Uraian Historik untuk Merenungi Pertanyaan atas Masa Depan

Adi Chandra Wira Atmaja
Komunitas Blogger M
5 min readJun 19, 2024
Tepi Danau Turkana, Kenya (Credit : Yannick Garcin)

Di tepi danau Turkana, peralatan batu berusia 3,3 juta tahun ditemukan. Peralatan itu diduga berfungsi untuk memecahkan kacang, atau berfungsi layaknya kapak. Jika benar peralatan ini adalah bukti paling awal dari dukungan batu terhadap aktivitas manusia, maka terentang jarak waktu setidaknya 3 juta tahun lebih sampai logam menjadi perpanjangan tangan baru bagi manusia. Mulai dari tembaga, perunggu, hingga besi.

Mesir kuno jadi peradaban besar yang bangkit pada masa ini. Pada kurun waktu 4000 SM, sebagian besar kuburan kuno mereka berisi jarum dan alat pahat yang dilebur dari bijih-bijih tembaga kasar. Entah bagaimana sampai mereka menyadari bahwa peleburan tembaga dan timah dapat menciptakan perunggu; logam yang lebih kuat, lebih tajam, dan lebih baik untuk bertani (apalagi berperang). Yang pasti, perunggu kemudian menjadi saksi dari takluknya Mesir Hilir oleh Mesir Hulu, menyatukan kembali kerajaan Mesir, menyambut masa jayanya.

Dalam kurun waktu yang dekat, perkembangan perunggu juga berlangsung di negeri tetangganya. Breasted, pada tahun 1914 menyebutnya Sabit Subur (Fertile Crescent). Wilayah subur yang terbentang serupa bulan sabit di sepanjang pantai timur Mediterania, dan sayap lainnya menjangkau teluk Persia. Ujung baratnya adalah Palestina, dan berpusat pada peradaban bangsa Asiria. Hari ini, Mesir turut disertakan dalam lanskap sabit ini.

Tapi perunggu bukan satu-satunya bintang di sini. Pada pertengahan milenium ke-4, perunggu jadi saksi dari masifnya pembukaan lahan. Pertanian lahir dan subur di sepanjang lanskap ini. Perunggu dan pertanian juga disambut oleh aksara paku, upaya tertua manusia yang ditemukan sejauh ini untuk membangun sistem komunikasi yang jauh lebih kompleks.

Bulan Sabit Subur (Sc : hubpages.com/xxtonybxx)

Pertanian artinya masyarakat yang menetap, jauh dari bahaya perburuan, dan ketidakpastian hidup. Bersamanya populasi meledak. Tatanan sosial harus diperbaharui, dinasti-dinasti lahir, mitos-mitos menyebar. Namun perkembangan ini belum berlaku secara global. Asia Tenggara menyaksikan perkembangan yang sama, masih pada tingkat lokal. Meskipun terdapat bukti keberadaan perunggu pada akhir milenium ke-4 SM di Phung Nguyen, dan Non Nok Tha. Perkembangan baru terlihat pesat pada 1000 sampai 1 SM di Lembah Song Hong, dengan kebudayaan perunggu yang dikenal sebagai kebudayaan Dong Son.

Apa yang menarik adalah melihat fenomena logam sebagai masa transisi. Logam menjadi saksi ledakan populasi pasca masifnya pertanian. Ciptakan masalah baru, serta cara-cara baru dalam menghadapinya; tatanan sosial, teknologi, hingga sistem keagamaan. Masa ini adalah waktu singkat di mana perubahan terjadi dengan begitu cepat (dan semakin cepat). Berbeda dengan zaman batu yang membutuhkan lebih dari tiga juga tahun untuk melahirkan ahli-ahli logam ini, hanya butuh kurang dari 3000 tahun sampai manusia mengenal besi, hingga mengakhiri masa prasejarah.

Vietnam utara dan pusat kebudayaan Dong Son (Sc: Uploaded by Nam.C.Kim on Research Gate/Higham 2002, p. 171; Museum of Vietnamese History in Ho Chi Minh City; map produced by Tegan McGillivray, University of Wisconsin, Madison)

Apakah kondisi ini sepenuhnya merupakan kemajuan, atau sebaliknya? Harari menguraikan situasi ini sebagai mula dari kokohnya kelas-kelas elit, kerja keras dengan imbalan yang tidak sepadan, waktu luang yang lebih sedikit.

Dengan satir, kondisi yang kerap dianggap sebagai “domestikasi tanaman pangan” disebutnya sebagai kondisi di mana manusia (itu sendiri) di domestikasi oleh tanaman pangan. Sejak itu, roda peradaban tidak dapat lagi dihentikan. Populasi terus meledak, masalah baru terus berdatangan, solusi terus di datangkan. Mite Sisifus

Hari ini, tidak butuh waktu ribuan tahun untuk dikejutkan oleh penemuan baru. Kejayaan modern yang dimulai sejak abad ke-16 kini berkembang selaju revolusi. Sejak aksara lahir di dataran sabit subur sampai tahun 2003, karya tulis yang tercipta diperkirakan telah mencapai lima exabyte, hanya butuh puluhan tahun hingga panggilan suara beralih menjadi panggilan video. Kesuburan tidak saja berlaku secara lokal, sabit subur ini menjelma global.

Manusia tidak saja menghadapi realitas objektif di luar diri, dan realitas subjektif di dalam diri; realitas kini berlapis-lapis. Jika akhir milenium ke-4 SM dihegemoni oleh logam, maka hari ini, manusia dihegemoni oleh dunia artifisial yang kompleks, dimana logam hanyalah satu dari sekian banyak penyusun darinya.

Kecemasan tidak saja dirasakan oleh Mesir hulu dan hilir yang bersitegang, kecemasan ditularkan dalam hitungan detik secara global. Kecemasan terhadap krisis perekonomian, perang, bahkan kecemasan atas fenomena yang belum terjadi sebelumnya; Dehumanisasi, tidak oleh ideologi yang berbahaya, bukan oleh dinasti baru dengan haluan politik ekstrim, tapi oleh kecerdasan buatan, serta realitas artifisial yang di dukung olehnya.

Para pemburu yang baru saja gantung busur, dan mulai membuka lahan di sepanjang sabit subur mungkin saja menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama. Ribuan tahun berburu dan menjelajahi dataran, seleksi alam ekstrem, pula seleksi kelompok yang tidak kalah ketat, semuanya berhenti perlahan. Selama tiga juta tahun, manusia mewarisi ingatan-ingatan kolektif, hingga cara-cara hidup yang kurang lebih sama. Logam, diikuti oleh aksara dan pertanian yang masif, datang untuk menggugat imajinasi kolektif lama.

Kita bisa mengisi ruang kosong dari uraian prasejarah ini, dengan membayangkan kecemasan-kecemasan yang terjadi pada masa transisi tersebut. Bahwa ketakutan akan wilayah buruan yang dikuasai oleh kelompok lain, adalah ketakutan yang tertanam dalam ingatan kolektif. Namun ketakutan akan terbatasnya akses hutan karena dikuasai oleh suatu kelompok besar yang dipimpin dewa? Atau hutan yang terbakar demi pembukaan lahan pertanian yang sama sekali tidak mereka sukai karena jauh dari falsafah hidup mereka? Atau kecemasan-kecemasan lain yang benar-benar tidak mungkin datang tanpa kehadiran tiga teknologi mutakhir tadi, serta konsekuensi budaya yang di datangkan olehnya.

Memang terdapat perbedaan signifikan dengan hari ini. Kini sebagian besar manusia sudah menyadari adanya perubahan sebagai kewajaran. Hari ini, pembicaraan mengenai masa depan tidak mesti diperantarai oleh peramal atau pendeta. Penemuan terus menjawab kecemasan, timbulkan kecemasan, dan jawaban atas kecemasan terbaru. Tapi seperti halnya logam dan aksara, serta tatanan sosial mutakhir yang di datangkan olehnya; Kecerdasan buatan datangkan spekulasi dan disforia yang tidak kalah asing.

Coba bayangkan. Sejak era modern dimulai pada abad ke-16, Humanisme semakin menjadi nilai universal yang melandasi berbagai perubahan sosial, perkembangan dan pemanfaatan teknologi, hingga landasan berdirinya suatu negara. Konsep manusia dan kemanusiaan terus ditinjau tanpa meninggalkan humanisme sebagai salah satu falsafah yang memantik modernisasi. Namun hadirnya kecerdasan buatan menambah deretan baru dari ancaman terhadap kemanusiaan. Tidak saja ancaman fisik maupun pelecehan non-fisik terhadap martabat kemanusiaan itu sendiri. Tapi ancaman terhadap humanisme secara ontologis, ketika berhadapan dengan kecerdasan buatan, dan pertanyaan-pertanyaan mengenai batas-batasnya. Kecemasan bagi generasi ketika semua dapat terjawab.

Bahkan ancaman terhadap kecemasan itu sendiri.

Barangkali para pensiunan pemburu itu sempat mencemaskan bagaimana hidup kelompok mereka setelah perburuan tidak lagi jadi kewajiban seperti dahulu. Hari ini, kecemasan itu adalah bagaimana manusia nanti?

--

--

Adi Chandra Wira Atmaja
Komunitas Blogger M

Akun ini saya buat untuk mengarsipkan ingatan, impresi dan pandangan subjektif saya atas berbagai hal; sosial, politik, budaya, seni, lokalitas.