Mungkinkah Media Sosial Kehilangan Penggunanya?

Gegap gempita media sosial nyatanya tidak menghentikan banyak penggunanya untuk berhenti bermain di sana.

Visi Saujadani
Komunitas Blogger M
5 min readAug 1, 2021

--

Rasanya semua sudah mengerti apa itu media sosial dan bagaimana cara kerjanya. Lewat media sosial, kita dapat berinteraksi dengan kawan yang sudah lama tidak berjumpa di aplikasi perpesanan instan, menonton tips dan trik berinvestasi di kanal YouTube Felicia Putri Tjiasaka, sampai sekadar mencari hiburan singkat dari akun Gordon Ramsay di Instagram Reels.

Tidak hanya individu, korporat dan organisasi nonprofit juga sekarang memanfaatkan media sosial untuk menjaring konsumen atau sekadar berinteraksi dengan audiens di komunitasnya. Bahkan sekarang terdapat job title khusus untuk orang-orang yang bersinggungan di media sosial, seperti social media specialist, social media strategist, dan lainnya. Ini membuktikan bahwa semakin banyak perusahaan yang serius memanfaatkan media sosial dalam aktivitas bisnisnya.

Kalau kita melihat angka pengguna media sosial di 2021 yang mencapai 4,2 miliar akun dan terus bertumbuh setiap tahunnya, sekiranya tidak mungkin kalau suatu saat media sosial akan kehilangan penggunanya. Ditambah lagi, pandemi yang membuat semua kegiatan bergeser ke daring menjadikan tingkat konsumsi internet dan media sosial semakin meningkat.

Tapi apakah itu benar adanya? Apakah angka tersebut benar-benar mencerminkan potensi pertumbuhan media sosial? Apakah pengguna puas dengan keberadaan media sosial sekarang? Apakah mungkin media sosial mendapatkan saingan yang bisa memukul telak kejayaannya?

Perputaran Uang di Media Sosial

Tidak bisa disangkal kalau uang adalah salah satu faktor kenapa orang-orang giat memanfaatkan media sosial. Tidak hanya di level organisasi, tiap individu pun sekarang dapat memperoleh cuan dari bermain media sosial, entah itu menjadi reseller, influencer, atau bahkan content creator.

Dedengkot media sosial seperti Facebook dan Instagram juga sedang giat-giatnya untuk memaksimalkan potensi keuntungan yang bisa diraih dari platform mereka. Contohnya adalah Facebook Business Suite di mana pengguna bisa memonitor keberjalanan bisnis masing-masing di satu tempat tertentu melalui fitur jadwal post, ads manager, dan lainnya.

Pernah melihat seorang influencer berpose memegang suatu produk dan cerita panjang lebar bagaimana perjalanannya menggunakan produk tersebut? Itu juga merupakan simbiosis mutualisme antara individu dan brand, serta hasil dari ekosistem media sosial yang semakin memungkinkan untuk adanya perputaran uang secara cepat di sana.

Social Media Detox

Selain uang, motif umum lain bermain media sosial yaitu ingin membagikan pengalaman atau kejadian yang dialami oleh penggunanya, walaupun terkadang berbagi pengalaman tersebut bisa disalahartikan oleh beberapa pengguna lainnya.

Hal ini membuat para pengguna, terutama yang memiliki basis audiens besar, merasa terbatasi dengan adanya multitafsir dan ketersinggungan yang semakin menjadi-jadi di media sosial. Terlebih lagi, selalu ada saja drama dan saling debat kusir antar pengguna yang muncul tiap harinya. Sisi gelap media sosial yang terletak di balik gemerlap kehidupan selebgram dan sosialita pun menjadi terbuka ke publik.

Konsep social media detox sendiri muncul karena adanya situasi seperti di atas, apalagi dengan adanya “tuntutan sosial” untuk selalu menampilkan yang baik saja di media sosial. Beberapa penggunanya menjadi depresi karena mendapatkan sedikit likes, hate speech, atau bahkan dilaporkan ke pihak berwajib karena masalah sepele.

Sebagai jalan keluar, social media detox dianggap sebagai salah satu jalan efektif untuk mengeluarkan racun-racun setelah beraktivitas di media sosial. Terkadang ada yang melakukannya sementara waktu tapi rutin seperti Tiara Pangestika, sampai ada yang pensiun selamanya dari Instagram seperti Marissa Anita. Sebagian pengguna juga ada yang mengambil jalan tengah, seperti mengaktifkan fitur close friend atau membuat akun kedua.

Ilustrasi media sosial.
Photo by Jakob Owens on Unsplash

Kebijakan Pemilik Rumah

Pengelola media sosial tentu tidak diam saja dalam menanggapi situasi ini. Mereka berusaha sekuat tenaga agar tetap menyeimbangkan aspek kenyamanan pengguna dalam menggunakan platform mereka dan tujuan bisnis dari para pengelola itu sendiri.

Mari ambil contoh Instagram. Adam Mosseri, Head of Instagram, baru-baru ini merilis kalau mereka akan menerapkan kebijakan perlindungan untuk pengguna remajanya. Kebijakan ini berupa private account sebagai default settings ketika pengguna di bawah 16 tahun mendaftarkan akun, mempersulit orang dewasa untuk mengontak remaja yang tidak ingin mendengar dari mereka, dan membatasi pengiklan untuk menjangkau remaja di Instagram dan Facebook.

Berpindah ke YouTube, Google sebagai pemilik tempat tersebut memberlakukan kolom komentar yang nonaktif untuk kanal anak-anak. Ini merupakan langkah yang cukup cerdas karena anak memiliki kecenderungan meniru yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa. Jika mereka terpapar oleh komentar negatif di YouTube, bukan tidak mungkin mereka akan melakukannya juga ke orang lain tanpa tahu arti di balik yang mereka ucapkan.

Masih banyak lagi langkah-langkah yang dilakukan oleh para pengelola media sosial. Harapannya dari semua sudah jelas, yaitu membuat pengguna mereka mau bertahan menggunakan media sosial.

Media Sosial di Masa Depan

Media sosial jelas adalah tempat yang sangat community-driven, di mana pengguna-lah yang menentukan ke mana media sosial ini akan bergerak dan dibawa. Kita sudah pernah melihat bagaimana banyak platform media sosial yang bertumbangan karena tidak mampu tetap relevan dengan penggunanya. Friendster, MySpace, dan Path adalah contoh populer dari media sosial yang sudah punah.

Meskipun begitu, dengan pertumbuhan tren digital yang semakin meningkat, media sosial diprediksi masih akan terus mendominasi sampai ada suatu produk lain yang memberikan pengalaman yang berbeda bagi pengguna dalam berinteraksi satu sama lain.

Salah satu keunggulan terbesar media sosial yang menjadi competitive advantage mereka di antara wahana interaksi lainnya (surat, telepon rumah, dan lainnya) adalah mampu menyampaikan pesan dan berinteraksi secara cepat dan efisien. Sayangnya, kualitas interaksi di sana bisa dibilang belum bisa melindungi seluruh penggunanya dan masih terdapat banyak celah. Ini harus diantisipasi oleh para pengelola media sosial jika tidak ingin kehilangan lebih banyak pengguna di masa mendatang.

Di sisi lain, orang-orang tidak memiliki banyak opsi lain saat ini, alias rendahnya bargaining power of buyers. Mengingat juga posisi media sosial yang sudah mengakar di kehidupan kita sehari-hari, hanya produk baru-lah yang bisa mematahkan dominasi media sosial. Kemungkinan bertambahnya orang-orang yang menutup akunnya memang tetap ada, tetapi kemungkinan media sosial jatuh karena seluruh pengguna menutup akun itu kecil sekali karena ketergantungan mereka yang tinggi terhadap media sosial.

Jika regulator dan pengelola media sosial berhenti menyempurnakan layanan mereka demi pengguna, artinya tinggal menunggu waktu saja sampai pengguna bergeser ke produk baru nantinya. Seperti apa produknya? Kita tunggu saja inovasi ke depan seperti apa. Toh, kita dulu juga tidak membayangkan kalau teknologi akan mampu menghubungkan driver ojek dengan penumpang secara daring, bukan?

--

--

Visi Saujadani
Komunitas Blogger M

Write mostly about pop culture; entertainment, digital trend, and sports.