Menyimpul Padu di Kota Tanpa Toko Buku, walau Minim Dukungan Pemda

Mencatat Festival Sastra Banggai 2022

Adi Chandra Wira Atmaja
Komunitas Blogger M
4 min readDec 2, 2022

--

Poster FSB 2022 (Sc : Instagram @Fsbanggai )

Kemarin untuk pertama kali saya main ke Banggai, kecamatan Luwuk tepatnya. Kurang lebih, jaraknya 600 KM, mengarah ke timur Kota Palu. Festival Sastra Banggai berlangsung disana, di kota tanpa toko buku, 4 hari lamanya. Montolutusan menjadi istilah yang terus berulang dan akhirnya lekat dengan kegiatan itu. Jadi, cerita ini akan saya mulai dari istilah itu.

Montolutusan ini berasal dari bahasa Banggai. Ia bisa diartikan sebagai persaudaraan; persaudaraan dapat berkaitan dengan keterikatan, dan keterikataan dapat terjalin melalui darah, hubungan emosional, juga budaya. Keterikataan itu pula berlaku pada masyarakat Babasalan (Banggai, Balantak, Saluan, dan Andio), yang telah hidup berdampingan sejak lama di dataran timur dari Provinsi Sulawesi Tengah. Montolutusan merupakan filosofi penaut keberagaman diantara mereka.

Kamis pagi, 24 November, saya tiba di RTH Teluk Lalong untuk meng-alami Montolutusan yang menjelmah. Ia hadir sebagai rangkaian kelas dan diskusi, sinole, serta pentas dan sajak dalam balutan Festival Sastra Banggai (FSB) 2022. Montolutusan menjadi tajuk serta filosofi yang dikandung tema besarnya; Mengungkai Acak, Menyimpul Padu. Tahun ini merupakan kali keenam FSB diadakan dan kali pertama dilaksanakan secara luring setelah melalui dua tahun pandemi dengan pelaksanaan yang terbatas.

Resep Ajaib Menulis Puisi oleh Theoresia Rumthe dan Wessly Johannes (Dok. Pribadi)

Rangkaian kelas selalu mengisi pagi dan siang hari. Kelas dibawakan oleh berbagai penulis, pegiat literasi, akademisi, atau penyair dari berbagai daerah, juga beragam topik pembahasan. Mulai dari ragam tips dan teknik menulis, peluncuran sekaligus bedah buku, hingga kisah dan proses kreatif dari penulis ternama.

Walaupun semuanya berkaitan erat dengan penulisan dan buku, pembahasan selalu beririsan dengan berbagai isu.

Peluncuran buku “Mai Jagai Toboi” oleh Neni Muhidin misalnya, pembahasannya sampai pada sulitnya nelayan mencari ikan di pesisir Balantak, ikan semakin menjauh dari daratan seiring dengan hadirnya kapal yang lebih besar.

Juga ada topik mengenai kekayaan dan ketahanan pangan oleh Ahmad Arif, yang membahas bagaimana kekayaan pangan (sagu, jagung, umbi-umbian) seharusnya menopang ketahanan pangan, dibanding bergantung pada beras tok sebagai makanan pokok. Ada juga bedah buku “Melawan Nafsu Merusak Bumi” oleh AS Rosyid yang berusaha mendekonstruktsi mindset pemeluk agama yang acuh pada kerusakan lingkungan.

Melawan Nafsu Merusak Bumi oleh AS Rosyid (Dok. Pribadi)

Sore hari diselingi dengan kegiatan santai. Ada kegiatan menggambar, mendongeng dan bermain untuk anak-anak. Ada juga “Kopi Puisi” oleh Rearea, yang memberikan ruang bagi siapapun untuk membacakan puisinya. Atau hidangan kuliner khas yang dimasak langsung di taman, lalu disantap bersama oleh pengunjung. Ya, sore hari adalah waktu dimana semua bisa bersantai dan menikmati sastra dengan beragam bentuk penyajian.

Malam hari selalu dinanti. Pengunjung akan merapat ke panggung utama di ujung taman untuk menyaksikan beragam penampilan; Kapal Udara, Aya Canina, Musim Timur, Eko Poceratu, Irawita, adalah beberapa diantara banyaknya penampil yang meramaikan. Ada juga lapak buku yang digelar oleh Nemu Buku bagi yang ingin belanja referensi. Bagi yang ingin jajan, beragam UMKM juga menjajahkan jualannya di pelataran RTH.

Ada juga peluncuran buku bertajuk “Musim yang Pergi”. Sebuah karya kolaboratif oleh Akademi Sastra Banggai yang memuat kumpulan karya sastra dari berbagai penulis setelah melalui 7 bulan residensi.

Penampilan Monolog oleh Irawita (Dok. Pribadi)

Disana, kita tidak merayakan sastra saja. Justru, pangan menjadi fokus wacana yang mendominasi obrolan. Pangan dianggap melampui makanan pokok semata, melainkan sebagai identitas serta penaut yang memadukan keberagaman diantara masyarakat.

Misalnya Ubi Banggai yang telah lama menjadi makanan pokok, juga sebagai identitas dari masyarakat Babasalan, atau Sagu yang menjadi makanan pokok dan identitas bagi masyarakat di Indonesia Timur. Sastra tidak menjadi subjek yang terpisah, tersudut, dan berjalan sendiri. Melainkan sesuatu yang juga beririsan dengan literasi, pangan, ekologi, dan sosial budaya secara umum.

Dengan fokus pada pangan, FSB ingin menegaskan suatu sikap terhadap penyeragaman pangan berupa beras yang telah berlangsung lama di Indonesia. Bahwa alam kita kaya, juga budaya pangan kita, dan ini dihadapkan dengan fakta bahwa 74% konsumsi pangan pokok kita adalah beras sementara sisanya ialah gandum; yang lucunya tidak tumbuh di Indonesia.

Memang terdapat beberapa tantangan yang mesti dijawab kedepannya oleh FSB, misal; partisipasi masyarakat setempat yang lebih luas, tata ruang festival yang harus dioptimalkan, dan hal-hal teknis lainnya.

Barangkali absennya pemerintah daerah juga berpengaruh. Walaupun FSB telah berjalan selama 6 tahun tanpanya, tentunya akan lebih baik jika pemerintah daerah bisa menyambut FSB sebagai ruang kreatif dan intelektual yang mendukung peningkatan literasi masyarakat. Dimana ruang literatif dan seni tahunan menjadi identitas yang menautkan keberagaman di tanah Babasalan, dan Indonesia secara luas.

Keseluruhan, festival ini mampu menunjukan bagaimana seharusnya kita mengungkai yang acak. Seni lintas media, ekologi, literasi dan budaya saling menaut di dalamnya. Tidak terbatas pada menyatu dalam satu panggung semata, namun mempertemukan irisan antar berbagai wacana untuk menegaskan bahwa; kita seharusnya saling menyimpul padu.

--

--

Adi Chandra Wira Atmaja
Komunitas Blogger M

Akun ini saya buat untuk mengarsipkan ingatan, impresi dan pandangan subjektif saya atas berbagai hal; sosial, politik, budaya, seni, lokalitas.