Menilik Kembali Gerbang Kemerdekaan

Anggit Rizkianto
Komunitas Blogger M
6 min readAug 10, 2024
Ilustrasi: Budiono/ Jawa Pos

Seharian ini hatinya resah. Seolah ada gelombang besar yang membuat perasaannya tak menentu dan tak keruan. Semalam, Kusno akhirnya mengatakan kalimat-kalimat itu. Kalimat-kalimat yang tak pernah terbayangkan sepanjang hidupnya, yang nantinya akan mengubah hidupnya pula.

“Tak bisa kita terus begini,” kata Kusno.

Dia hanya diam.

“Aku mencintaimu, sungguh,” kata Kusno lagi.

Dia masih diam. Terpaku.

“Aku ingin mengawinimu”, tandas Kusno pada akhirnya. “Bagaimana?”

Dia pun sadar kalau memiliki perasaan yang sama terhadap pemuda yang indekos di rumahnya itu. Tapi, dia juga tak bisa mengelak dari fakta bahwa dirinya telah bersuami. Haji Sanusi, suaminya yang juga seorang aktivis Sarekat Islam, memang lebih sering di luar rumah dan nyaris tak ada waktu untuknya. Hingga akhirnya Kusno mengisi hari-harinya, juga hatinya.

Semalam dia telah berjanji akan segera membicarakan perihal ini kepada Kang Uci — begitu dia biasa memanggil sang suami — namun Kusno mencegahnya. Sebab, Kusno yang akan mengatakannya lebih dulu kepada Haji Sanusi; mengatakan kalau dia bersungguh-sungguh ingin mengawininya. Kini, ketika berhadapan langsung dengan suaminya, pikirannya berkecamuk. Hingga akhirnya dia merasa kalah, kalah oleh sikap dan kebijaksanaan sang suami.

“Terimalah lamaran Kusno”, kata Haji Sanusi. “Setelah jelas begitu, Akang jatuhkan talak. Kalian berdua boleh menikah. Mari kita jagokan dia agar menjadi orang penting bangsa ini. Dampingi dia, bantu dia, sampai dia benar-benar mencapai cita-citanya.”

Selepas masa idah dia pun menikah dengan Kusno. Dari sinilah semuanya dimulai. Hidupnya berubah total. Dia pun memenuhi pengharapan mantan suaminya, mendampingi dan menopang hidup Kusno seutuhnya. Dan mengantarkan pemuda itu sampai ke pintu gerbang cita-citanya: kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan doa dan kasih sayangnya, pemuda itu menjelma tokoh penting dalam sejarah: Bung Karno sang proklamator.

Dialah Inggit Garnasih. Perawakannya ramping. Tubuhnya selalu menguarkan wangi bunga. Perihal kecantikannya tak usah ditanya. Ibu Inggit adalah perempuan Sunda dengan segala pesonanya. Dia juga kebanggaan banyak warga Kota Bandung. Keberadaannya menggenapi kecantikan yang telah dimiliki kota itu. Tak heran kalau Bung Karno sampai terpikat dan nekat merengkuhnya.

Kisah Bung Karno dan Ibu Inggit pertama kali saya baca di majalah Jasmerah bernomor 001 edisi Juni-Juli 2013. Saya tertarik membacanya karena nama Ibu Inggit sangat mirip dengan nama saya. Inggit dan Anggit. Hanya dibedakan oleh satu huruf vokal di depan.

Selanjutnya saya membaca lagi kisah dua manusia itu melalui buku berjudul Kuantar Ke Gerbang yang ditulis Ramadhan K.H. Buku itu adalah roman sejarah yang ditulis dengan riset yang tak main-main. Perjuangan dan pergulatan hidup Bung Karno diceritakan dengan sangat memukau lewat sudut pandang seorang Inggit Garnasih.

Meskipun diawali dengan drama perselingkuhan yang bikin geleng-geleng kepala, kisah Bung Karno dan Ibu Inggit adalah sebuah babak penting dalam sejarah Indonesia. Tak usah kita bawa-bawa kalimat klise seperti selalu ada perempuan hebat di belakang laki-laki hebat. Karena apa yang dilakukan Ibu Inggit lebih dari sekadar hebat. Dan ini bukan hanya tentang kehebatan, tetapi juga ketulusan, keikhlasan, dan idealisme.

Ibu Inggit menikah dengan Bung Karno pada Maret 1923. Kala itu usianya 33 tahun. Sedangkan Bung Karno baru 20 tahun dan masih menyandang status pelajar di Technisiche Hoge School (THS) — nantinya menjadi ITB.

Sebagaimana dituturkan Ramadhan K.H., ketika memutuskan menikah dengan Bung Karno, Ibu Inggit sadar betul dengan pilihan dan konsekuensi-konsekuensi yang akan dihadapinya. Dia tahu suaminya masih seorang pelajar, karena itu dialah yang harus mengemong dan menopang penghidupannya hingga lulus. Dia juga tahu suaminya adalah tokoh pergerakan dan tak akan mengejar uang, karena itu dialah yang harus mencari nafkah dan mencukupi semua kebutuhan rumah tangga. Dan lebih dari segalanya, dia juga tahu kalau suaminya adalah musuh nomor satu pemerintah kolonial, maka dia pun siap kalau hidupnya akan penuh kecemasan, guncangan, dan hal-hal yang menyakitkan.

Dan memang demikian kenyataannya. Ibu Inggitlah yang terus mendorong dan menyuntikkan semangat kepada Bung Karno hingga lulus menjadi seorang insinyur. Ibu Inggit pula yang selalu setia membasuh letih dan menguatkan Bung Karno saat sang proklamator kita itu terus ditekan penguasa kolonial.

Ketika Bung Karno ditahan di penjara Banceuy dan Sukamiskin, Ibu Inggit adalah satu-satunya orang yang tetap memompa kepercayaan dirinya dan menghapuskan kesedihannya. Hampir setiap hari dia mengantarkan makanan ke penjara dengan berjalan kaki. Untuk mendapatkan uang, dia pun berjualan apa saja yang dia mampu, mulai dari jamu, bedak, hingga rokok. Tak berhenti sampai di situ, Ibu Inggit juga setia menemani Bung Karno saat suaminya itu diasingkan ke Ende dan Bengkulu. Tak ada sosok lain yang menjadi sandaran dan mendamaikan hati Bung Karno di pengasingan selain Ibu Inggit.

Sebagaimana diakuinya sendiri, Ibu Inggit bukanlah orang pandai. Dia hanya lulusan madrasah. Dia pun tak pandai menulis meski pandai membaca. Tapi, Ibu Inggit adalah orang yang memiliki keluasan hati dan kejernihan pikiran. Imannya sebagai seorang muslim tak perlu diragukan, begitu pula dengan prinsip dan keteguhan hatinya untuk keluar dari kolonialisme yang terus menerungku.

Di tengah-tengah konflik Bung Karno dengan Bung Hatta dan Syahrir, Ibu Inggit selalu menekankan pada suaminya bahwa apapun yang terjadi jangan sampai kelompok pergerakan itu pecah, tercerai berai. Meskipun di saat yang sama dia tahu bahwa bagaimanapun dia tetap harus membela suaminya, membela kehormatannya.

“Perbenturan antara suamiku dan Hatta muncul lagi dalam suatu polemik. Lagi-lagi soal pengertian dan pendirian mengenai non-kooperasi itu. Kedua belah pihak baku hantam, saling memegang pendiriannya, dan saling mengejek. Tidak menyenangkan bagiku, tetapi aku istri Kusno,” kata Bu Inggit sebagaimana dituturkan Ramadhan K.H.

Namun, kisah Ibu Inggit dan Bung Karno bukanlah kisah sejoli yang saling mencintai dan terus bersama sampai mati. Keduanya berpisah tatkala kemerdekaan Indonesia sudah di depan mata. Bung Karno jatuh hati kepada Fatmawati ketika di Bengkulu. Bung Karno ingin mengawininya, tetapi juga meminta Ibu Inggit tetap jadi istrinya. Namun Ibu Inggit pantang dimadu. “Ceraikan aku dahulu, baru Kus boleh kawin dengannya,” tegas Bu Inggit.

Keduanya resmi bercerai pada awal 1943, kira-kira 2,5 tahun sebelum Indonesia merdeka. Alasan Bung Karno kala itu adalah karena ingin memiliki keturunan. Memang benar bahwa selama 20 tahun berumah tangga dua insan itu tidak dikaruniai keturunan. Menurut pengakuan Ibu Inggit, dialah yang mandul. Tapi, alasan Bung Karno itu tentu diragukan banyak orang. Karena kenyataannya, setelah Fatmawati beranak pinak, Bung Karno tetap saja kepincut perempuan lain. Ada sederet nama perempuan yang pernah dinikahinya dan tak perlu saya tulis di sini.

Tapi, kenyataan itu sama sekali tidak mengubah fakta bahwa Bung Karno adalah pemimpin hebat dan seorang revolusioner yang tangguh. Dan juga tak mengubah fakta bahwa Ibu Inggit adalah perempuan paling penting dalam perjuangannya merebut kemerdekaan.

Ibu Inggit memang tak pernah menjadi ibu negara, tetapi dia turut membidani lahirnya negara ini. Dengan kasih sayangnya, dia telah berhasil mengantarkan sang proklamator ke gerbang kemerdekaan, gerbang kehidupan yang lebih baik bagi kita semua.

“Selamat jalan, semoga semua selamat dalam perjalanan.” Itu adalah kata-kata terakhir yang diucapkan Ibu Inggit ketika Bung Karno mengantarnya pulang ke Bandung. Kata-kata perpisahan yang diucapkan tanpa air mata.

Membaca kembali kisah Ibu Inggit mengingatkan saya pada buku yang lain: Who Cooked Adam Smith’s Dinner? A Story About Women and Economics, yang ditulis Katrine Marçal. Dalam buku itu, Marçal bercerita tentang kerja-kerja perempuan yang berkontribusi besar dalam perekonomian, tapi acapkali terlupakan. Menyiapkan makanan, melakukan perawatan, dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik lainnya, tak kalah penting dengan bekerja di bidang bisnis, politik, institusi pendidikan, dan sektor-sektor formal lainnya.

Marçal yang pada dasarnya sedang mengkritik ekonomi liberal yang digagas Adam Smith lantas menjadikan Adam Smith sendiri sebagai contoh. Laki-laki yang seumur hidupnya melajang itu bisa bekerja dengan baik sebagai akademisi dan ilmuwan karena ada ibunya yang selalu memenuhi kebutuhan dasarnya. Dia tak pernah dipusingkan dengan perkara memasak makan malam, mencuci pakaian, bersih-bersih rumah, berbelanja kebutuhan pokok, dan perkara-perkara lain di luar urusan karirnya.

Begitulah, kerja-kerja domestik — yang seringnya dikerjakan perempuan — adalah kerja-kerja penting yang tak terlihat. Kerja-kerja tersebut tak pernah dihitung oleh negara, tak pernah tampak dalam angka-angka statistik, dan tak diakui sebagai sesuatu yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.

Kiranya begitu juga dengan perjuangan Ibu Inggit. Kerja-kerjanya nyaris tak terlihat. Tak banyak yang mengenalnya dan mengingatnya. Namanya tak banyak disebut di buku-buku pelajaran sejarah; juga tak banyak disebut di perayaan-perayaan kenegaraan.

Padahal, bagi Bung Karno, Ibu Inggit bukan hanya seorang istri, tetapi juga seorang ibu sekaligus sahabat. Seorang Ibu yang tulus mengasuh dan menjadi tempat pulang ketika semangat mulai mengendur. Seorang sahabat yang setia menemani dan menjadi tempat berbagi keluh maupun peluh. Tanpa peran Ibu Inggit, barangkali perjuangan Bung Karno tak akan berjalan mulus dan barangkali bangsa Indonesia akan lebih lama tenggelam dalam kolonialisme. Bangsa ini berhutang besar kepada seorang Inggit Garnasih.

Kini, Indonesia nyaris menginjak usianya yang ke-79. Adakah kehidupan gilang gemilang yang didambakan itu kita rasakan? Hampir setiap hari kita dihantui berita buruk. Nurani kita terus diusik oleh kekuasaan yang korup, ketidakadilan hukum, ketidakpedulian negara, dan hal-hal menyakitkan lainnya. Saya jadi teringat lagi kata-kata perpisahan Ibu Inggit itu.

Selamat jalan, semoga semua selamat dalam perjalanan. Hari-hari ini kata-kata itu terdengar lain. Seolah Ibu Inggit tidak hanya mengatakannya kepada Bung Karno, tetapi juga kepada semua rakyat Indonesia. Semoga kita semua selamat dalam perjalanan. Semoga bangsa ini selamat dalam perjalanan.

--

--