Paradoks Iklan Rokok

Edwin Fauqon
Komunitas Blogger M
4 min readMay 10, 2024
Merokok membunuhmu dan orang-orang yang kamu sayang

Iklan rokok adalah paradoks yang menyalahi pemahaman soal bagaimana trik pemasaran seharusnya bekerja. Ia menabrak teori pemasaran untuk mengakali batasan yang ada. Tapi, justru hal itulah yang membuatnya menarik untuk dipelajari dan ditelaah baik-baik.

Pernah melihat bentuk produk rokok di iklan rokok? Seharusnya tidak, sebab menurut UU Penyiaran tahun 2002, iklan rokok dilarang menampilkan pemeragaan wujud rokok. Jika dipikir baik-baik, maka peraturan tersebut tidak masuk akal. Tidak semua brand, apalagi hanya level UMKM atau temanmu yang sering berjualan lewat instagram story, mampu untuk mengakali peraturan itu.

Di sisi lain, pembatasan tersebut justru memperlebar kreativitas dalam memasarkan produk mereka — bahkan terkesan terlalu serampangan jika perhatikan sekilas. Batasan seringkali menjadi pemicu akal-akalan yang sebelumnya mengendap di bawah sadar. Hari ini iklan rokok menampilkan orang berselancar, besok memanjat tebing, nanti pergi ke bulan. Liar tanpa batasan.

Meskipun, saya tahu betul di balik itu semua ada insight/benang merah yang coba disampaikan secara implisit. Tapi, lagi-lagi, hal ini jarang bahkan hampir tidak pernah dilakukan jenis brand lain, bisa jadi karena terlalu berisiko dan, bayangkan, bagaimana orang bisa mencerna iklan onde-onde yang menampilkan orang memakai setelan jas di atas gedung tanpa mengucap satu kata pun?

Ingat-ingat kembali, pernahkah kamu membaca copy pada iklan rokok yang menunjukkan keunggulan atau manfaat rokok mereka? Semestinya tidak. Padahal, setahu saya, dalam upaya pemasaran produk, satu-satunya hal yang perlu ditonjolkan adalah keunggulan produk tersebut. Bagaimana produk tersebut mampu membantu menyelesesaikan masalah atau mencukupi kebutuhan target pasar.

Tapi, iklan rokok justru bermain-main dengan copy yang unik, lucu, dan satir tanpa secara langsung berhubungan dengan produk mereka. Beberapa contohnya antara lain: ‘Lo yang salah, lo yang galak’, ‘Lutut lagi, lutut lagi, kapan kepala dipakai’, dan ‘Pas seneng lupa, pas susah nanya posisi’. Lagi-lagi, liar dan (seolah) tanpa batasan sekaligus menggelitik.

Menulis copy adalah salah satu tanggung jawab pekerjaan saya saat ini. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan untuk menghasilkan copy yang informatif, kreatif, sekaligus cukup persuasif untuk memicu audiens bereaksi atau bahkan dikonversi sebagai penjualan. Pemahaman dan pengalaman tersebut membuat saya penasaran setengah mampus bagaimana copywriter iklan rokok bekerja.

Saya berprasangka baik bahwa mereka, para copywriter iklan rokok, telah berangkat dari hasil riset dan diskusi alot dengan beragam pihak untuk memutuskan copy seperti apa yang muncul di iklan mereka. Meskipun, di sisi lain, ada kecurigaan bahwa mereka hanya menuliskan copy sekenanya asal terdengar lucu, mudah diingat, dan hanya meneruskan tradisi yang sudah ada: satu kalimat apapun, pokoknya relate dengan masalah di masyarakat.

Tidak berhenti pada copy yang tak berkaitan secara langsung dengan produk, ada pula yang lebih gila dari tidak menonjolkan kelebihan produk rokok dalam iklannya. Mereka terbuka, bahkan frontal, menunjukkan kekurangan atau dampak buruk dari produk yang sedang dipasarkan. Padahal, normalnya, sebisa mungkin kekurangan dari produk harus dikerdil bahkan sembunyikan.

Bagaimana bisa sebuah iklan secara terang-terangan mengimbau bahwa produk mereka berpotensi mengalami kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin? Lebih jauh dari itu, bagaimana bisa iklan meraup untung jika melampirkan peringatan tegas berbunyi: merokok membunuhmu!

Hal itu seperti restoran cepat saji menulis peringatan ‘Makanan kami membuatmu obesitas’, produk obat diet dengan ‘Obat kami membuatmu langsing, tapi juga ketergantungan’, atau permen anak-anak dengan ‘Permen ini membuatmu ompong seperti penyihir’.

Saya heran sekaligus kagum bagaimana iklan rokok bekerja. Tim pemasaran mereka menjual barang tanpa menjual barang. Maksud saya, apa ada orang yang tertarik untuk membeli rokok setelah melihat iklan yang terkesan ‘random’ dan menekankan pada dampak buruk?

Oleh sebab itu, saya melakukan survei kecil-kecilan di Intagram dengan menanyakan bagaimana teman-teman saya pertama kali mencoba rokok. Pilihannya ada tiga: pengaruh keluarga/teman/keluarganya teman, penasaran/coba sendiri, dan terakhir iklan.

Hasilnya, 4 orang (17%) terpengaruh keluarga/teman/keluarganya teman, 20 orang (83%) dari rasa penasaran lantas mencoba sendiri, dan tidak ada yang memilih iklan. Menarik, kan? Terus, apa gunanya produsen rokok susah payah mengiklan di sana-sini dengan materi yang dibatasi jika tidak persentase konversinya kecil?

Ada satu tebakan yang paling masuk akal dan cukup normal yaitu menjadi top of mind di masyarakat. Puluhan brand, mereka ingin menjadi yang paling diingat orang saat berbicara soal rokok. Hal yang sama seperti Aqua sebagai air mineral, Odol sebagai pasta gigi, dan Sanyo sebagai pompa air. Tapi, balik lagi, bagaimana pengemasan iklan rokok yang menabrak teori pemasaran adalah fenomena yang selamanya menarik buat saya.

Padahal, iklan terbaik yang dimiliki oleh produsen rokok adalah perokok itu sendiri. Mereka ada di mana-mana dan secara tidak langsung membuka jalan transaksi. Apalagi, rokok adalah salah satu jenis produk yang bikin candu. Rokok seolah tak pernah tidak pernah kehabisan pelanggan. Mereka akan terus ada, bahkan berlipat ganda, selama merokok masih legal dilakukan tanpa adanya peraturan ketat dan kebijakan yang dilaksanakan dengan ketat pula pada pelanggar.

Meskipun, jika dipikir-pikir lagi, produsen rokok secara tidak langsung juga berusaha membunuh konsumen terbaik dengan produk mereka. Hal ini seperti mereka dengan gamblang berbicara pada target pasarnya, “Produk kami bisa membunuhmu dan membuat hidupmu dan orang-orang di sekelilingmu menderita, tapi kami punya rasa baru yang akan membuatmu melayang dan masalahmu seolah hilang untuk sesaat. Mari beli rokok kamu sekarang.”

Satu hal yang pasti adalah iklan rokok mampu menanggapi batasan secara tidak terbatas. Saya bukan perokok aktif, tapi rasanya saya harus banyak belajar soal bagaimana cara menjual tanpa mengatakan bahwa saya sedang berjualan.

--

--