Mengintip di Balik Kehidupan Pelajar Indonesia di Australia

Study in Australia is not as glamorous as it sounds

Steven Effendi Halim
Komunitas Blogger M
7 min readMay 12, 2021

--

Di saat aku menulis ini, aku sudah menghabiskan waktu tinggal selama 3 tahun sebagai International Student di Australia.

Menginjak umur 30 tahun, aku dan istriku memutuskan untuk mem-pause kehidupan untuk sementara. Karena aku memutuskan untuk kembali ke bangku sekolah di Australia.

Kebanyakan dari teman-temanku mungkin berpikir kalau aku sedang mengambil gelar Master, padahal kenyataannya tidak.

Aku memutuskan untuk ganti haluan dari dunia IT ke dunia hospitality. Ya aku sekolah dengan tujuan menjadi seorang Chef.

Tahun 2018, kami mempersiapkan segalanya untuk bisa tinggal dan bersekolah di Australia.

Bayangan kota-kota yang indah, udara yang sejuk dan transportasi umum yang nyaman sudah menghiasi pikiranku selama hampir satu tahun.

Ditambah lagi, bisa hidup dan tinggal di luar negeri.

Jujur saja pada waktu itu, aku sudah merasa sumpek dan jenuh dengan kehidupanku saat itu. Setiap hari harus berjuang menghadapi macet kota Jakarta ketika berangkat dan pulang dari kantor.

Total perjalanan kami untuk pulang dan pergi bisa mencapai 4 jam setiap harinya.

Itu artinya kami menghabiskan waktu selama 80 jam dalam sebulan di jalanan untuk pergi dan pulang kantor.

Hampir 4 hari hidup di jalan!! Are you serious? there should be a lot of things that can be done for all those hours.

Ditambah lagi hal-hal lain seperti penghasilan, karir, demo yang sering terjadi di Jakarta, banjir, dsb.

Hal-hal tersebut membuat kami memutuskan untuk mencoba petualangan baru dan kehidupan yang baru.

Persiapan dan persyaratan untuk sekolah di Australia

Well, hanya karena kami memutuskan untuk pergi ke Australia bukan serta merta hanya tinggal beli tiket dan pergi begitu saja. Ada banyak faktor yang harus diperhitungkan mengingat Indonesia bukan negara super seperti Amerika dan Eropa.

Nomor 1 tentu saja adalah uang.

Indonesia termasuk sebagai negara berpenghasilan rendah jika dibandingkan dengan negara-negara kelas satu seperti Singapore, Australia, UK, USA.

Tentu saja ini menjadi tantangan tersendiri untuk menyiapkan uang dengan penghasilan level Indonesia, untuk biaya level Australia.

Menurut Departemen Imigrasi Australia, berikut biaya yang harus kita punya untuk bisa mendapatkan visa pelajar untuk sekolah di Australia.

  • sufficient funds to cover your travel costs and 12 months of living and tuition fees for you and your accompanying family members and school costs for any school aged dependants, or
  • evidence that your spouse or parents are willing to support you and they have an annual income of at least AUD 62,222 for single students or at least AUD 72,592 for students that are accompanied by family members

Pada tahun 2018, pemerintah Australia memberikan rincian berapa nominal yang harus kita punya untuk menghidupi kita selama 12 bulan pertama. Namun sejak COVID terjadi, rincian tersebut dihilangkan dari situs resminya. Aku akan bahas itu di lain waktu

Kebetulan aku masih punya catatan tahun 2018 yaitu sebagai berikut:

  • Student: AUD 20,209
  • Partner/Spouse: AUD 7,100
  • Child: AUD 3,040

Travel Cost: About 2,000 A$

Nominal di atas harus ditambahkan dengan biaya sekolah yang ingin kita tuju dan biaya asuransi selama durasi sekolah kita yang harus dibayarkan di muka.

Singkat cerita, kami harus menyiapkan dana sebesar 450–500 juta untuk bisa mendapatkan visa.

Kami harus menjual kendaraan pribadi kami, dan meminjam uang agar tabungan yang aku punya mencukupi persyaratan tersebut.

Setelah persyaratan terberat terpenuhi, baru kami mempersiapkan persyaratan lainnya seperti nilai Bahasa Inggris, Confirmation of Enrollment dari sekolah, dan dokumen-dokumen resmi lainnya seperti passport, dll.

Oh ya, untuk bisa mendapatkan Confirmation of Enrollment, kamu diharuskan sudah harus membayar biaya semester pertama dulu ke sekolahmu. Baru setelah itu sekolah mau menerbitkan surat tersebut.

Ini dikarenakan, selama di Australia, kamu menjadi tanggung jawab sekolahmu. Jadi apabila tiba-tiba kamu bertindak kriminal, dan pemerintah Australia diharuskan mencari kamu, maka yang pertama dihubungi adalah sekolah yang kamu ambil.

Karena di atas kertas, sekolahmu sudah memberikan konfirmasi kalau kamu akan masuk dan bersekolah di situ.

Untuk informasi lebih detail, kamu bisa check Document Checklist ini dari website resmi IMMI Home Affairs

Fakta Mengejutkan Kehidupan di Australia

Kalau kamu bukan berasal dari keluarga berpenghasilan seperti yang disebutkan di atas, maka mau tidak mau kamu harus mencari pekerjaan paruh waktu. Setidaknya untuk membantu meringankan biaya hidup kamu.

Pemerintah Australia mengijinkan pelajar untuk bekerja maksimal 20 jam seminggu.

Aku pun sudah mempersiapkan diri untuk melakukan hal tersebut dengan menyiapkan CV sebelum aku berangkat ke Australia.

Dan setelah dua bulan tinggal di Sydney, aku cukup terkejut mengetahui bahwa begitu banyak orang yang datang ke Australia dengan tujuan bekerja.

Jadi mereka menggunakan sekolah sebagai kedok agar bisa bekerja di Australia.

Maklum saja, standard gaji di Australia jauh lebih tinggi dibandingkan di Indonesia. Dan lagi banyak pekerjaan ‘kasar’ yang tidak mau dilakukan oleh warga Australianya sendiri seperti mencuci piring, membersihkan gedung, memetik buah, atau sekedar menjadi waiter di restoran.

Meskipun secara peraturan pemerintah, pelajar hanya diperbolehkan kerja lebih dari 20 jam, namun banyak orang bekerja sampai 40 jam seminggu dengan sisanya dibayar secara cash in hand.

Jadi di atas kertas, orang ini hanya bekerja 20 jam dan dibayar secara legal termasuk laporan pajak, namun 20 jam sisanya akan dibayarkan secara cash.

Hal ini didukung dengan banyaknya sekolah-sekolah yang mengijinkan siswanya tidak perlu masuk, asalkan mengumpulkan tugas. Atau ada juga sekolah yang jadwal sekolahnya hanya 1 hari dalam seminggu.

Sekolah-sekolah tersebut pun memberikan biaya yang sangat murah, dengan kisaran $1,500–2,000 (15 juta — 20 juta) per 3 bulan. Hal ini lah yang dimanfaatkan oleh banyak orang agar mereka bisa tinggal dan bekerja di Australia.

Karena apabila seseorang bisa bekerja 40 jam seminggu, dengan asumsi bayarannya sebesar $20 per jam, maka dalam sebulan, dia bisa menghasilkan $3,200 (32 juta). Dan dalam 3 bulan dia akan menghasilan $9,600 (96 juta).

Apabila dia hanya perlu membayar sekolah $2,000, maka dia masih mampu menyisakan $7,600.

Sebuah angka yang sangat menggiurkan bukan, apalagi untuk mendapatkan uang sejumlah itu, kamu tidak perlu menjadi seorang manajer atau direktur.

Hal ini jugalah yang membuatku kesulitan mendapatkan pekerjaan di awal aku tiba di Australia.

Hal itu karena aku harus sekolah 3 hari dalam seminggu. Dengan hari Minggu adalah waktu aku ke Gereja, otomatis aku hanya bisa bekerja selama 3 hari saja.

Dan ketika ada orang yang available kerja 6 hari dalam seminggu, tentu kebanyakan employer lebih memilih orang tersebut.

Bisa dibilang orang-orang tersebut menjadi TKI berkedok pelajar di Australia.

Persaingan yang Ketat

Apabila kamu membaca ini dan tiba-tiba berpikir ‘enak juga ya kerja di Australia bisa dapat uang segitu banyak’ maka buanglah jauh-jauh pikiran itu.

Yang harus kamu ingat ketika kamu mencari pekerjaan, kamu tidak hanya bersaing dengan orang Indonesia saja, namun ada juga orang-orang dari negara lain seperti India, Nepal, Korea, Vietnam, Filipina, Malaysia, China, Thailand, dan negara-negara lain yang standard penghasilannya masih di bawah Australia.

Satu lowongan pekerjaan bisa diperebutkan oleh 100 orang. Apalagi kalau lowongan itu bukan sesuatu yang mengharuskan kamu mempunyai skill tinggi.

Pada dasarnya, kehidupan pelajar di Australia, dibagi menjadi 2 level.

Level pertama adalah pelajar yang orang tuanya berpenghasilan seperti yang disebutkan di atas, biasanya orang-orang ini masuk Universitas bergengsi yang biayanya sendiri bisa sampai 150 juta setahun.

Pelajar di level ini biasanya tidak terlalu membutuhkan pekerjaan karena orang tuanya mampu membiayai hidupnya. Kalaupun mereka bekerja, biasanya hanya untuk mengisi waktu luang saat liburan musim panas. Atau hanya bekerja 5 jam dalam seminggu.

Level kedua adalah pelajar yang menggunakan sekolah sebagai kedok saja dengan niat bekerja di Australia.

Biasanya orang-orang ini adalah golongan orang yang kurang mampu atau berpenghasilan pas-pasan saat di Indonesia. Maka dari itu mereka datang ke Australia untuk mencoba merubah nasib mereka.

Aku bahkan pernah mendengar ada yang orang tuanya sampai menjual rumahnya agar anaknya bisa datang ke Australia dan bekerja di sana. Tentunya dengan tujuan agar anaknya dapat berpenghasilan yang lebih baik dibanding ketika di Indonesia.

Yang cukup menyedihkan lagi adalah banyak orang yang tertipu oleh agen-agen yang menjanjikan bisa datang ke Australia dan disediakan pekerjaan dengan membayar agent fee sebesar 70 juta.

Mayoritas mereka menghabiskan waktu mereka dengan bekerja. Aku bahkan kenal beberapa orang yang rela kerja 7 hari dalam seminggu. No day off.

At The End…

Begitulah realita kehidupan pelajar di Australia. Kenyataannya, sekolah di Australia, it’s not as glamorous as I thought.

Saranku bagi kalian yang memang ingin pergi ke Australia untuk sekolah dan bekerja. Tentukan end game kalian apa.

Karena bekerja dengan kedok sekolah di Australia itu hanya sementara. Cepat atau lambat, visamu akan habis dan kamu harus menentukan langkah selanjutnya.

Biasanya orang-orang seperti itu akan terkena syndrom, ‘gak mau pulang ke Indo tapi gak bisa bertahan di Aussie’. Yang biasa dilakukan oleh orang seperti itu adalah, ambil sekolah lagi yang murah dengan tujuan memperpanjang visa biar bisa tinggal lebih lama di Australia.

Namun hal itu juga hanya sementara. Akan ada tiba saatnya ketika kamu sudah mencapai umur tertentu yang membuat visamu sulit di approve apabila kamu terus-terusan melakukan hal tersebut.

Apabila kalian ingin mendapatkan PR.

Australia selalu memberikan daftar skill apa yang sedang mereka butuhkan agar kamu bisa mendapatkan Permanent Residence di Australia.

Apabila kamu hanya bertujuan untuk ngumpulian uang semata.

Terntukan targetmu. Berapa banyak uang yang ingin kamu capai dan akan kamu gunakan untuk apa uang tersebut.

Kalau kalian ingin menggunakan uang tersebut untuk modal bisnis di Indonesia. Mulailah dengan meningkatkan skill dan pengetahuan bisnis kamu. Banyak video-video di Youtube yang mengajarkan hal tersebut. Jadi hasil jerih payahmu di Australia tidak hilang begitu saja karena kamu mau berbisnis tapi tidak tahu apa yang kamu lakukan.

Apabila kamu bertujuan murni untuk belajar dan sekolah

Sebagai orang yang pernah kuliah di Indonesia dan di Australia, harus aku akui pendidikan dan universitas di Australia jauh lebih baik dibanding di Indonesia.

Australia sebagai negara kelas satu tentu punya fasilitas kelas satu dan pengajar atau dosen kelas dunia. Ini menjadi kesempatan emas buat kamu untuk fokus pada skill yang sedang kamu bangun. Mencari tempat untuk magang dan belajar dari orang-orang yang sudah mencapai apa yang kamu inginkan.

Apabila kamu lulus dengan gelar Bachelor dari Universitas di Australia. Maka kamu berhak untuk apply Graduate visa yang memberikanmu waktu 2 tahun lagi untuk tinggal dan bekerja di Australia secara full time.

Sebuah kesempatan yang sangat baik untuk menggunakan skill yang sudah kamu pelajari dan membangun karir kamu.

Mudah-mudahan tulisan ini mampu membantu kalian yang sedang di Australia ataupun yang sedang merencanakan ingin sekolah di Australia.

Per tanggal 12 Mei 2021, Australia masih menutup border internasional sampai pertengahan tahun 2022.

Gunakan waktu ini untuk mematangkan rencanamu dan meningkatkan skill kamu. Karena ketika border sudah buka, persaingan akan makin ketat karena banyak sekali orang-orang dari negara-negara lain yang ingin masuk ke Australia.

--

--

Steven Effendi Halim
Komunitas Blogger M

I write about self development, personal finance, entrepreneurship