Menerbitkan Buku Juga Bagian dari Perjuangan (Intelektual) Bangsa

Firda Rihatusholihah
Komunitas Blogger M
5 min readAug 14, 2020
Photo by Christin Hume on Unsplash

Panjat pinang. Makan kerupuk. Balap karung

Permainan di atas erat kaitannya dengan perayaan Hari Kemerdekaan. Barangkali acara “tujuh belasan” menjadi terasa tidak lengkap tanpa ketiga lomba itu, walaupun tidak diketahui misalnya, relevansi makan kerupuk atau panjat pinang dengan perjuangan kemerdekaan. Namanya juga perayaan, pasti ada saja kegiatan untuk memeriahkan dan menarik minat orang-orang.

Lalu, kampanye soal “memaknai kemerdekaan”, “mengenang perjuangan para pahlawan”, dan topik-topik heroik lainnya juga kerap bermunculan. Di sisi lain, ada jenis perjuangan yang saya pikir tidak mendapat sorotan sehebat perjuangan pahlawan: perjuangan menerbitkan buku. Justru, perjuangan inilah yang secara konkret terus berlanjut setelah kemerdekaan, bahkan hingga saat ini.

Baiklah, saya akan menjelaskan sebab-sebab penerbitan buku sejak sebelum kemerdekaan, tepatnya awal abad 20, layak disebut “perjuangan”.

Pengawasan yang ketat

Berbicara mengenai pengawasan penerbitan, saya memulainya dari Balai Pustaka. Penerbit yang didirikan pada 1917 mendominasi dunia penerbitan di Indonesia kala itu. Sayangnya, dominasi Balai Pustaka tidak disertai dengan kebebasan pemilihan buku yang hendak diterbitkan. Pemerintah kolonial yang mendirikannya melakukan pengawasan ketat.

Buku yang dianggap subversif atau tidak sejalan dengan kehendak pemerintah kolonial tentu tidak dapat terbit. Paling tidak, sang pengarang diharuskan mengubah habis-habisan draft tulisannya agar menenuhi syarat penerbitan.

Dalam hal ini, A. Teuww memberi contoh kasus pada penerbitan novel Salah Asuhan yang terbit pada 1928 (Teuww,1972). Sang pengarang, Abdul Moeis, diharuskan mengubah karakter tokoh Corrie. Sebelum diterbitkan, karakter Corrie diceritakan sebagai perempuan Indo yang kurang bermoral. Ia menikahi Hanafi, laki-laki asal Minangkabau yang meninggalkan istri pertamanya, seorang perempuan Minangkabau berkepribadian luhur.

Balai Pustaka tidak menerima adanya konflik antara perempuan Indonesia “baik-baik” dengan perempuan Indo “kurang moral”, sehingga karakter Corrie diubah menjadi “bermoral baik tetapi bernasib malang”.

Peraturan tersebut tidak berlaku pada Balai Pustaka saja, tetapi juga pada penerbit-penerbit swasta. Penerbit yang tertangkap mempublikasikan buku-buku “terlarang” terancam harus menutup usahanya, atau tersisih dari pasar perbukuan (Liem, 2012). Alhasil, keragaman bacaan yang ditawarkan terbatas pada buku-buku “cap” pemerintah.

Pengawasan ketat terhadap penerbitan kembali muncul saat peralihan sistem pemerintahan ke Demokrasi Terpimpin. Beberapa kota melibatkan pengawasan militer terkait urusan perizinan.

Seperti yang terjadi di Surabaya dan Malang yang mewajibkan penerbit meminta surat izin dari tentara sebelum menerbitkan buku. Tentara berhak untuk menutup dan mencabut izin penerbit atau percetakan, serta mendapat prioritas layanan. Artinya, pesanan cetak dari pihak tentara — dan pemerintah — wajib didahulukan,

Fenomena di atas menunjukkan betapa untuk memiliki kebebasan mempublikasikan tulisan menjadi sangat mahal, dan dalam beberapa hal, bisa membahayakan usaha penerbitan.

Hak-hak yang tidak terpenuhi

Apa yang tidak kalah penting dari karya seorang penulis maupun penerjemah? Tentu saja hak cipta!

Pada tahun 1952, Pramoedya Ananta Toer pernah menyuarakan persoalan hak cipta pengarang dan penerjemah dalam Kongres Kebudayaan Nasional (Liem, 2012). Pemerintah dianggap abai soal perlindungan hak cipta. Pengabaian terhadap hak cipta sampai pada tahap ketika nama penerjemah yang kurang terkenal tidak tercantum dalam buku yang diterjemahkannya.

Kondisi ini diperparah dengan kesejahteraan pekerja di bidang penerbitan. Mengutip Maya Liem, Ajip Rosidi menyebutkan bahwa honor per bulan yang ia terima dari bekerja di Balai Pustaka sebesar 230 rupiah pada 1955, jauh dari ketentuan upah minimum yang mencapai 700 rupiah (Liem, 2012). Jumlah honor tersebut bahkan masih belum dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sungguh kombinasi yang malang. Di saat karya pengarang dan penerjemah tidak terlindungi hak cipta, pekerja penerbitan juga tidak mendapat upah yang layak. Dengan kondisi demikian, kontribusi mereka terhadap perkembangan dunia literasi di tahun 1950-an barangkali sebanding dengan ungkapan “pahlawan tanpa tanda jasa”.

Kelangkaan kertas dan krisis ekonomi

Selain rendahnya upah pekerja, penerbitan sendiri terhambat oleh ketersediaan pasokan kertas. Terutama menjelang akhir tahun 1960, terjadi kelangkaan kertas sehingga para penerbit tidak dapat memenuhi kebutuhan percetakan.

Penerbit tidak mendapat kertas dalam kualitas maupun kuantitas yang dibutuhkan. Seperti yang dialami oleh Pustaka Rakyat, yang sepanjang tahun 1960 hanya mendapat 800 rim. Jumlah tersebut bahkan tidak sampai setengah dari total kebutuhan yang mencapai 5000 rim.

Pasca 1965, saat terjadi hiperinflasi, ketidakstabilan politik, dan protes dimana-mana, daya beli buku menurun. Tentu saja hal tersebut berpengaruh terhadap kapasitas penerbit dalam mencetak judul baru. Salah satunya penerbit Binatjipta yang mengalami penurunan signifikan.

Dari sejumlah sepuluh judul pada 1962, lima judul 1965, sampai tidak menerbitkan judul baru sama sekali pada 1966–1967. Demi menjaga arus kas usaha, penerbit memilih untuk mencetak ulang, khususnya buku teks sekolah yang pasarnya lebih terjamin. Hassan Shadily berujar bahwa penerbit yang mencetak ulang buku teks sekolah selama hiperinflasi lebih mampu melunasi biaya produksi dibanding penerbit buku umum dan buku referensi perguruan tinggi.

Penerbitan hari ini

Setelah melihat jejak “perjuangan” menerbitkan buku di Indonesia sejak di didirikannya Balai Pustaka hingga tahun 1960-an, lantas, bagaimana kondisi penerbitan buku masa kini?

Barangkali pada 60–70 tahun yang lalu, para penerbit tidak pernah membayangkan bahwa akan ada masa ketika siapapun bisa menulis dan menerbitkan buku, asal ada modal dan kemampuan menulis. Bahkan juga membeli buku dari manapun, tanpa repot-repot berkendara ke toko buku terdekat.

Kini, penerbit, khususnya yang independen, menerima pesanan print on demand, atau menerbitkan buku sesuai permintaan penulis, bahkan walau oplahnya tidak sampai ribuan. Lagi pula, bila tidak ingin mengeluarkan banyak uang untuk mencetak, penulis bisa menerbitkan dalam bentuk digital — dan tidak perlu khawatir soal ketersediaan kertas.

Saat berbagai sektor usaha terdampak pandemi, tak terkecuali usaha penerbitan buku. Menurut hasil survei yang diadakan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada 100 penerbit, setengah diantaranya mengalami penurunan penjualan sampai 50 persen (Kompas.id, 24 April 2020). Beberapa penerbit bahkan menghentikan pencetakan judul baru dan hanya mengandalkan penjualan judul yang sudah terbit — serupa dengan situasi krisis pada pertengahan 1960-an.

Penjualan secara daring dan pengubahan format buku menjadi digital memang dapat menjadi alternatif pemasaran, namun pada praktiknya hal tersebut belum berjalan sesuai harapan.

Thomas Nung Atasana, Direktur Borobudur Agency mengatakan bahwa penjualan secara daring belum memperoleh capaian yang signifikan (Kompas.id, 18 Mei 2020). Sementara itu, penerbitan buku digital di Indonesia masih terancam pembajakan. Seperti yang ditemukan dari survei oleh IKAPI, bahwa 25 persen penerbit yang disurvei menemukan bahwa buku-buku yang mereka terbitkan dibagikan secara gratis dalam format PDF.

Tampaknya, perjuangan menerbitkan buku masih akan terus berlanjut. Mengikuti perkembangan zaman adalah sebuah keharusan untuk bertahan. Selama pembaca masih bersedia untuk membeli buku dan penerbit terus berinovasi, penerbitan buku juga tidak akan mati.

*Sebagian dari konten artikel ini pernah dimuat dalam tugas akhir penulis dengan judul Franklin Book Programs: Mempromosikan Amerika Serikat melalui Penerjemahan Buku di Indonesia, 1955–1968

Referensi

Liem, Maya. “A Bridge to The Outsiide World Literary Translation in Indonesia, 1950–1965.” in Heirs to World Culture, by Maya Liem Jennifer Lindsay, 163–190. Leiden: KITLV, 2012.

Teuww, A. “The Impact of Balai Pustaka on Modern Indonesia.” Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 1972: 111–127.

Indonesia: Publishers; Franklin Book Programs Records, MC057, Public Policy Papers, Department of Special Collections, Princeton University Library.

https://www.kompas.id/baca/dikbud/2020/05/18/hari-buku-nasional-penerbit-genjot-pasar-daring/, diakses 2 Agustus 2020

https://www.kompas.id/baca/dikbud/2020/04/24/pandemi-covid-19-momentum-perbaikan-industri-perbukuan/, diakses 2 Agustus 2020

--

--