Motret Ayang Dengan Baik dan Benar, Hal Sederhana yang Nggak Semua Orang Bisa

Afiqul Adib
Komunitas Blogger M
3 min readApr 3, 2024
Photo by William Bayreuther on Unsplash

Beberapa minggu lalu saya sempat ikut workshop yang terkesan agak aneh. Sebab, tema yang diangkat adalah gimana caranya agar bisa motret ayang dengan baik dan benar. Sungguh random sekali.

Tidak diduga, peminatnya banyak. Konon, yang mengadakan workshop awalnya juga coba-coba. Dan ternyata banyak yang punya keresahan serupa. Alhasil diadakanlah workshop tersebut.

Perlu diakui bahwa motret ayang adalah hal yang susah sekali. Iya kalau sekadar motret bisa, tapi kalau motret dengan hasil memuaskan pasangan kita, nah itu yang susah. Awalnya saya kira ini cuma keluhan dari orang yang awam tentang fotografi seperti saya, tapi nyatanya tidak. Seorang fotografer pun sering dianggap gagal ketika motret pasangannya sendiri.

Di awal workshop tersebut, mas Nikko (fotografer yang membuat workshop) mengaku juga kesusahan motret istrinya. Ia kemudian bercerita kalau teman seprofesinya juga banyak yang merasakannya. Artinya keresahan ini memang dialami oleh semua kalangan orang.

Diakui atau tidak, salah satu tema eyel-eyelan dengan pasangan adalah tentang hasil jepretan. Entah karena terlihat gemukan, terlalu jauh fotonya, ekspresinya jelek, sudutnya tidak sesuai, atau apapun, nyatanya motret pasangan tidak semudah itu.

Lantas kenapa bisa demikian? Ada 3 kemungkinan. Pertama, terlalu mengabaikan teknik. Mas Nikko mengatakan bahwa teknik fotografer memang hal yang remeh, tapi bukan berarti harus diremehkan.

Motret itu bukan hanya tentang pencet tombol dan ambil gambar, tapi juga ada teknik dasarnya. Dan teknik tersebut cukup perlu dilakukan agar hasil yang didapat juga maksimal, meski objeknya adalah pasangan sendiri.

Kedua, jarang motret. Ini alasan paling lumayan masuk akal. Yang saya maksud jarang di sini adalah spesifik motret pasangan sendiri. Iya, ada orang yang suka sekali kalau motret pemandangan atau benda, karena itu hasil yang didapat juga bagus.

Tapi karena jarang motret pasangannya sendiri, hasilnya jadi kurang memuaskan. Ibarat nggak semua yang jago gambar kartun, bisa bikin kaligrafi. Semua hanya soal pembiasaan.

Kemungkinan ketiga, ini dari sudut pandang cewek, yakni kurang memperhatikan psikologis pasangan.

Muthia, istri dari narasumber workshop tersebut mengatakan, “motret pasangan itu bukan hanya urusan teknik, melainkan juga psikologis. Ambil hatinya, dan apapun hasil fotomu, akan dianggap bagus.”

Saya terkekeh, sambil mbatin, “benar juga, ya”. Beberapa peserta lain juga memberi emoticon tertawa. “Bilang saja kalau pasanganmu sedang cantik-cantiknya. Terkesan gombal, tapi itu work untuk dilakukan.” Mbak Muthia melanjutkan usulannya.

Dari situ, saya jadi teringat seminar fotografi yang dulu sempet saya ikuti. Hal pertama yang harus dilakukan ketika motret klien adalah kondisikan dulu mood mereka. Puja-puji dulu. Baru kemudian ajak komunikasi. Setelahnya baru eksekusi.

Selain itu, kadang karena sudah terlalu sering bersama, kita jadi lupa untuk memberikan pujian. Yah, hal-hal sederhana memang lebih sering untuk dilupakan.

Kemudian, saran yang selanjutnya dari mbak Muthia adalah coba fotoin secara candid. Iya, kalau pasanganmu agak kaku di kamera, lebih baik fotoin secara candid.

Saya setuju. Tidak semua perempuan cocok jadi model. Dan tidak semuanya memang cukup percaya diri untuk bergaya dengan cemerlang.

Pun, saya sendiri juga sering merasa kaku di depan kamera. Sering bingung mau gaya apa. Alhasil, cuma bisa senyum sambil kasih jempol. Gaya bapak-bapak banget memang, xixixi.

Sedikit menambahi, foto candid ini cukup krusial. Teman saya pernah bilang, “beruntung banget kalau dapet pasangan yang tahu fungsi kamera belakang.” Maksudnya adalah pasangan yang sering ambil foto secara diam-diam atau candid.

Entah ketika ia sedang makan, belanja, sampai ketika bengong. Esensi dari foto candid adalah mengabadikan momen secara natural. Jadi, nggak perlu terlihat wajahnya juga tidak masalah. Bisa foto dari belakang, atau bahkan foto bagian kakinya. Lebih-lebih kalau kita memamerkan foto tersebut di media sosial. Duh, full damage kui.

Saran terakhir dari mbak Muthia adalah memahami angle wajah. Ada orang yang bagus difoto kalau terlihat dari kiri. Namun, ada juga yang bagus kalau sebelah kanan. Sebagai pasangan, tentu saja kita harus memperhatikan banyak hal. Salah satunya adalah angle wajah.

Kita harus beneran paham pasangan kita punya angle yang mana. Dan setelah paham, saatnya eksekusi dengan baik dan benar.

***

Dari workshop tersebut, bagi saya, satu hal yang penting adalah komunikasi. Sebab, indikator foto bagus bukan dari kita, tapi pasangan. Jadi perlu tahu dulu kriteria foto bagus versi pasangan itu seperti apa. Dan jangan terlalu memaksa selera kita untuk orang lain.

Meski demikian, ini hanya bersifat teori. Apakah di lapangan semudah itu? Tentu saja tidak. Bahkan sangat pasti tidak. Karena itu, pada akhirnya kita akan setuju kalau motret ayang dengan baik dan benar adalah skill yang susah dilakukan. Terkesan simple, tapi nggak semua orang bisa.

--

--

Afiqul Adib
Komunitas Blogger M

Introvert garis keras yang mencoba konsisten untuk submit tulisan tiap hari kamis.