Menjaga Kesehatan Mental Bukan Malah Manja

Firdausa Febi Alfaris
Komunitas Blogger M
3 min readNov 30, 2020
Photo by Tim Mossholder on Unsplash

Akhir-akhir ini baik media sosial maupun topik pembicaraan di kalangan pemuda sangat banyak tentang kesehatan mental atau mental health. Pertama-tama, kita harus tau kenapa isu kesehatan mental ini menjadi booming akhir-akhir ini. Sebenarnya isu kesehatan mental sudah ada sejak lama. Di Indonesia, mungkin kita masih ingat dengan kejadian tersebarnya video seorang artis yang sempat ramai beberapa tahun ke belakang. Namun, setelah dinyatakan bahwa artis tersebut memiliki masalah kesehatan mental, kita masih menganggapnya ‘orang gila’.

Namun, sejak adanya kasus bunuh diri dari seorang artis dari Korea Selatan yang akhirnya melakukan bunuh diri, isu kesehatan mental mulai ramai. Artis tersebut bunuh diri karena dibully setelah menyatakan dirinya mengalami gangguan pada kesehatan mentalnya. Selain itu, suksesnya film Hollywood “JOKER” juga menambah euforia dunia tentang awareness masyarakat mengenai kesehatan mental.

Saya sendiri juga sempat membahas isu kesehatan mental ini di podcast saya. Saya penasaran dengan bagaimana sebenarnya kita harus menyikapi lingkungan yang kita anggap toxic untuk diri kita. Dalam pembahasan tersebut, kami membahas dari bagaimana caranya merawat kesehatan mental kita sendiri dan bagaimana menjadi sosok yang tidak merusak mental orang lain. Selain itu, dampak-dampak yang terjadi karena mental seseorang tidak sehat juga ternyata tidak main-main. Mulai dari hal kecil hingga hal besar yang menyebabkan seseorang memiliki dorongan untuk melakukan pembunuhan juga dapat terjadi.

Hal yang dapat disyukuri saat ini adalah semakin banyak masyarakat yang kenal dengan merawat kesehatan mental. Mulai dari bercandaan warung kopi hingga seminar-seminar dengan pembicara profesional juga sudah ada. Masing-masing dari kita sudah mulai berupaya untuk menjadi sosok yang mampu menjaga kesehatan mentalnya sendiri ataupun orang lain.

Menjaga kesehatan mental ini banyak dilakukan di kalangan pemuda, misalnya saja adanya platform yang memfasilitasi kita untuk dapat meditasi secara mandiri (yang saya tau contohnya adalah “Riliv”), ada juga yang semakin sering memberi hadiah/self reward atas usaha yang telah dilakukan dirinya sendiri, hingga menjadi pendengar yang baik untuk teman yang sedang ingin bercerita kepada kita.

Banyak hal yang awalnya kita anggap sebagai kegiatan yang terlalu manja atau menye-menye, saat ini sudah menjadi hal yang normal dan dilakukan oleh siapapun. Tentunya hal ini harus disyukuri karena menunjukkan bahwa kita dapat menerima kenyataan dan menerimanya dengan baik. Hal baiknya adalah, kita tidak lagi menganggap teman-teman kita yang memiliki gangguan mental sebagai orang gila lagi.

Namun, seperti siklus belajar pada hal apapun. Ibarat kita membaca buku, saat kita membaca beberapa BAB atau beberapa buku sejenis, kita akan merasa ahli pada bidang itu dan merasa telah melakukan apapun dengan landasan ilmu itu dengan benar. Dan semakin banyak belajar lagi, kita malah akan merasa semakin kurang pintar. Persis seperti hal tersebut, banyak dari kita yang merasa sudah paham betul dengan isu kesehatan mental ini.

Implikasinya apa?

Photo by Shane on Unsplash

Implikasinya adalah terjadinya penerapan berlebihan dari ilmu yang minimal itu. Sebut saja, saat kita melihat kebiasaan buruk dari teman kita, otomatis kita cap dia sebagai orang yang toxic dan kita jauhi. Bisa juga saat kita terlalu ingin menjaga kesehatan mental kita, yang terjadi malah kita semakin menjadi ringkih atau lemah. Kita terlalu takut untuk menghadapi tantangan karena kita terlalu ingin ‘merawat kesehatan mental’ kita.

Hal lain lagi adalah, kita kerap mengacu referensi kesehatan mental untuk membangun kebiasaan buruk. Misalnya saat kita boros, kita justru menyebutnya self reward. Saat kita menulis sesuatu yang membawa pengaruh buruk, kita sebut itu self healing. Banyak dari kita yang kerap melakukan hal tersebut. Termasuk diri saya sendiri.

Kesehatan mental memang sebuah hal baru bagi kita, sebaiknya kita belajar lebih banyak lagi. Tidak salah bagi kita untuk menerapkan ilmu yang masih sedikit. Namun, tetaplah melakukan evaluasi diri dengan objektif. Apakah yang kita lakukan benar-benar untuk kesehatan mental kita atau malah kita sebenarnya hanya memanjakan diri dan memperparah kebiasaan buruk kita?

--

--