Naga Terbang Penanda Zaman

Iqbal Abizars
Komunitas Blogger M
5 min readJun 7, 2020

Ingatan saya sejenak terperangkap ke masa yang lampau. Kenangan masa kecil tentang tanah lapang luas membentang di balik gunung menjulang. Nostalgia tersebut tiba-tiba menguar secara ajaib tatkala saya selesai berbincang dengan seorang lelaki paruh baya. Rambutnya yang mulai memutih sama sekali tak membuat kelu lidahnya untuk bercerita.

Saya dengan khusyuk mendengarkan tiap alunan kisah dari tutur beliau. Si lelaki paruh baya tersebut adalah pemburu naga terbang. Ya, ia pemburu tapi ia bukan pembunuh. Ia berburu untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kelestarian lingkungan.

Cerita yang dibawakan si lelaki paruh baya seolah menyuntikkan suatu zat khusus sehingga saya bisa mengingat jelas masa kecil saya dengan kerumunan naga terbang.

Waktu itu sore hari, senja yang merah merona belum nampak di ufuk barat. Saya dan teman-teman sengaja pergi ke tanah lapang dekat rumah kami. Tanah lapang saat itu memang belum menjadi barang yang mewah.

Namanya anak kecil, hal yang kami lakukan tentunya bermain. Kami bermain apa saja yang kami mau: Sepakbola, petak umpet, kejar-kejaran, dan tentunya mengejar dan menangkap kerumunan naga terbang.

Tubuh mereka warna-warni, ada yang hijau belang hitam mirip seragam tentara, kuning tua seperti kunyit, biru menyala layaknya langit di atas lautan, dan merah silam bagaikan matahari yang akan tenggelam.

Ukurannya pun beragam, mulai dari besar sampai kecil bahkan ada yang ekornya tipis seperti jarum. Matanya sangat besar dengan dua pasang sayap gagah di atas tubuhnya. Kerumunan naga terbang ke sana dan ke mari mencari mangsa, yaitu belalang, nyamuk, lebah, dan serangga lainnya. Kakinya yang berjumlah tiga pasang bak keranjang cukup untuk mencengkeram kuat-kuat mangsanya. Rahangnya pun sangat kuat, mangsa yang tertangkap akan dicabik-cabik habis olehnya. Mereka terbang meliuk-liuk di udara dengan indahnya. Sesekali, mereka bertengger di ujung-ujung ranting pohon yang ada di pinggiran tanah lapang.

Kami tak mau kalah gesit dengan para naga terbang. Tangan kosong bagi kami tak masalah, penuh dengan percaya diri kami menangkap para naga yang sedang bertengger. Kami tangkap sayapnya atau ujung ekornya yang sebenarnya itu perut karena si naga tidak berekor.

Beberapa berhasil dan beberapa tidak. Jika sedang niat maka kami bersiasat, menangkap para naga dengan suatu perangkat. Kami cabut beberapa lidi dari sapu di rumah, ujungnya yang lentur ditekuk sehingga membentuk lingkaran, setelah itu kami isi lingkaran yang kosong tersebut dengan jaring laba-laba sebagai perekat. Setelah selesai, kami bergegas menuju tanah lapang untuk menangkap si naga terbang bak pemburu ulung di tengah hutan.

Nostalgia saya hentikan. Tiba-tiba, saya meluncurkan pertanyaan ke lelaki paruh baya, “Kok, sekarang naga terbang jarang terlihat?”

Ia tersenyum kecil, kedua matanya hanya nampak segaris. Sesaat kemudian ia menghela napas panjang untuk bersiap menjawab, keriput tipis di pipinya jelas terlihat, “Cepat atau lambat, mereka akan tersingkir. Para naga terbang adalah penanda jika suatu lingkungan tersebut sehat. Hal itu disebut sebagai bio-indicator. Ketika kamu melihat mereka terbang ke sana ke mari dengan gagahnya, berburu mangsa atau saling bertarung satu sama lain, dan menyaksikan bagaimana mereka bereproduksi berarti itu adalah pertanda jika kamu sedang berada di ekosistem sebuah kawasan yang sehat,” lelaki paruh baya mengambil jeda, kemudian melanjutkan penjelasan secara terperinci.

“Sekarang, sumber-sumber mata air mulai tercemar. Lahan pertanian dan ruang terbuka hijau mulai hilang, bahkan hutan banyak yang beralih fungsi. Belum lagi penggunaan bahan-bahan kimia sintetis yang secara berlebihan digunakan untuk insektisida dan pestisida. Limbah dan sampah pun berserakan tak karuan, entah limbah dari industri ataupun sampah rumah tangga. Para naga terbang semakin terhimpit, ruang hidup mereka hilang secara masif. Kini, naga terbang kian terancam seturut dengan terancamnya kelestarian lingkungan.”

“Coba bayangkan, jika para naga terbang benar-benar menghilang, siapa yang akan memangsa jentik ataupun nyamuk dewasa sebagai hewan yang paling banyak menyebabkan kematian bagi umat manusia? Lalu, siapa yang akan berperan mengontrol jumlah wereng dan belalang yang dianggap ‘hama’ oleh beberapa petani?” kali ini ia mengambil jeda sembari menyeruput kopi hitam.

“Sungguh, kepergian naga terbang adalah pembawa kabar bahwa kita hidup di lingkungan yang sedang tidak baik-baik saja. Jika dulu mereka hadir sebagai pemberi kabar bahwa tempat hidup kita sehat, kini mereka pergi sebagai pemberi kabar bahwa tempat hidup kita rusak. Banyak manusia yang lalai, sebagian dari kita mengagumi para naga terbang dengan cara yang salah. Memburu mereka hanya sekadar untuk diawetkan menjadi hiasan bukanlah suatu kebajikan. Kebebasan para naga terbang untuk hidup di alam jauh lebih penting ketimbang menempatkan mereka dalam wadah-wadah sunyi nan dingin. Kepergian mereka adalah pesan: Alam hidup kalian telah rusak, wahai manusia! Kami hanya memberi kabar, tapi mengapa kalian turut membunuh kami?” Lelaki paruh baya melanjutkan bercerita. Ia menggebu-gebu sekaligus mengharu-biru.

Saya hanya terdiam, tak berani berkata sepatah pun. Saya hanya membatin di dalam relung hati:

Pada akhirnya, para naga terbang adalah penanda zaman. Kepergian mereka adalah kabar bahwa zaman terus bergerak menuju kerusakan. Lantas, bagaimana? Akankah anak kita hanya dapat melihat mereka di dalam wadah-wadah sunyi dan dingin? Ataukah cucu kita hanya dapat menyaksikan para naga terbang dengan rongga-rongga besi yang kita sebut sebagai helikopter?

Foto: Stefanus Wahyu Sigit Rahadi

*Capung dalam Bahasa Inggris disebut dragonfly yang jika diterjemahkan secara harfiah ke dalam Bahasa Indonesia berarti naga terbang.
**Si pria paruh baya dalam tulisan adalah Stefanus Wahyu Sigit Rahadi. Pria kelahiran Temanggung, 3 Agustus 1969 tersebut merupakan sosok dibalik berdirinya Indonesia Dragonfly Society.

Penulis: Iqbal Abizars
Ilustrator: Alif Yuniantoro
Penyunting teks: Yustin Paramita Dewi dan Stefanus Wahyu Sigit Rahadi

--

--