Arah Politik Nahdlatul Ulama: Era Reformasi Indonesia

Jabal Sab
Komunitas Blogger M
4 min readMay 25, 2024
Presiden Abdurrahman Wahid sesaat menjelang lengser dari jabatan kepresidenan. (Foto: AFP, Okha Budhi).

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar dI Indonesia turut berperan dalam proses reformasi. Ketua Umum NU paling fenomenal di era kontemporer Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, disebut sebagai salah satu bapak reformasi.

Di era reformasi Gus Dur membuat perubahan politik yang besar di tubuh NU dengan mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang diamanatkan oleh muktamar NU. Gus Dur berhasil mengkonsolidasikan kekuatan Nahdlatul Ulama yang dimotori oleh sejumlah kyai-kyai sepuh nan kharismatik yang merestui berdirinya PKB.

Di Pemilu 1999, PKB berhasil meraih suara yang lumayan besar dengan mayoritas pemilihnya berada di Jawa Timur. PKB berada di urutan ketiga peraih suara terbanyak setelah PDI-P bentukan Mega dan Partai Golkar yang kala itu dipimpin oleh Akbar Tanjung.

Gus Dur kala itu turut diusung untuk menjadi calon presiden dan akhirnya terpilih dalam Sidang Umum MPR sebagai presiden, dengan proses sidang MPR yang penuh manuver politik yang tajam.

Gus Dur diusung oleh kekuatan politik yang menamakan diri “Poros Tengah”. Poros aliansi politik partai-partai Islam yang coba menghalangi Megawati Soekarno Putri, putri Presiden RI pertama Soekarno, yang juga ketua partai pemenang pemilu saat itu, PDI-P.

Mega mungkin bisa kita sebut sebagai korban politik paling parah Orde Baru ketika posisinya sebagai ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dilengserkan oleh rezim Orba hingga berbuntut peristiwa kerusuhan berdarah tanggal 27 Juli 1997.

Mega yang kemudian mendirikan partai baru, PDI-Perjuangan, berhasil memenangkan pemilu. PDI-P yang memenangkan pemilu pertama pasca reformasi akhirnya gagal membuat Mega, sang ketua dan putri Bung Karno, menduduki kursi presiden setelah kalah dalam pemilihan presiden di sidang MPR.

Abdurrahman Wahid diusung oleh Poros Tengah yang dibentuk oleh Amien Rais, cendekiawan Islam yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, tokoh reformasi, sekaligus pendiri dan ketua Partai Amanat Nasional (PAN). Poros Tengah adalah gabungan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan dan dipimpin oleh Gus Dur, PAN, PPP, Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra dan Partai Keadilan (yang kini berubah nama menjadi PKS).

Namun sayang, Gus Dur tidak berhasil menyelesaikan masa jabatan kepresidenannya setelah dilengserkan oleh MPR dalam sidang istimewa. Oleh sebagian pihak, bahkan pengakuan Gus Dur sendiri, Amien Rais yang merupakan bekas kolega politik yang mendapuknya sebagai presiden, adalah dalang utama lengsernya Gus Dur.

Perseteruan antara Gus Dur dan Amien Rais yang merupakan sama-sama mantan ketua ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, ibarat mengulang sejarah perseteruan antara dua kelompok umat Islam Indonesia yang menyebabkan bubarnya Masyumi dahulu.

Keretakan hubungan Gus Dur dan Amien Rais seolah menjadi isyarat bahwa kelompok Muslim tradisionalis dan modernis di Indonesia memang tidak bisa bersatu. Bagi kedua pengikut dua ormas Islam terbesar di Indonesia ini, agaknya beberapa pandangan keagamaan yang membedakan kedua kelompok ini menjadi dua “mazhab” pandangan keislaman, menjadi sulit disatukan.

Meskipun secara politik tidak ada pakem-pakem tekstual yang secara jelas membedakan kedua kelompok ini, namun perbedaan pandangan keagamaan menjadikan keduanya kontras berbeda secara sosiologis dan kultural di dalam masyarakat, yang membuat keduanya menjadi sulit bersatu sebagai sebuah aliansi politik.

Tanpa coba memperlebar konflik dalam melihat peristiwa sejarah politik yang melibatkan dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia ini, mungkin ada alasan lain yang menjadikan kepresidenan Gus Dur “digugat” alias punya legitimasi kuasa yang cenderung melemah.

Gus Dur adalah tokoh yang berpikiran moderat dan terbuka, sehingga tak jarang ia bahkan turut mendapat gugatan dari kelompok tradisionalis sendiri. Pemikirannya unik dan terbuka, hasil penjelajahan intelektual yang ia geluti dalam pergaulan intelektual dan aktivisme, yang mungkin bagi sebagian warga NU tradisional masih cukup asing.

Pandangan-pandangan Gus Dur soal kebebasan beragama dan pemenuhan hak-hak minoritas mungkin kurang populer di sebagian kalangan Muslim. Gus Dur juga dikenal pernah melayangkan pernyataan-pernyataan yang dianggap kontroversial dan “berbeda” dari pandangan mayoritas kalangan Islam.

Secara politik, kemampuan Gus Dur untuk mengonsolidasikan semua faksi dan kekuatan politik yang ada juga mengalami ujian berat. Di era pemerintahannya, Indonesia menghadapi gonjang-ganjing dan peristiwa yang mengganggu stabilitas negara. Indonesia harus menghadapi konflik antar agama di Ambon dan Poso, konflik separatisme di Aceh dan Papua dan kondisi ekonomi yang tak membaik seperti yang diharapkan oleh masyarakat umum, khususnya kelompok pro-reformasi. Di sisi lain Gus Dur melakukan perubahan besar dalam mereformasi Indonesia dengan menciptakan pemerintahan sipil dan mengembalikan militer kepada fungsinya hanya sebagai alat pertahanan negara.

Gus Dur seorang cendikia yang humanis mungkin terlalu “lembek” dalam memimpin negara di tengah kondisi yang masih belum begitu kuat dan stabil pasca reformasi. Jika kita melihat dalam kacamata stabilitas negara, mungkin ini jadi alasan terkuat mengapa faksi militer yang semakin kehilangan peran dalam politik pasca reformasi, tidak berbuat apa-apa ketika terjadi impeachment yang melengserkan Gus Dur.

Bisa saja militer memang mengharapkan Gus Dur lengser, atau setidaknya Gus Dur mungkin tidak punya posisi politik yang kuat di tubuh militer sehingga ia tidak mendapatkan pembelaan politik dari militer untuk mencegahnya didepak dari jabatan kepresidenan. Bisa saja militer berpikiran bahwa Megawati yang kala itu menjabat wakil presiden, adalah sosok presiden yang lebih tepat untuk menjamin kestabilan politik Indonesia.

Dengan lengsernya Gus Dur dari jabatan presiden, posisi politik warga NU di Indonesia tidak lagi pernah mencapai posisi puncak.

Beberapa kali tokoh sentral NU pernah dicalonkan menjadi pasangan calon presiden sebagai wakil presiden, namun mereka kandas di Pilpres langsung.

Hasyim Muzadi, mantan Ketua PBNU pasca Gus Dur yang menjadi wakil Megawati di Pilpres 2004 kalah dari SBY-JK. Sementara tokoh NU lain yang merupakan adik kandung Gus Dur, Sholahuddin Wahid atau Gus Sholah juga mencalonkan diri sebagai wakil presiden Wiranto. Kedua tokoh sentral NU pasca Gus Dur ini sama-sama kalah, mungkin karena suara pemilih NU terbelah kala itu.

Yang jelas, sejak itu NU tersingkir dari arena utama kekuasaan sejak Gus Dur lengser, hingga akhirnya bisa dikatakan kembali ke panggung utama kekuasaan ketika berhasil memenangkan Jokowi di putaran kedua secara fenomenal dengan memasangkan Ma’ruf Amin sebagai wakil Jokowi di Pilpres 2019.

--

--

Jabal Sab
Komunitas Blogger M

Writing about Islam, Indonesia, philosophy, politics and humanity