas palsu yang hanya menilai perempuan hanya dari kecantikan wajah dan kemolekan tubuh. Satu-satunya cara dalam menilai kualitas seorang wanita berdasarkan kecantikan yang semu tersebut adalah cara berpikir yang salah. Bentuk patriarki era baru.

Perempuan masa kini, berdasarkan buah pemikiran RA Kartini harus menemukan kualitas dari dirinya sendiri. Hal apa yang seharusnya dihasilkan secara sehat dan bermanfaat. Hal yang dikaryakan. Hal yang menjadi buah pemikiran intelektualitas dari perempuan tersebut. Bukan hanya menjual wajah saja tanpa ada aspek internal yang patut untuk dibanggakan. Namun, yah, jika dia berwawasan luas dan cantik, bisa kubilang itu sempurna untuknya. Perempuan yang berkualitas. Perempuan yang dibanggakan oleh RA Kartini.

Sudah ya, semoga bermanfaat.

Sumber:

Afriyanti, N. (2019). Kesetaraan Gender dalam Tulisan R.A Kartini Perspektif Pendidikan Islam. Institut Agama Islam Negeri Bengkulu.

A, Nunuk. (2004). Getar Gender. Perpustakaan Nasional Malang.

A, Syahrul. (2017). Perjuangan Gender dalam Kajian Sejarah Wanita Indonesia pada Abad XIX. Vol. 1 №2, Fajar Historia: Jurnal Ilmu Sejarah dan Pendidikan.

Chaidir. (2002). Berhutang pada Rakyat. Penerbit Adicita.

Jack, Dana Crowley, & Dill, D. (1992). The Silencing the Self Scale. Psychology of Women, 16, 97–106.

Mulyani, T. (2018). Kajian Sosiologis mengenai Perubahan Paradigma dalam Budaya Patriarki untuk Mencapai Keadilan Gender. Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan, 3(2). 149–158.

Rabbaniyah, S., & Salsabila., S. (2022). Patriarki dalam Budaya Jawa: Membangun Perilaku Pembungkaman Diri pada Perempuan Korban Seksual dalam Kampus. Universitas Sebelas Maret.

Sulistyowati, Y. (2020). Kesetaraan Gender dalam Lingkup Pendidikan dan Tata Sosial. Institut Agama Islam Negeri Ponorogo.

--

--