Myanmar, Kudeta dan Paradoks Kemanusiaan

Unpopular Opinion untuk nge-rem gejolak alamiah dalam dirimu

Adi Chandra Wira Atmaja
Komunitas Blogger M
3 min readMar 6, 2021

--

Pengunjuk rasa anti-kudeta Myanmar.
image : Reuters

Manusia akan selalu bereaksi terhadap fenomena yang menyeleweng dari nilai-nilai kehidupannya. Sebut saja itu nilai-nilai kemanusiaan, yang sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kemanusiaan adalah anugerah yang telah ada sejak manusia lahir.

Sejak bulan Februari, media internasional diramaikan oleh pemberitaan tentang kudeta militer di Myanmar. Pemberitaan semakin meledak pada bulan Maret pasca meningkatnya represi pemerintahan junta militer terhadap rakyat yang terus menggelar unjuk rasa.

Sebagai manusia — jangankan kamu — saya sendiri nyesek setelah melihat bagaimana seorang ibu harus berlutut memohon ampun kepada barisan aparat keamanan yang hendak menyerang demonstran. Melihatnya membuat saya seakan bisa merasakan sakit dan kepasrahan sang ibu tadi.

Membayangkan bagaimana rasanya ketika kita tidak punya apa-apa lagi selain tangisan yang mengharapkan iba, dan sensasi ketidakberdayaan lain yang terus saya rasakan setiap membaca atau menonton pemberitaan di media.

Saya kira sensasi yang sama telah mendorong jutaan manusia lainnya di berbagai belahan dunia untuk membagikan dan mengecam tindakan tersebut. Empati bersebaran di media sosial, interaksi terhadap topik sejenis meningkat pesat, solidaritas antar manusia mengalir dalam berbagai bentuk. Semuanya atas dasar kemanusiaan.

Begitulah bagaimana kemanusiaan menjadi anugerah yang menyatukan umat manusia. Menghapus batas antar ras dan negara, bahkan menghapus rasa penasaran. Yang tersisa tinggalah reaksi suci, murni dan spontan.

Spontanitas ini mendorong mata untuk menghakimi, membagi batas antara hitam dan putih, antara baik dan buruk, antara pelanggar kemanusiaan dan pejuang kemanusiaan.

Perihal Paradoks

Pengunjuk rasa anti-kudeta menggunakan topeng Aung San Suu Kyi.
Image : https://statik.tempo.co/data/2021/03/01/id_1004031/1004031_720.jpg

Suu Kyi kembali menjadi ikon dari perjuangan ini. Tahun 90-an, putri dari founding father negeri pagoda itu sempat menjadi ikon pula bagi aktivis pro-kebebasan, dan anti-otoriter. Pasalnya, beliau sempat menjadi motor dari gerakan pro-demokrasi pasca mundurnya Jenderal Ne Win yang telah berkuasa selama 26 tahun di sana.

Walaupun gagal dan berakhir dalam tahanan rumah, Suu Kyi berhasil kembali ke panggung pada tahun 2010 dan ditunjuk sebagai Konselor Negara.

Kembali ke masa kini, tokoh yang dibela mati-matian oleh rakyatnya itu kembali ke rumah tahanan pasca kudeta pada tanggal 1 Februari, 2021. Dimulai dengan surat dari Suu Kyi yang mendorong masyarakat untuk menolak pemerintahan kudeta, gelombang unjuk rasa pun terus bergulir hingga hari ini.

Represi yang meningkat dan media internasional yang terus meliput memicu spontanitas manusia di berbagai belahan dunia. Tidak tanggung-tanggung, institusi sekelas PBB sampai angkat suara.

Batasan etnik pun lenyap seketika, pula batas antara identitas kewarganegaraan. Yang ada hanya reaksi murni terhadap peleceh kemanusiaan, yang artinya melukai semua yang manusiawi.

Batasan yang lenyap tampaknya seiring dengan lenyapnya fakta-fakta yang melahirkan paradoks. Misalnya, fakta bahwa Suu Kyi, ikon dari kebebasan tersebut pada masa kekuasaannya tidak bergeming pada terbunuhnya ribuan etnis Rohingya sejak tahun 2012.

Fakta bahwa dia pernah berkata, “Di mana pun penderitaan diabaikan, akan ada benih-benih konflik, karena penderitaan merendah-hinakan dan menyakitkan dan menciptakan amarah.”

Kemudian berkata, “Tak ada yang bilang pada saya jika akan diwawancarai oleh seorang Muslim,” pasca di desak untuk mengutuk sentimen anti-Islam dalam sebuah wawancara bersama BBC pada tahun 2013 bersama Mishal Husain.

Ya, spontanitas melupakan semuanya. Melupakan bahwa kemanusiaan tanpa persamaan hak hanya menimbulkan pertanyaan baru, “Kemanusiaan untuk manusia yang mana?”

Spontanitas terhadap pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh pihak tertentu, kesan tidak bermoral yang ditinggalkannya, reaksi terhadap nilai luhur yang dilanggar, hingga euforia dari hegemoni pemberitaan yang sama ditengah ramainya gejolak aktivisme di berbagai belahan dunia.

Euforia mengabaikan paradoks.

Paradoks ini mengingatkan saya terhadap Amerika Serikat sebagai negeri pertama yang mengakui hak asasi dan tertuang dalam konstitusinya, namun mempraktekan perbudakan terhadap kulit hitam hingga puluhan tahun. Juga dengan Prancis melalui Declaration of the Right of Man and the Citizen” Yang jelas tertulis Man — namun menolak “Declaration of the Rights of Woman and of the [Female] Citizen”.

Sepintas, kejam betul orang yang meremehkan darah dan air mata yang tumpah. Apalagi yang tumpah karena dorongan dari reaksi yang murni, dorongan demi memenuhi keberlangsungan hidup bersama.

Terlepas dari segala paradoks, sangat manusiawi bagi manusia untuk merespon pelecehan semacam itu, mengingat sepanjang sejarah manusia hidup atas pedoman nilai luhur tertentu. Nilai, moral, etika, menuntun manusia dan mengontrol tatanan masyarakat dalam bingkai yang tak kasat mata.

Pertanyaannya adalah, semurni apa kendali nilai tersebut atas manusia lainnya?

Fight hard, think harder.

--

--

Adi Chandra Wira Atmaja
Komunitas Blogger M

Akun ini saya buat untuk mengarsipkan ingatan, impresi dan pandangan subjektif saya atas berbagai hal; sosial, politik, budaya, seni, lokalitas.