Pemerintah Mengizinkan Ormas Keagamaan kelola Tambang, Tepatkah?

Muhammad Irvan
Komunitas Blogger M
4 min readJun 7, 2024
Ilustrasi Pertambangan

Belum redanya pembahasan kenaikan UKT yang cukup signifikan dan munculnya kontroversi Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera, yang memang belum penulis bahas), Masyarakat umum kembali dikejutkan dengan keputusan pemerintah melalui Presiden Jokowi yang mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dimana pemerintah mengizinkan Ormas Keagamaan untuk mengelola area pertambangan secara mandiri.

Pemerintah dalam hal ini meregulasi dan memberikan kesempatan kepada setiap ormas keagamaan yang memiliki potensi untuk mendapatkan izin pengelola tambang secara prioritas. Hal ini berbeda dengan sebelum keluarnya PP nomor 25 tahun 2024 dimana sebelumnya penawaran izin tambang terlebih dulu diberikan kepada BUMN, BUMD dan BUMS. Jika tidak ada yang menerima maka Ormas akan diberikan penawaran dengan regulasi yang ketat.

Pada awalnya, Presiden Jokowi menjanjikan konsensi pertambangan mineral dan gas kepada generasi muda Nahdatul Ulama (NU) pada tahun 2021. Senada dengan Presiden Jokowi, Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia juga menginginkan agar Ormas Keagamaan dapat mengelola tambang sebagai roda penggerak organisasi.

Namun apakah langkah pemerintah tepat dalam membuka jalan mulus untuk organisasi keagamaan mengelola pertambangan di Indonesia? Mengingat dalam sejarah belum ada organisasi kegamaan manapun yang terang-terangan mengelola pertambangan secara terbuka.

Presiden Jokowi mempunyai alasan tersendiri dalam melakukan hal tersebut. Menggerakkan ekonomi rakyat kecil melalui pertambangan dengan dijembatani organisasi keagamaan menjadi alasan utama presiden mengeluarkan PP tersebut. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MLHK) Siti Nurbaya, meyakini bahwa pemberian izin tambang kepada organisasi keagamaan mampu menjadikan organisasi tersebut menjadi mampu untuk mandiri secara finansial dan mampu menggerakkan roda organisasi melalui ekonomi yang sehat.

Jika kita mengacu kepada pernyataan presiden, Hal tersebut menjadi masuk akal mengingat banyaknya masyarakat Indonesia yang tergabung sebagai anggota dalam organisasi keagamaan. Nahdatul Ulama selaku Organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia dengan memiliki 95 juta anggota aktif, Muhammadiyah dengan 60 juta anggota aktif dan berbagai organisasi keagamaan lainnya baik tingkat nasional maupun daerah.

Kebijakan tersebut bisa berdampak cukup efektif jika dikelola dengan sempurna. Bisa dibayangkan dengan hanya dua organisasi Islam besar di Indonesia dengan total jumlah anggota 155 juta jiwa bisa terkena dampak positif oleh kebijakan tersebut. Puluhan juta keluarga dapat meningkatkan ekonominya yang tentu berdampak pada turunnya angka kemiskinan. Belum lagi berbagai organisasi keagamaan lainnya yang belum penulis lampirkan di tulisan ini.

Namun disamping dampak positif yang diberikan oleh kebijakan tersebut, tentu muncul juga dampak negatif yang harus dipertimbang dan dicarikan segera solusinya oleh pemerintah. Dunia tambang yang sering menimbulkan masalah dalam berbagai sektor harus menjadi sorotan bersama antara pemerintah dan organisasi keagamaan sebagai dua pihak yang terlibat dalam PP terbaru yang dikeluarkan presiden tersebut.

Seperti yang kita ketahui, dunia pertambangan sangat lekat dengan konflik agraria. Data Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2023 mencatat bahwa pertambangan memunculkan 32 kasus konflik agraria pada 127.525 Hektar lahan dengan 48.622 dari 57 desa yang mengalami dampak. Dengan mengandeng Ormas Keagamaan sebagai aktor utama rasanya masih belum menyelesaikan konflik agraria. Kerusakan lingkungan yang begitu fatal tanpa perbaikan bahkan sampai timbulnya korban jiwa pada area bekas tambang yang tidak direlokasi harus mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah.

Ilustrasi kerusakan lingkungan akibat tambang (sumber : Duta Tv)

Praktik tambang yang hanya menguntungkan oligarki dan menyengsarakan masyarakat juga kerap terjadi. Banyaknya kasus yang mengesampingkan prinsip HAM dan hanya menguntungkan beberapa pihak serta menimbulkan efek negatif kepada masyarakat sekitar bahkan justru harus terusir dari lingkungan hidupnya menjadi poin yang harus dipertimbangkan Organisasi keagamaan sebelum menerima tawaran pemerintah.

Sisi negatif lainnya juga dapat disorot dari politik. Misalkan kita ambil contoh pada Organisasi Nahdatul Ulama yang pengikutnya hampir menyentuh 100 juta jiwa. Dengan massa yang begitu luar biasa menjadi sangat rawan terjadinya eksploitasi politik oleh pemerintah terhadap NU. Janji politik dengan menjadikan NU sebagai mitra dapat menimbulkan kesan buruk dari masyarakat kepada organisasi dan pemerintah. Mengingat urusan politik begitu tidak disukai dan dihindari oleh masyarakat akibat oknum tertentu.

Masih banyak dampak positif dan negatif terkait dunia tambang yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam mengeluarkan PP tersebut dan dapat menjadi bahan pertimbangan kepada organisasi keagamaan dalam menerima tawaran pemerintah. Memang sumber daya alam yang dikandung oleh bumi wajib dieksplorasi, namun harus tetap menjunjung tinggi HAM dan mengutamakan kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat. Sesuai dengan Amanat UUD No 33 ayat 3 bahwa seluruh sumber daya yang dimiliki negara wajib dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk “membesarkan perut” oligarki.

Bagaimana menurut para pembaca?

--

--