monolog: a word (always) means a lot

cerita singkat dari pendengar yang jarang bercerita

ulul azmi syafira
Komunitas Blogger M
4 min readAug 20, 2021

--

Punya keberanian bercerita tentang apa yang baru saja kita lewati adalah privilege. Istimewa.

Keistimewaan ini didasari bahwa seseorang tersebut mestinya memiliki “sisa” energi untuk bisa bercerita ke orang lain; entah itu emosi yang diceritakan ialah sedih, bahagia, marah, atau lain-lain. Selain energinya masih ada, seseorang tersebut mestinya memiliki ruang kepercayaan yang masih tersisa di kala keadaan yang penuh ketidakpastian.

Paling tidak, mereka masih punya harapan bahwa ada yang bisa dipercayai di tengah keadaan yang masih memburuk.

Photo by Sasha Freemind on Unsplash

Hari ini, tepat tiga minggu sudah, seseorang yang tak lagi memiliki energi dan sulit membangun kepercayaan, tapi masih menawarkan dirinya menjadi buku tulis untuk cerita-cerita orang lain; masih bergelut soal rasa lelah yang sulit pulih.

Pagi harinya diisi oleh menyiapkan pekerjaan rumah, menyiapkan energi untuk menyambut pekerjaan tambahan sebagai asisten penitipan anak, lalu sisanya digunakan untuk bisa melakukan hal lain seperti makan, minum, bermain gawai, atau sekedar berbaring.

Tetapi, tiga minggu yang lalu, sebelum energi itu hilang dan kandas, dia memiliki komitmen untuk bisa menyiapkan dirinya lebih baik daripada hanya bermodalkan bangun tidur sebagai energi awalnya.

Persiapan yang ia lakukan antara lain berlari pagi, mencari kucing jalanan di sekitar rumahnya, dan melihat langit yang masih bersih dari awan di pagi hari. Segala aktivitas itu ternyata cukup berhasil; alhasil memang, selama satu minggu penuh, ia punya cukup keberanian untuk membuka media sosial yang sudah lama tak ia buka.

Sayangnya, itu hanya bertahan sebentar. Bertahan hanya satu minggu. Di akhir bulan Juli. Di minggu selanjutnya, hingga sekarang, tak ada lagi pagi yang diawali dengan berlari, memberi makan kucing, atau sekedar melihat langit yang kemerah-merahan itu.

Paginya sedikit suram oleh karena cuaca yang tak mendukung. Kucing-kucing jalanan tak pernah tahu rumah dari seseorang tersebut yang sering menjumpai mereka. Lari paginya kandas oleh karena langit masih bergemuruh panjang. Tak heran, sekarang, ia betul kesepian. Etosnya makin menipis, di tengah tekanan yang cukup berat.

Dia terus memutar otak, harus dengan apalagi, agar “roh”nya kembali pada jalan yang benar? Jika memang harus menunggu paginya cerah kembali, maka harus sampai kapan? Pertanyaan itu terus ditanyakan, tanpa ada jawaban, dari kepalanya sendiri maupun dari semesta yang membawanya.

Cerita. Katanya, dia butuh cerita; tapi justru dia tak tahu, mau cerita tentang apa? Hidup medioker yang dirasakannya pasti masalah yang “biasa-biasa” saja. Pasti hanya butuh mood bagus untuk bisa kembali. Pasti hanya soal waktu.

Orang-orang banyak menerka itu padanya; “tunggu saja…,” lirih orang-orang yang berada di sekitarnya. Namun, seseorang yang mengakui bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja itu meyakini bahwa, ini bukan soal waktu yang nantinya akan menjawab. Tapi, soal bagaimana dan dengan apakah dia bisa mendapatkan obatnya?

Hingga pada suatu waktu, kemarin malam, seseorang itu sedikit membuka tabir dirinya yang sebenarnya diselimuti banyak hal. Rasa sakit, trauma, unfinished business dari masa lalu, dan soal lingkungan yang menuntut segala hal, adalah biangnya. Adalah akar dari rasa hampa yang tak pernah tuntas.

Pikirnya, masa lalu sudah berlalu. Tak akan menghantui apa-apa di masa depan. Salah. Masa lalu adalah memori yang hanya terpendam namun tak pernah usai. Masa lalunya adalah cerita yang terus berulang di kepalanya setiap malam; mimpi maupun tak sedang bermimpi. Apakah dengan begini masih butuh bercerita pada orang-orang?

Masih tak perlu. Cerita pada orang lain hanya akan menyebabkan energinya kembali terkuras, bukan? Energi itu masih terbatas padanya; sudahlah sulit mendapatkannya, lantas mau digunakan untuk bercerita tentang hal medioker bagi khalayak?

Namun semesta masih sayang padanya, Tuhannya masih baik padanya, dirinya masih didekatkan dengan orang-orang yang sudah paham sendiri tentang apa yang dia rasakan tanpa repot-repot mengumpulkan energi untuk bercerita kesedihan yang memang tak tuntas itu. Seorang temannya meruntuhkan tembok pertamanya dari persembunyian yang ia kokohkan; baru sekali bertanya, sudah menangis; katanya begitu.

SO.. How’s your day? Ada yang mau dibagi?”

“Nggak ada sih, hari ini baru berani buka (medsos) di tempat lain, buka WA buat bales beberapa…,” ujarnya singkat melalui chat. “Hmm… good, sudah satu level daripada kemaren. Good job! Makasih ya sudah mau sedikit gerak, hihi,” temannya berterima kasih padanya.

Berterima kasih karena masih memiliki energi. Dan, malam itu pun, dia menangis lirih. Dalam hatinya membatin, baru kali ini disyukuri, baru kali ini diapresiasi. Ya.

Life Goes On by BTS (on YouTube)

Di luar sana, bagi orang lain yang hatinya masih keras dan terus berusaha memiliki etos yang baik bagi teman-teman dekatnya, pertanyaan dan perkataan orang lain adalah hal yang paling menentukan dirinya. Apakah akhir harinya akan dihiasi oleh emosi sedih, atau emosi bahagia, atau emosi yang lain yang bisa saja mengikutinya hingga tak dapat beristirahat dengan baik.

Apa yang kita ucapkan atau kita bagikan padanya adalah hal yang berharga. Mungkin, perkataan tak sebaik tindakan menolong dan membantu dalam kesulitan. Tapi perkataan punya tempat tersendiri bagi orang-orang yang tak sanggup lagi menggambarkan kesulitan dirinya. Apakah itu sedikit egois? Sebab memaksa orang lain harus “tahu” tentang apa yang harus diucapkan? Tidak.

Mungkin, untuk memulai dengan orang-orang dengan bahasa cinta seperti itu ialah dengan memberikan pertanyaan sederhana. Pertanyaan-pertanyaan yang seringkali disesali jika kita telah kehilangan orang lain.

Daripada harus menunggu mereka hilang, tanyakan saat ini saja. Paling tidak, kita sedikit membantunya mengeluarkan emosi yang selama ini dikuburnya; sepanjang malam.

--

--