Paradoks Kebenaran

Roby Arsyi
Komunitas Blogger M
3 min readAug 6, 2023
Photo by eyesonwalls on Pinterest

“Saya yang paling benar”, ujar seseorang ketika mempertahankan argumennya. Ya, kita semua pernah berdebat dengan sangat menyebalkannya hanya untuk mempertahankan apa yang kita yakini, dan dengan seenaknya menyalahkan pendapat lain hanya karena tidak sesuai dengan keinginan kita. Lalu kemudian kita bertanya-tanya, sebenernya apa itu kebeneran?

Lalu, apakah kebenaran itu akan tetap berarti jika kesalahan ditiadakan? Jika suatu kebenaran hanya diketahui oleh satu orang dan tidak ada seorang pun yang tahu, apakah kebenaran itu masih dianggap sebagai kebenaran? Ahh, begitu banyak pertanyaan tentang kebenaran yang justru malah kebenaran itu sendiri membingungkan.

Saya meyakini bahwa kebenaran adalah salah satu konsep paling mendasar yang menjadi landasan untuk pemahaman dan pengetahuan manusia. Namun, di balik sifat yang tampaknya jelas dan tak terbantahkan, ada sebuah paradoks yang menarik untuk dieksplorasi. Paradoks kebenaran menyiratkan bahwa ada aspek kebenaran yang sulit dipahami dan bahkan bertentangan dengan logika kita. Itulah mengapa terkadang kebenaran alih-alih menjadi jawaban, justru malah membuat binggung.

“Nobody is going to pour truth into your brain. It’s something you have to find out for yourself”- Noam Chomsky

Salah satu paradoks yang menarik adalah paradoks kebenaran liar, juga dikenal sebagai paradoks Epimenides. Dalam konteks ini, seorang penyair sekaligus filsuf asal Kreten kuno, Epimenides, dikatakan telah menyatakan bahwa “Semua orang Kreten (kreta) adalah pendusta.”

Pertanyaannya adalah, jika pernyataan ini benar, maka Epimenides sendiri juga harus berbohong karena dia adalah seorang Kreten. Namun, jika dia berbohong, itu berarti pernyataannya mungkin benar. Ini menciptakan lingkaran tak terbatas yang tampaknya tidak bisa diselesaikan. Paradoks ini menyoroti tantangan mendalam dalam memahami apakah suatu pernyataan bisa benar atau salah ketika ia mencakup dirinya sendiri.

Selain itu, kita juga bisa merenungkan paradoks kebenaran dan relativisme. Beberapa dari kamu mungkin percaya bahwa kebenaran adalah sesuatu yang absolut, ada secara objektif, dan tidak terpengaruh oleh pandangan atau interpretasi subjektif. Namun, pandangan ini bertentangan dengan paradoks relativisme, di mana semua pandangan subjektif dianggap benar, karena setiap orang memiliki perspektif dan latar belakang yang berbeda.

Pertanyaannya adalah, apakah kebenaran benar-benar absolut atau hanya merupakan produk dari relatifitas dan interpretasi kita? Paradoks ini bisa saja menyulitkan kita untuk memahami apakah ada kebenaran yang nyata di luar pandangan individual kita.

Selanjutnya, kita dapat mempertimbangkan paradoks pengecualian kebenaran, yang sering kali menyebabkan pertanyaan tentang apakah kebenaran benar-benar mutlak. Jika kita percaya bahwa suatu pernyataan adalah benar dalam semua kasus, maka apakah mungkin ada pengecualian?

Misalnya, ungkapan “Semua manusia akan mati” tampaknya merupakan pernyataan yang benar, tetapi jika ada seseorang yang dianggap abadi, maka itu mengecualikan kebenaran absolut dari pernyataan itu sendiri. Paradoks ini mengajarkan kepada kita untuk berhati-hati dalam mengklaim kebenaran yang mutlak, karena mungkin selalu ada pengecualian yang belum kita ketahui.

Dalam hal ini, paradoks kebenaran yang sarat misteri, kita semua selalu dihadapkan pada kompleksitas yang tak terbatas. Meskipun sulit dipahami sepenuhnya, paradoks ini mengajarkan kita untuk tetap rendah hati dalam mengklaim kebenaran mutlak, sambil terus berani menjelajahi wilayah-wilayah yang belum terjamah.

Dalam upaya kita untuk memahami esensi kebenaran, mari kita terus mencari pengetahuan yang lebih dalam, menghargai perbedaan pandangan, dan merangkul ketidakpastian dengan keyakinan bahwa paradoks ini menghidupkan semangat penemuan dan membuka pintu menuju pemahaman yang lebih luas tentang kebenaran sejati.

--

--

Roby Arsyi
Komunitas Blogger M

Dunia sedang menari di kepala, isinya tentang kekhawatiran yang tak berujung. Maka dari itu aku menulis.