Mudik: Dari Dosa Masa Lalu sampai Ritual Tahunan

Anggit Rizkianto
Komunitas Blogger M
5 min readApr 21, 2021
Foto oleh Galih Pradipta/ ANTARA

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, saya selalu menyempatkan diri untuk sarapan bubur ayam favorit sebelum bulan Ramadan tiba. Seolah itu adalah sarapan penghabisan karena setelahnya saya tidak dapat sarapan lagi selama satu bulan lamanya.

Pada Minggu pagi yang sedikit kelabu, saya pun bergegas menuju tempat bubur ayam tersebut biasa dijual. Namun, begitu sampai di tempat yang dituju saya sama sekali tidak mendapati bubur ayam favorit saya; tidak bubur ayamnya, tidak juga pedagangnya. Saya hanya mendapati tukang tambal ban yang mangkal persis di sebelah tempat pedagang bubur langganan saya itu biasa mangkal.

Wong e wis mudik, Mas,” kata si tukang tambal ban. Saya pun pulang dengan bersungut-sungut karena kecewa.

Tentu pedagang bubur ayam langganan saya adalah satu dari sekian banyak orang yang “mengadali” kebijakan pemerintah yang kembali melarang mudik tahun ini. Untuk yang kedua kalinya, masyarakat dipaksa untuk tidak kembali ke kampung halaman di saat lebaran karena persoalan pandemi covid-19 yang tak kunjung selesai. Akan tetapi, kebanyakan masyarakat justru bersikap skeptis dan merespon negatif kebijakan tersebut.

Agaknya mereka yang hidup merantau tak lagi sanggup jika harus menanggung kerinduan terhadap kampung halaman untuk waktu yang lebih lama lagi. Buktinya, dapat kita saksikan pada pemberitaan dalam beberapa hari ini. Banyak masyarakat yang sudah berbondong-bondong mudik lebih awal sebelum waktu larangan mudik yang ditetapkan oleh pemerintah. Beberapa terminal bus, pelabuhan dan bandara telah dipenuhi oleh pemudik bahkan sejak sebelum puasa.

Mereka yang mudik lebih awal itu kebanyakan memang pekerja informal. Bagi mereka yang pegawai negeri atau pegawai swasta yang tak memungkinkan mudik lebih awal, tentu telah menyusun siasat agar tetap bisa mudik. Menggunakan kendaraan pribadi dan mencari jalan alternatif adalah siasat paling umum yang akan digunakan.

Mudik adalah fenomena sosial sekaligus kolosal setiap tahun. Bagi kebanyakan perantau, mudik bukanlah sekadar pulang kampung tetapi juga momentum untuk melepas rindu dan menjaga tali silaturahmi. Selain itu, mudik juga memiliki dimensi ritual tersendiri.

Pasalnya, melepas kepenatan sesaat dan berjumpa sanak keluarga di desa sangat penting untuk mendapatkan energi baru sebelum kembali bekerja ke kota. Bahkan, boleh jadi pulang ke kampung halaman merupakan satu-satunya kebahagiaan bagi mereka yang sepanjang tahun harus memeras keringat dari pagi sampai malam dan jauh dari keluarga.

Dapat kita saksikan pada bagaimana orang-orang yang berusaha mudik bahkan sejak satu bulan sebelum lebaran. Itu berarti boleh jadi mereka lebih memilih untuk tidak bekerja dan kehilangan pemasukan selama satu bulan ketimbang tidak dapat pulang ke kampung halaman.

Sebetulnya, mudik bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Ia menjadi fenomena yang tak terelakkan bukan tanpa sebab. Apa yang menjadi penyebabnya adalah dosa di masa lalu. Jika menilik fenomena mudik, tentu kita tidak dapat memisahkannya dari urbanisasi. Sudah menjadi rahasia umum kalau masyarakat kita begitu terobsesi dengan kehidupan urban sehingga tanpa ragu meninggalkan pedesaan.

Wilayah perkotaan dianggap lebih menjanjikan daripada wilayah rural yang dianggap semakin kerontang karena tak dapat memberikan pekerjaan dan penghasilan. Masyarakat pun tak punya pilihan selain harus merantau ke kota. Kota-kota pun semakin sesak, sedangkan desa-desa makin tertinggal dan merana.

Pertanyaannya, mengapa urbanisasi seolah tak terbendung? Jawaban sederhananya adalah karena kegagalan bangsa ini dalam melakukan pemerataan pembangunan. Ini yang saya sebut sebagai dosa masa lalu. Akibatnya, kesenjangan desa-kota tak terhindarkan. Ada ketidakseimbangan pembangunan antara desa dan kota. Lebih ekstrem lagi, juga ada ketidakseimbangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa.

Wilayah Jawa, khususnya wilayah perkotaan, semakin perkasa dengan peradabannya yang modern sedangkan wilayah pedesaan (apalagi yang luar Jawa) justru tetap terbelakang dan dilupakan. Meskipun rezim terus berganti, namun kenyataannya ekonomi pedesaan tetap megap-megap. Kegagalan kita membangun ekonomi pedesaan membuat sawah dan ladang makin ditinggalkan. Sektor pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan yang identik dengan ekonomi desa kian termarjinalkan. Hal ini semakin diperparah dengan ekonomi perkotaan yang belakangan didominasi oleh sektor teknologi informasi dan komunikasi yang selalu tampak lebih “seksi”, utamanya bagi kalangan muda.

Tumbuhnya perusahaan-perusahaan start up di perkotaan semakin menggoda orang-orang desa untuk datang ke kota sekalipun mereka mungkin hanya dapat menjadi seorang kurir atau driver ojol.

Akan tetapi, bagaimanapun mudik telah menjadi budaya di masyarakat kita. Kegagalan dalam menyeimbangkan pembangunan di masa lalu seolah telah menjadi blessing in disguise tersendiri. Sebab, jika dilihat dari perspektif budaya dan agama, mudik tetap membawa beberapa dampak positif.

Misalnya, adanya rasa kerinduan dan dorongan ingin berjumpa dengan kerabat dan sanak keluarga secara tidak langsung merawat keharmonisan dalam keluarga. Temu kangen menjadi sesuatu yang berharga, dan itu dapat menjaga budaya guyub tetap hidup.

Apalagi jika itu bertepatan dengan momentum Ramadan dan Lebaran, hari-hari yang syarat hikmah, kesucian dan kemenangan bagi kaum muslimin. Inilah yang membuat mudik seolah menjadi ritual karena adanya aspek keagamaan yang tak dapat dipisahkan darinya. Ia menjadi ritual tahunan yang selalu bersifat sakral. Oleh karenanya, perjalanan menuju kampung halaman senantiasa memiliki nilai spiritualitas bagi setiap perantau.

Selain itu, mudik juga dapat memantik tindakan filantropis kaum perantau dari kota. Acap kali mereka berbagi rezeki dengan sanak keluarga, bersedekah dengan tetangganya di desa, bahkan mengeluarkan zakatnya untuk kepentingan orang-orang tidak mampu di desa. Itu semua karena adanya perasaan sentimental tersendiri terhadap kampung halaman karena mereka selama ini berada di tempat yang jauh.

Lalu dikombinasikan dengan motivasi-motivasi keagamaan sebagaimana iman mereka sehingga semua tindakan filantropis itu bernilai ibadah; menyempurnakan ritual mudik mereka di kampung halaman. Dengan menyatunya aspek agama ke dalam budaya mudik itu, maka menjadi masuk akal jika kemudian melarang masyarakat untuk mudik bukanlah perkara mudah.

Namun, bagaimanapun dalam dua tahun ini mudik memang begitu problematik karena adanya pandemi. Ritual tahunan itu harus ditunda untuk sementara waktu karena berbondong-bondongnya orang menuju kampung halaman dapat menciptakan kerumunan di banyak tempat. Selain itu, juga untuk memutus penyebaran virus ke wilayah-wilayah yang merupakan zona hijau (wilayah yang relatif aman dari virus).

Memang, kebijakan pemerintah melarang mudik ini sangat mengusik rasa keadilan bagi kebanyakan masyarakat. Pasalnya, di sisi lain pemerintah justru menggenjot pariwisata, tetap mengadakan pilkada, serta memberi izin pembukaan bioskop, penyelenggaraan kongres partai dan ormas, dan kegiatan-kegiatan yang mengundang keramaian lainnya.

Akan tetapi, ketidakadilan kebijakan pemerintah adalah perkara lain dan tersendiri. Sebab, kita semua tentu sepakat bahwa yang terpenting saat ini adalah mengakhiri pandemi. Bagaimanapun, bertahan hidup dan menyelamatkan nyawa sejauh yang kita bisa adalah yang paling utama.

Sialnya, terus mendebat kebijakan pemerintah sembari menjerumuskan kita sendiri pada tindakan-tindakan yang kontraproduktif dengan upaya penanganan pandemi justru hanya akan mendatangkan bencana bagi diri sendiri. Sebaiknya kita tetap waras dengan tidak mengikuti keputusan-keputusan yang salah.

Saya sendiri telah memutuskan untuk kembali menunda mudik. Setidaknya sampai kondisi jauh lebih baik dan vaksin telah diberikan dengan cukup merata. Ritual tahunan itu setidaknya masih dapat kita gantikan dengan ritual-ritual lainnya, karena agama sendiri telah memberikan tuntunan kepada umatnya: mencegah mafsadat lebih utama daripada mengambil manfaat.

Pada akhirnya, tidak mudik tahun ini tetaplah pilihan paling tepat dan tetap selaras dengan ajaran keagamaan, khususnya bagi kaum muslimin. Juga selaras dengan imbauan pemerintah sebagaimana yang diserukan dalam satu karya seni para menteri dan Kepala Staf Kepresidenan RI tahun lalu: Nggak Mudik Asyik!

--

--