Menyidik Kemuraman Diri

kang abi
Komunitas Blogger M
4 min readJul 22, 2024
Dokpri

Dengan memaknai kedukaan, manusia bermaksud bertahan — bagaimana agar kelangsungan hidupnya dapat terus melaju, meskipun yang terjadi, kedukaan tidak pernah lesap, hanya menyelinap sebagai penumpang gelap mungkin sampai akhir hayat.

Sejauh yang umumnya kita mengerti, prilaku kita terhadap kedukaan tersebut nampak berhasil. Manusia meski betapa koyak batin, dan murungnya kehidupan hari ini, ia masih tetap dapat hidup; masih berbisnis, masih menikah (lagi), masih liburan, masih bersolek, masih ngopi-ngopi, masih mengais rizki, masih bersaing, masih menasehati orang lain. Bahkan menjadi-jadi kesibukan hari-harinya.

Jadi, bagi manusia memang yang penting adalah kelangsungan. Hidup adalah kelangsungan —meski berlangsung bersama kedukaan batinnya.

Sekali waktu kita mendatangi terapis. Mulai dari medis sampai non medis, lantaran kedukaan berdentum-dentum menghantam lambung, sel, jantung, hati, tekanan darah, fluktuasi gula darah, gangguan pencernaan, gangguan tidur, gangguan makan, gangguan vitalitas hubungan badan — kehidupannya terganggu, sementara kedukaan lian lahir, seperti sel telur yang dibuahi; membelah diri berlipat kali.

Gangguan fisik boleh jadi mereda. Obat diracik dokter atau terapis. Dosis dan resep amat disiplin dijalani. Kehidupan berjalan kembali. Sementara kedukaan baru, cukuplah lagi dimaknai, dibingkai sihir ramuan arti. Kedukaan kembali serasa lesap seketika oleh olah kata terpis yang lebih manis.

Jadi, bagi manusia yang penting kelangsungan hidup dapat terus berjalan, karena hidup harus terus berjalan — berjalan bersama pengerasan batin yang dirundung murung.

Sekali waktu kedukaan mengungkapkan diri. “Aku adalah khazanah tersembunyi yang ingin dikenali” ( hadis qudsi ). Tapi kita tidak peduli. Jaman kiwari obat lari darinya lebih dicari dan marak ditawari: berpikirlah positif sehari-hari, ambil hikmah pada yang terjadi, isi semua waktu untuk menyibukan diri, mendekatlah pada yang ilahi, boleh juga olah raga, yoga atau meditasi.

Kedukaan seolah sukses terbasmi. Yang terjadi, ia hanya masuk dibenamkan lagi jauh lebih dalam ke ruang gelap batin, dari sana kedukaan menjadi pusat pengendali dari segala tindakan diri: hasrat, keinginan, ambisi, obsesi, kecondongan, pilihan, harapan, cita-cita, perhatian dan segala pengerahan daya upaya tiap detik dan inci dari kehidupan, polah-lampah hari demi hari.

Sepertinya resep itu bekerja mujarab, lantaran kita lalu merasa lega dan gembira. Padahal bisa jadi itu hanya proyeksi jeritan batin yang nelangsa mendamba keadaan hidup yang absen duka.

Rasanya manusia telah bersepakat bahwa hidup punya tujuan, dan hidup dalam suka cita dan bahagia itulah tujuannya.

Dari penetapan tujuan maka lahirlah cara bagaimana memperolehnya. Sementara kita tahu bahwa, cara tidak pernah berbeda dengan tujuannya. Dalam hal ini, tujuan dan cara di atas adalah anak kandung yang lahir dari batin yang senyatanya ada: lara.

Mungkin sekali waktu juga ada didengar orang mengajak untuk mengaju tanya — menyidik diri, agar apa yang muncul pada batin teramati dan difahami. Mengapa saya berduka, mengapa duka berpagut padu entah saya berkecukupan atau kekurangan, entah saya sehat apalagi sakit, entah saya hidup saleh atau durjana? mengapa untuk bisa lolos dari kedukaan hidup seolah sangat mustahil bagi manusia?.

Menyidik diri tidak menawarkan kesembuhan dan kebebasan dari kedukaan. Ia bukan obat, bukan pelipur. Menyidik diri juga bukan suatu teknik yang dapat dilatih lalu diduplikasi untuk digunakan sewaktu dibutuhkan oleh diri sendiri maupun orang lain. Menyidiki diri hanyalah sekedar diri bertanya pada diri secara polos dalam kebutaan, ketidak tahuan dan ketidak mengertian.

Menyidik diri hanya memungkinkan diri tidak lari demi menghindari apa yang tengah dirasa dan dialami. Diri bersamanya, dekat bahkan tak berjarak sambil bertanya-tanya, apa sesungguhnya ‘ini’ yang dihadapannya.

Dalam menyidik diri, ada ketidak pedulian pada solusi; tanya tak selalu butuh jawab.

Dalam menyidik diri kita tidak memiliki proyeksi apa-apa, karena itu kita seperti dipersimpangan antara keputusasaan dan kobaran minat memahami. Opini ditinggalkan, referensi diabaikan, tak peduli itu dari intelek pikirannya sendiri atau dari orang yang yang mengaku sakti.

Menyidik diri hanya seorang diri, seperti berada di belantara sunyi dengan segala kengerian dan ketidak pastian. Diri hanya tinggal bersama yang ada—batin yang robek luka menganga.

Dalam menyidik diri, tidak ada kecenderungan upaya apapun, ia hanya suatu keadaan pengamatan intens dan di situ artinya ada diri dalam energi maksimum.

Untuk pertama kalinya diri berada dalam kemampuan melihat fakta kemuramannya. Kemampuan yang tumbuh bukan melalui proses, bukan dari belajar dalam rentang ilusi waktu. sebuah kemampuan spontan yang arah datangnya tak diduga, wa yarzuquhu min haitsu laa yah tasib (Quran surat At-talaq:3).

Kemampuan yang melaluinya terpampang diri dengan kerahasiaannya yang telanjang. Kemuraman diri mulai jadi cahaya yang berpendar dan gelap pekatnya batin menjadi kasat terungkap, diri seperti menemukan pintu dari labirin pengap.

Mengapa saya berduka? adalah benih sekaligus lahan subur yang menumbuhkan pepohonan yang berbuah lezat.

Bila menyidik diri benar terjadi adanya, itu artinya diri yang adalah mulanya kedukaan, untuk pertama kalinya berdaya hidup, ada gairah membara dan luapan daya selidik. Diri yang sebelumnya mandul karena over dosis ‘obat’ makna dan racun olah- latih, begitu saja berdenyut melek dari kebutaan, bangun dari mimpi panjang. Eling.

Menyidik diri, telah menjadi daya dobrak yang meruntuhkan selubung diri secara alami. Seturut itu ada hidup dalam kebaharuan di mana kedukaan lenyap. Diri dan kemuramannya yang adalah si saya sebagai hulu duka berakhir sudah.

Menyidik diri telah menjadi suatu keadaan kelimpahan daya hidup, menyidik diri menjadi sebab sekaligus akibat.

Kali pertama seumur hidupnya batin punya kehidupan yakni kebebasan menyidik diri sendiri tanpa si saya. Suatu kehidupan yang asing bagi batin yang sebelumnya muram penuh ruam.

--

--