Menemukan Sinonimitas E Pluribus Unum dan Bhineka Tunggal Ika

Feyza Miskatlubby
Komunitas Blogger M
4 min readDec 17, 2023
Photo by David Todd McCarty on Unsplash

Belakangan, kita menyadari bahwa negara-negara besar kebanyakan lahir dari rahim ibu yang beragam. Kita sadar betul, bahwa besarnya negara macam Amerika Serikat adalah karena sokongan yang kuat dari para imigran. American Dreams, seolah menjadi bentuk propaganda Amerika dalam menemukan pemimpi-pemimpi baru yang kelak berkontribusi terhadap kemajuan Amerika di banyak bidang. Tat kalanya Amerika, Indonesia juga merupakan negara yang lahir dari rahim keberagaman. Lebih dari 700 bahasa dan dialek, 400 lebih suku bangsa, dan puluhan agama dan kepercayaan, tersebar disepanjang luasnya Samudra Hindia dan Pasifik.

Para pemikir dan pendiri Amerika, hampir 3 abad lalu melahirkan satu konsep soal keberagaman. Mungkin mereka sadar, negara yang akan lahir ini kelak akan menjadi pemimpin dunia. Dan untuk merepresentasikan gagasan tersebut, diperlukan kontribusi yang besar oleh ragam suku, bangsa, bahasa, dan warna kulit dari seluruh dunia.

Kita meyakini, bahwa Columbus sang penjelajah dari Spanyol menjadi orang pertama yang menemukan Benua itu. Disambut penjelajah lain macam Hernán Cortés, dan Francisco Pizarro yang ikut datang dan mematok tanah untuk negara mereka.

Namun fakta ini tidak bisa menutupi siapa penduduk asli Amerika yang sebenarnya. Hampir sekitar 20.000 tahun yang lalu, orang-orang dari Asia mengejar hewan buruan sampai ke benua itu. Mereka kelak menjadi pemukim pertama di Benua Amerika, yang menduduki Amerika Utara, Tengah, Selatan, dan Kepulauan Karibia sebagai orang-orang yang disebut Red Indian atau Native Americans.

Kedatangan orang-orang Eropa ke tanah baru itu, telah memberikan perubahan yang besar terhadap kehidupan orang-orang asli Amerika. Kelak di-era modern, orang-orang asli itu tersingkirkan dari tanah moyangnya. Berjuang mendapatkan hak yang sama, yang baru mereka dapatkan beberapa dekade kebelakang lewat Undang-Undang Hak Sipil Indian (1968) dan Undang-Undang Perlindungan dan Pemulihan Tanah Asli Amerika (1975).

Sekarang, mari kita kembali kepersoalan mendasar mengenai menemukan sinonimitas dari motto dua negara ini. E Pluribus Unum adalah bahasa latin yang diadopsi oleh pendiri bangsa Amerika menjadi sebuah motto atau semboyan negaranya. “Dari Banyak Menjadi Satu”. Secara bahasa dan konsep, mungkin kita tidak menemukan kesamaan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika karya Mpu Tantular, yang berarti “Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu”. Namun, kita sadar keduanya sama-sama menunjukkan komitmen atas inklusivitas dalam membangun masing-masing bangsa.

Mengapa Inklusivitas Penting?

Sulit membayangkan menjadi besar, namun berdiri sendiri. Tanpa kolaborasi, tanpa diferensiasi pikiran, dan keindahan dalam toleransi. Sejarah telah mencatat, bahwa bangsa yang berupaya berdiri sendiri lewat ekslusivitas tak pernah berhasil. Sebut saja keagungan Jerman pada era fasisme Nazi yang runtuh bersamaan dengan propaganda Ultra-Nasionalisme mereka. Atau Imperium Mongolia yang gagal mempertahankan wilayahnya yang begitu besar karena perang saudara, dan kecenderungan barbar mereka dalam menghacurkan wilayah lain tanpa menciptakan pemerintahan baru yang terkoordinir.

Lewat inklusivitas, semua orang seakan diberikan peran. Semua menjadi penting dan punya andil. Pernah membayangkan jika orang-orang dari Asia Selatan macam India dan Pakistan menjadi yang terpilih dalam memimpin perusahaan-perusahaan raksasa teknologi Amerika seperti Google, Microsoft, dan Adobe. Bahkan ada orang keturunan India yang menjadi Perdana Menteri (kita bahas lain waktu, karena untuk kasus ini terjadi di Inggris).

Tanpa inklusivitas, kesempatan-kesempatan ini mungkin tidak pernah datang. Tanpa inklusivitas, jajaran direksi perusahaan-perusahaan Top Global yang berbasis di Amerika mungkin tidak pernah diisi oleh para imigran. Dan tanpa inklusivitas, jelas American Dreams yang selama ini digaungkan Hollywood hanya omong kosong belaka.

Sekarang, mari kita lihat bagaimana inklusivitas juga berlaku di Indonesia. Dimana sejarah Indonesia mencatat bahwa para pendiri dan pemikir bangsa ini lahir dari ragam suku di Indonesia. Kita pertama kali mencatatkan semangat inklusivitas pada 1928, atau 9 dekade lalu. Masa dimana kumpulan suku bangsa menyatakan ikut berkontribusi dalam semangat kemerdekaan Indonesia.

Momen Sumpah Pemuda, menjadi tinta pertama yang dibubuhkan dalam rangka menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang benar-benar ingin merdeka. Semangat bahwa tiap putera-putera bangsa Indonesia akan teguh menyumbangkan sedikit buah pikirnya, keringat, serta darahnya dalam membangun bangsa ini.

Kesamaan atas inklusivitas dalam membangun bangsa adalah benang merah dari semboyan kedua negara. Baik Indonesia dan Amerika adalah negara yang lahir dari keberagaman. Dan mungkin akan terus begitu selama berabad-abad kedepan.

Hari ini, semangat itu tidak pernah pudar. Semua orang, tanpa memandang suku, bangsa, warna kulit, dan agamanya, sama-sama ingin berkontribusi untuk negara. Fakta bahwa Amerika dan Indonesia sama-sama memiliki catatan merah karena menghakimi orang-orang native (perundungan, kriminalisasi, kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat adat) kita bahas lebih mendalam di lain tulisan. Untuk sekarang, mari kita apresiasi semangat persatuan ini lewat kontribusi kita di banyak bidang. Karena perlu kita sadari, bahwa sekecil apapun kontribusi kita akan sangat penting bagi keberlangsungan bangsa ini.

--

--