Menjadi Cina yang Dicintai Masyarakat

Anggit Rizkianto
Komunitas Blogger M
6 min readFeb 25, 2022
Foto Ilustrasi: Basuki Tjahaja Purnama (Detik.com)

Laki-laki itu menatap saya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ia sedang sibuk membersihkan kamarnya, tapi kemunculan saya tampaknya memaksanya untuk berbasa-basi.

“Baru pulang, Mas?” tanyanya, seraya kedua tangannya sibuk dengan sapu dan pengki.

Saya menjawab “Iya” dengan nada malas, lha wong sudah tahu baru pulang kok masih ditanya. Dan saya sebenarnya ingin segera masuk kamar karena sangat lelah, tapi pertanyaannya itu ternyata juga memaksa saya untuk berbasa-basi. Saya pun menanyakan namanya, asalnya dan tempatnya bekerja di Surabaya. Ia menjawab, lalu membalas saya dengan pertanyaan yang sama persis dengan yang saya tanyakan kepadanya.

Laki-laki itu penghuni baru kos. Namanya Jepri, asal Pekalongan. Ia bekerja di sebuah hotel baru yang ada di pinggir kota. Bagian F&B service, katanya. Kamarnya berhadap-hadapan dengan kamar saya.

Jepri orangnya tak banyak bicara. Ia juga jarang keluar kamar. Memang di kamarnya ada kamar mandi, berbeda dengan kamar saya. Tapi, saya jarang melihatnya berada di dapur, atau merokok di balkon seperti penghuni kos lainnya. Saya hanya melihatnya saat berpapasan ketika ia hendak berangkat kerja atau pulang kerja.

Paling sering saya yang menyapanya lebih dulu. Saya bertanya “Berangkat, Mas?” kalau dia mau berangkat, dan bertanya “Pulang, Mas?” kalau dia baru saja pulang. Dia pun menjawab “Iya” dengan nada malas. Lha wong sudah tahu kok masih ditanya, pikirnya, barangkali.

Waktu itu hari Minggu dan menjelang akhir tahun. Pagi-pagi sekali Jepri mengetuk pintu kamar saya. Ia memberi saya sebuah kotak besar berisi macam-macam roti, donat dan cake warna-warni. Katanya semalam ia dapat banyak makanan dari hotelnya. Sayang kalau sampai tidak ada yang makan, katanya lagi. Setelah memberi kotak penuh makanan itu dan saya berterima kasih, Jepri juga mengucapkan selamat Natal kepada saya. Saya pun menjawab “Sama-sama”.

Sekitar satu bulan kemudian, kejadiannya juga hari Minggu, Jepri sedang menyemir pantofel di depan kamarnya. Saat itu menjelang magrib, saya keluar kamar dengan mengenakan kain sarung dan kaos oblong.

“Nyemir, Mas?” tanya saya. Dia menjawab “Iya” sembari melihat ke arah saya sebentar. Saya bergegas menuju ke kamar mandi, mengambil wudhu, lalu kembali lagi ke kamar. Saya menunaikan sholat ashar. Setelah itu, saya keluar kamar lagi dengan kopiah hitam masih tertengger di kepala. Saya menuju dapur, lalu menjerang air untuk membuat kopi.

Jepri rupanya menyadari kalau saya baru saja sholat. Sekonyong-koyong ia pun bertanya, “Lho, Mas Anggit, sampean Islam to?”

Ketika saya menjawab “Iya”, ia pun lanjut berkomentar, “Owalaaa, aku pikir sampean Nasrani, Mas, soalnya wajah sampean kayak wajah Nasrani, maaf yo, Mas.”

“Yo mas, ndak papa, santai aja,” balas saya, singkat.

Saya tak begitu paham apa yang dimaksudnya dengan wajah Nasrani, tapi saya dapat menduganya. Sebagai keturunan Cina, wajah saya memang khas orang-orang Cina pada umumnya, dengan mata sipit tentu saja. Dan saya pikir wajah yang demikian itulah yang disebutnya dengan wajah Nasrani.

Saya pikir anggapan bahwa orang Cina pasti nonmuslim itu sudah tidak ada lagi sekarang-sekarang ini, tapi nyatanya masih ada saja. Saya tentu tidak perlu menyalahkan tetangga saya itu. Mungkin ia memang bukan pengikut Felix Siauw di media sosial, sehingga tidak tahu kalau ada orang Cina yang beragama Islam — bahkan menjadi ustadz kondang.

Sebenarnya itu bukan pengalaman pertama saya disangka sebagai nonmuslim. Ketika saya menumpang sholat di salah satu masjid kecil di daerah Pujon, Kabupaten Malang, seorang laki-laki paruh baya — sepertinya marbot masjid — terus memperhatikan saya, mulai dari saat saya memarkir kendaraan sampai menuju tempat berwudhu. Wajah, rambut, kedua tangan dan kaki saya sudah basah oleh air wudhu, dan saya hendak masuk ke dalam masjid. Tapi, laki-laki paruh baya itu berdiri di ambang pintu dan bertanya kepada saya, “Mau ngapain, Pak?”

Di kesempatan lain, saya pernah punya seorang kenalan baru saat saya tengah rajin-rajinnya mengulik dunia fotografi. Dalam suatu acara di Surabaya, kenalan saya ini tiba-tiba menitipkan kameranya kepada saya dan minta izin untuk sholat. Setelah itu, saya bertanya kepadanya kenapa tadi tidak mengajak saya sholat. Ia sedikit kaget karena tidak mengira kalau saya seorang muslim. Ia lalu berkata kalau ia mengira saya beragama Kristen karena wajah saya wajah Manado. Saya sungguh tidak paham apa yang dimaksudnya dengan wajah Manado. Saya merasa identitas keagamaan saya dikacaukan hanya karena wajah yang saya miliki.

Stereotip-stereotip tertentu memang kerap dilekatkan kepada orang-orang Cina di Indonesia. Di luar masalah agama, orang Cina seringkali dianggap eksklusif. Lebih jauh lagi, orang Cina juga sering dianggap pasti kaya raya, tapi pelit bahkan licik.

Terkait anggapan eksklusif ini, sejarawan Ong Hok Ham dalam bukunya Riwayat Tonghoa Peranakan di Jawa mengungkapkan kalau stigma eksklusif kepada orang Cina di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kebijakan segregasi di masa kolonial Belanda. Ong Hok Ham juga menceritakan bahwa sudah sekian abad dan sekian generasi orang Cina bermukim di wilayah nusantara. Cara hidup mereka adalah cara hidup orang-orang nusantara, bukan cara Tiongkok.

Sebelum kedatangan bangsa Eropa, khususnya Belanda, wilayah Kepulauan Nusantara telah riuh oleh interaksi berbagai etnis-bangsa melalui perdagangan. Orang-orang Cina, Arab, dan India telah menjalin hubungan dagang yang erat dengan masyarakat pribumi. Sebagian dari mereka lantas bermukim di kota-kota pelabuhan besar di sepanjang rute pelayaran. Semuanya terjadi secara alamiah tanpa ada aturan khusus.

Lanskap sosial yang cair itu kemudian berubah setelah VOC bercokol di nusantara yang kemudian dilanjutkan dengan kolonialisme bangsa Belanda. Belanda terobsesi untuk mengontrol perekonomian dan perdagangan, lalu menganggap masyarakat Cina sebagai ancaman. Orang-orang Cina diisolasi dalam kampung tertentu yang disebut chineesche kamp — di kemudian hari masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai kawasan pecinan. Kebijakan segregasi yang kemudian dikenal sebagai wijkenstelsel ini melarang keras warga Cina bermukim di luar kampung Cina.

Mobilisasi mereka juga dibatasi dengan pemberlakuan sistem pass jalan atau yang biasa disebut passenstelsel. Sejak saat itu orang Cina harus mendapat semacam surat izin bepergian jika hendak keluar dari kampungnya. Kondisi semacam ini kemudian menyebabkan putusnya hubungan orang-orang Cina dengan kalangan bumiputra.

Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun setelahnya, orang-orang Cina harus menerima anggapan bahwa mereka adalah suatu komunitas asing yang eksklusif, meski sebenarnya mereka tidaklah sungguh-sungguh asing dalam sejarah masyarakat Indonesia.

Di kampung ibu saya, sikap masyarakat keturunan Cina dalam merespons stereotip eksklusif ini terbelah. Ada yang mendiamkannya begitu saja, namun ada pula yang mencoba melawan dan berusaha membuktikan bahwa anggapan tersebut salah. Mereka yang melawan ini sering membaur dengan masyarakat luas bahkan selalu berusaha berbuat baik.

Almarhum kakek saya seringkali bercerita tentang sosok Tjoeng Kiem Nam, seorang pengusaha yang dikenal sangat dermawan di kampung ibu saya. Kiem Nam selalu membuka pintu rumahnya untuk siapa saja. Di hari-hari tertentu, ia mengadakan semacam open house. Orang-orang bebas makan apa saja di rumahnya, semuanya berbaur.

Dari sekian banyak yang datang itu, ada pula yang bercerita masalahnya kepada tuan rumah, dan Kiem Nam pun tanpa ragu membantu. Kiem Nam bahkan seringkali memberi pinjaman uang kepada siapapun yang tengah kesulitan. Dan ia tak mempermasalahkan jika si peminjam kesusahan untuk mengembalikan uang pinjaman itu.

Tjoeng Kiem Nam meninggal di tahun 1997, dan kebaikannya selalu diingat orang. Lalu banyak orang Cina yang berusaha mengikuti jejaknya, termasuk anak laki-lakinya sendiri yang di kemudian hari menjadi Bupati Belitung Timur. Bupati ini — sebut saja namanya Ahok — juga dikenal baik selama menjadi pemimpin daerah. Kebijakannya banyak memberi manfaat dan pemerintahannya diyakini bersih (maksudnya tidak korupsi). Ahok juga selalu berusaha dekat dengan masyarakat. Ia bahkan selalu datang melayat jika ada warganya yang meninggal dunia.

Namun, Ahok sepertinya tidak puas kalau hanya dikenal baik di kampung halamannya saja. Ia kemudian mencalonkan diri menjadi gubernur tapi gagal. Meski begitu, ia malah sukses menjadi anggota DPR dan hijrah ke Jakarta. Nasib baik kemudian mengantarkannya menjadi Gubernur DKI Jakarta dan namanya mulai dikenal secara nasional.

Namun sayang, di ujung masa jabatannya sebagai Gubernur DKI, ia justru dijebloskan ke penjara karena didakwa telah menista agama Islam. Boleh jadi Ahok memang berambisi menjadi seorang Cina yang dianggap baik dengan caranya sendiri, namun caranya itu tidak selalu berjalan mulus sebagaimana yang diharapkannya.

Apa yang dilakukan Tjoeng Kiem Nam maupun Ahok menandakan bahwa residu dari politik segregasi masa lalu pasti akan menemui titik nadirnya. Pengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan etnis memang menentang sifat alamiah kemanusiaan. Saya berkeyakinan akan selalu ada keturunan Cina yang melawan pandangan negatif terhadap mereka di setiap sudut negara ini; mereka berusaha membuktikan nasionalismenya kepada bangsa Indonesia dengan menjadi Cina yang dicintai masyarakat.

--

--