Penerimaan dan Pengetahuan sejak awal: Sebagai Coping Mechanism

El Azhary
Komunitas Blogger M
15 min readJun 6, 2024

لاشيء يبقى فكل شيء إما أن يتغير أو يرحل.
"Tidak ada sesuatu yang abadi, segala sesuatu akan berubah atau pergi meninggalkan."

Beberapa waktu lalu, saya tidak sengaja mendapati ungkapan tersebut di kolom explore Instagram saya. Ungkapan tersebut ditulis dengan huruf Arab yang di unggah dalam bentuk desain ala tipografi sederhana yang memiliki arti sebagaimana yang tertulis diatas.

Dan apa yang saya dapati ketika membaca kutipan tersebut, ternyata ia cukup berhasil membuat saya termenung. Bukan hanya saja sentuhan pada makna kalimatnya secara harfiah, tetapi juga terpantik nya pikiran untuk menelusuri jauh mengenai apa yang memungkinkan untuk digali. Dan atas dasar itu lah tulisan ini muncul.

Pesan singkat diatas, kadang-kadang, perlu untuk di install kembali didalam pemahaman hidup kita. Diantara lain hal, ialah sebagai upaya penyiapan atas mental untuk menghindari keterkejutan terhadap sebuah keniscayaan akan perubahan atau juga pada sesuatu yang potensial pergi atau hilang.

Bicara soal perubahan, perpindahan, atau kepergian sebagai sebuah kondisi, seringkali hal itu berefek pada keterkejutan mental kita sebagai manusia, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pola sikap dan perilaku kita atas situasi tersebut. Misalnya, tak jarang kita dapati kabar berita,

"Harga BBM naik, masyarakat berujung pada aksi protes di depan Istana Presiden"

"Seorang lelaki berprofesi sebagai TKI yang sudah 5 tahun tak pulang tewas bunuh diri, setelah mendapati istrinya selingkuh."

"Kalah dan gagal lanjut 2 periode. Caleg di Kabupaten Z mengalami stress."

Ada banyak sekali fenomena yang bisa kita lihat mengenai bagaimana reaksi mental kita atas suatu situasi/kondisi dapat berimplikasi pada sikap/perilaku kita terhadap situasi/kondisi tersebut. Judul-judul berita diatas adalah sebagian kecil dari contoh-contohnya.

Contoh lain yang bisa kita lihat juga ialah apa yang terjadi di tahun 2017 pada respon masyarakat yang berprofesi sebagai “Ojek pengkolan” berkenaan seiring perkembangan teknologi digital.

Fenomena keterkejutan mental, kadang-kadang, membawa dampak positif pada diri, itu bila yang muncul adalah kabar kegembiraan; sebagai reaksi dari keserasian antara harapan dan realitas peristiwa yang sifatnya tidak terduga. Kagum dan takjub, misalnya.

Tetapi, di lain tempat; pada momen yang sangat indah dan berkesan, sangatlah sukar bagi kita—pada umumnya untuk menyelaraskan dan menstabilkan kondisi mental: antara keinginan untuk tetap berada didalam momen, dengan keniscayaan atau potensial kuat terhadap suatu perubahan keadaan.

Metrik pertama diatas (keinginan/harapan) bersifat internal dan bisa saja dikendalikan. Tetapi, pada yang kedua ini (perubahan) bersifat eksternal dan hampir mustahil untuk ditangani. Kecuali dengan upaya menyesuaikan diri.

Ya, gagasan mengenai perubahan disini tampak sedikit ambigu dan —setidaknya—memiliki dualitas makna:

1.) Perubahan dari ‘apa yang dianggap buruk’ kepada ‘apa yang dianggap baik/lebih baik’

2.) Kebalikannya, perubahan dari ‘apa yang dianggap’ baik kepada ‘apa yang dianggap lebih buruk’

Tetapi, tentu saja bagian ini bukanlah diskursus etika yang mendalam mengupas soal definisi dan kategori objektif dari baik dan buruk itu sendiri. Perkara baik-buruk, seringkali hanya bergantung bagaimana kita memaknainya.

Secara umum dan sering, kita cenderung memaknai baik sebagai apa yang umumnya diri kita sukai, kondisi yang nyaman, dan sesuatu yang membuat kita betah. Sementara buruk, adalah apa yang menjadi kebalikannya.

Namun, kendatipun begitu, gagasan mengenai perubahan yang sejak mula bebas nilai ini, justru sering menjelma sebagai gagasan "kiamat" bagi sebagian kita. Maksud saya, ketika kita berada di situasi baik (yang nyaman dan kita sukai) kita cenderung enggan terhadap perubahan, lantaran hal itulah yang membuat kita nyaman, dan tabiat kita menyukai kenyamanan-kenyamanan tersebut. Inilah yang seringkali membuat kita betah pada status quo kenyamanan kita.

Dan apa yang sering kita dapati ketika kita berada di situasi yang tidak nyaman dan tidak kita sukai? Ya, kita seringkali ingin melakukan perubahan.

Sederhana, karena sejak awal —secara sering dan boleh jadi dalam keadaan tidak sadar—kita telah mengasosiasikan keadaan-keadaan tak nyaman dengan gagasan yang kita anggap buruk.

Namun, satu keterkelalaian kita terhadap satu fakta yang sangat penting untuk diketahui keberadaan dan kenyataan kebenarannya —terlebih lagi mengetahuinya sejak awal— ialah bahwa dunia bukan hanya tentang bahagia dan nikmat, tetapi juga tragedi dan hal yang tidak mengenakkan, bukan hanya tentang yang disukai tetapi juga pada hal-hal yang tidak disukai, termasuk fakta pahit akan tidak adanya keabadian di dunia yang kita tinggali saat ini; semua akan pergi, hilang dan senantiasa berubah.

"Hidup seperti roda pedati" —Pepatah lama

Kesukaan kita pada "apa yang kita anggap nyaman" membuat gagasan kehilangan dan perubahan (dari situasi yang nyaman) adalah momok yang seringkali terdengar menakutkan.

Photo by Chris Lawton on Unsplash

Tetapi, masalahnya, perubahan —termasuk kepergian dan kehilangan—secara ontologis ialah fakta yang terverifikasi keberadaannya di kehidupan dunia.
Sepanjang kehidupan ditinjau dari sudut karakter dunia: yaitu yang fana, selama itu pula tidak ada individu yang dapat menahan dan menghindar dari konstanta kehidupan tersebut: perubahan dan kehilangan.
Sejujurnya, buat saya—boleh jadi juga Anda, mengamini fakta bahwa dunia senantiasa berubah (termasuk kepergian dan kehilangan) sama mudahnya dengan mengamini fakta bahwa seorang individu tidak bisa hidup terbebas dari apa yang orang lain katakan/pikirkan tentang dirinya
Ya, perubahan dan kehilangan sama halnya dengan keberadaan orang lain dengan kehendak bebasnya untuk berkata dan berpikir sesuatu apapun terhadap siapapun: sama-sama bersifat eksternal, sulit di tahan, dan sulit untuk dihindari.

Pada intinya, kita tidak bisa memaksa dunia dan segala unit yang terkandung di dalamnya untuk tetap dan atau terus berlangsung ada. Itu sebagaimana kita tidak bisa memaksa seluruh orang untuk tidak berkomentar ataupun berpikir apapun (bahkan perihal diri kita.)

"Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri" —Heraclitus

Sekarang, sepertinya kita mulai sepakat bahwa dunia senantiasa berubah dan senantiasa ada yang pergi dan hilang. Itu adalah keniscayaan dalam kehidupan dunia kita.

Namun, oleh karena fenomena perubahan dan kehilangan dalam perspektif kehidupan dunia adalah suatu keniscayaan dan fakta yang tidak bisa di hindarkan keterjadiannya. Maka, tanpa ragu kita nyatakan bahwa adalah ide yang baik bila fokus kita ialah pada bagaimana dapat beradaptasi tatkala perubahan dan kehilangan itu tiba.

Berbicara adaptasi tentu itu adalah proses aktifitas penyesuaian organisme dengan lingkungannya, dan pada konteks ini ialah entitas manusia dengan alam dunianya, situasi sosialnya, dan atau yang terkait dengan eksistensi dirinya

Lalu, apa yang diperlukan untuk beradaptasi dengan kehilangan dan perubahan sebagai seorang anak manusia di dalam konstanta kehidupan dunia?

Setidaknya, ada 2 point yang saya rasa cukup membantu dalam hal ini.

Kedua point yang saya coba saya kontekstualisasi kan dari teori-teori yang yang saya anggap relevan. Tentu sekali, ini hanyalah sebuah opini, yang terbuka untuk di kritisi atau juga di jadikan diskusi.

1. "Menerima: Fakta sebagai fakta"

Penerimaan adalah satu langkah awal yang diperlukan didalam suatu proses penyesuaian. Itu karena, substansi utama dari penyesuaian adalah adanya persamaan, itu seperti halnya persamaan antara keinginan dan sunnatullah (hukum alam) yang ada dalam kehidupan.

ini berbeda halnya dengan penolakan (negasi dari menerima) yang merepresentasikan ketidaksamaan.

Adaptasi baru akan terjadi ketika seseorang lebih dulu menyelaraskan antara wilayah internalnya (harapan) dengan realitas eksternalnya —yang tidak lain dalam hal ini ialah perubahan itu sendiri: yang secara potensial kuat akan terjadi atau juga pada perubahan yang memang sudah terjadi.

Dengan menerima perubahan sebagai suatu keniscayaan, itu dapat membuat seseorang menjadi setengah siap pada realitas situasi yang telah, akan, atau sedang terjadi, serta menjadikan individu tersebut lebih hadir (be present) dan lebih fokus pada apa yang diperlukan untuk terbiasa di tengah dinamika realitas itu sendiri

Menerima bahwa orang baik tidak selalu baik disegala sisi

Menerima bahwa hal-hal buruk bisa datang kapan saja: (sakit, bangkrut, bencana.)

Menerima bahwa perbedaan dan kegagalan dalam kehidupan dunia adalah keniscayaan

Menerima akan kepergian seseorang/kehilangan sesuatu yang di cintai

Menerima bahwa waktu terus berlanjut dan tidak dapat di halau atau kembali

Menerima dunia yang potensial menghadirkan sesuatu yang tidak disuka.

Setidaknya, pada tataran rill kehidupan, kita bisa dapati dalam dunia keseharian bahwa individu yang menerima beberapa realitas hidup—setidak nya pada konteks diatas— cenderung baik secara mental dan matang dalam bersikap dibandingkan individu yang tidak mau/mampu menerima dan beradaptasi dengan situasi realitas tersebut.
Bicara soal penerimaan,

"Bersikeras beranggapan dan mengatakan 'hidup' pada orang yang sudah mati, tidak akan membuatnya hidup."

Dalam makna yang lain dan lebih luas ihwal dari kata "hidup", kehidupan justru akan berlanjut tatkala kita menerima realitas kematian seseorang sebagai keniscayaan dalam hidup.

Tetapi, tentu, dalam cakupan yang lebih luas, ini bukan sama sekali saran untuk agar kita menjadi fatalis dan menyerah pada nihilisme kehidupan kita. Sikap penerimaan tidak berarti menafikan kita untuk menjadi individu yang optimis. Harapan justru masih tetap diperlukan untuk kebermaknaan hidup kita, namun dengan tetap menyisakan ruang bahwa segalanya bisa saja tidak berjalan sebagaimana yang di harapkan. Melakukan yang terbaik dan bersiap untuk yang terburuk. Kiranya, itulah kalimat yang tepat untuk mengketengahkan bagian ini.

2. "Pengetahuan: sebagai Penyiapan sejak awal"

Sebetulnya, ini adalah integrasi dari point pertama. Tetapi, bila point pertama diperuntukkan pada realitas peristiwa atau sistuasi yang sedang atau sudah terjadi dan terfokus pada hal-hal ekstrinsik (di luar diri)

Point ke 2 ini justru lebih fokus pada cara kerja persepsi yang bersifat intrinsik (dalam diri) dan apa yang bisa kita siapkan sebagai bekal untuk beradaptasi dengan realitas yang tidak diinginkan yang belum terjadi namun berpeluang untuk terjadi.

Triknya seperti ilusi sekaligus sugesti diri dengan mencuri informasi sejak awal.

Oh Ya, Sebagian besar isi dari point ke 2 ini saya rujuk dari teori-teori yang saya anggap menarik dan relevan yang saya ambil dari Thingking Fast And Slow milik Daniel Kahneman. Diantaranya: Efek Penyiapan Yang Menjadi Pedoman, Efek Paparan Belaka, Teori Norma, dll.

Ini adalah contoh bagaimana pengetahuan sebelumnya dapat menjadi alat yang kuat dalam menyesuaikan diri dengan perubahan. Konsep ini juga saya adopsi dari "efek penyiapan" oleh Kahneman, di mana kita lebih mudah menanggapi situasi baru jika kita sudah memiliki pemahaman atau ekspektasi sebelumnya tentang situasi tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menghadapi perubahan yang tidak terduga. Mulai dari perubahan di lingkungan kerja, perubahan dalam hubungan personal, hingga perubahan dalam kondisi ekonomi atau kesehatan. Ketika kita memiliki pengetahuan yang cukup tentang kemungkinan perubahan tersebut, kita dapat lebih siap secara mental untuk menghadapinya.

Misalnya, dalam konteks pekerjaan, jika kita mengetahui bahwa ada rencana restrukturisasi di perusahaan, kita bisa mempersiapkan diri untuk kemungkinan perubahan dalam tim atau tanggung jawab pekerjaan. Hal ini memungkinkan kita untuk lebih mudah menyesuaikan diri dengan dinamika yang terjadi dalam perusahaan.

Sebuah informasi, yang sejak awal diterima oleh seseorang, akan berdampak pada tingkat reaksi keterkejutan seseorang terhadap objek tak terduga yang akan ditemuinya.

Ada satu metafor dari Kahneman sebagai point dari teorinya yang menjadi favorit saya berkenaan dengan hal ini,

"Waktu muncul pelamar kedua yang ternyata teman lama saya juga, saya tidak begitu kaget lagi. Pengulangan sedikit saja sudah cukup membuat pengalaman baru terasa normal."

Seawal mungkin suatu informasi mengenai suatu objek/fenomena yang diterima (Efek Penyiapan), juga sekuat intensitas pengulangan informasi itu bersinggungan dengan alam pikiran seseorang, hingga informasi itu tertanam kuat di dalam benak (Efek Paparan Belaka). Maka, itu akan memicu suasana akrab terhadap objek, fenomena, atau peristiwa tersebut dan kadar kejutnya pun menjadi kurang mengejutkan.

Kuasa informasi/pengetahuan juga menghubungkan masa kini dengan pengalaman masa lalu yang baru terjadi, juga menjadi bayangan/pedoman untuk menafsirkan atau menentukan akan masa depan yang dekat.

Permisalan

Begini, orang-orang —umumnya dan secara fitrahnya— akan menganggap maklum bila mendengar suatu kabar seorang wanita melahirkan. Tetapi, suatu (t)anggapan akan menjadi berbeda bila objek wanita diganti menjadi sosok laki-laki.

Alasannya cukup mudah diterima. Itu karena spesies manusia dengan sejarah mereka yang berlangsung lebih dari jutaan tahun lalu tidak punya satu standar norma dan pengalaman untuk menganggap normal gen laki-laki yang melahirkan.

Ya, gagasan mengenai laki-laki tulen (non-transgender) yang melahirkan adalah gagasan tidak terduga yang tidak dikenal sebelumnya. Manusia tidak memiliki data, memori, atau pengalaman yang menjadi acuan kenormalan akan hal tersebut.

Menyelisihi kenormalan adalah satu fenomena yang tidak terduga, dan itu memicu keterkejutan. Sepertihalnya skenario fiktif laki-laki yang melahirkan diatas.

Dan, taruhlah seandainya saja hal itu terjadi untuk pertama kalinya, —meski sangat mustahil— bukan tidak mungkin fenomena melahirkannya seorang lelaki lain yang berbeda —yang berarti untuk kedua kalinya ada laki-laki yang melahirkan— lebih mudah diterima dibanding melahirkannya laki-laki yang pertama. Itu lantaran, persepsi terhadap insiden melahirkan seorang laki-laki yang kedua telah dipengaruhi oleh peristiwa sebelumnya: yaitu melahirkannya seorang lelaki untuk pertama kalinya.

Dan, satu hal yang boleh jadi kita dapatkan dari semakin seringnya intensitas fenomena tersebut terjadi (ketika mulai banyaknya laki-laki yang melahirkan) adalah semakin tinggi pula terpicunya keakraban manusia dengan fenomena tersebut, hingga bagaimana kemudian tanggapan yang awalnya ialah keterkejutan berubah menjadi pemakluman/terbiasa lantaran peralihan norma dari yang semula tidak normal menjadi normal.

Kita juga barangkali akan kaget—terkadang dengan disertai reaksi defensif seperti melompat, menutup bagian sensitif (wajah dan kepala) dengan kedua tangan atau benda yang sedang kita pegang ketika sedang berjalan melewati sebuah lorong sepi atau semak-semak, yang secara tiba-tiba ada objek yang lewat/bergerak tepat dua meter dihadapan kita. Namun, kadar kaget kita hampir pasti cenderung berkurang ketika kita diberi tahu sebelumnya bahwa akan ada sesuatu yang lewat/bergerak di hadapan kita. Potensi kekagetan kita boleh jadi ada, tetapi dengan adanya diberitahu informasi sejak awal, kadarnya akan berkurang. Dan bila semakin sering paparan pengalaman itu berulang, kita pun merasa akrab dan menganggap nya sebagai suatu peristiwa yang normal, dan tentunya tidak lagi merasa terkejut.

Ada satu ungkapan lawas yang sering diucapkan orang-orang dalam konteks mengasah keterampilan, yang saya anggap relevan dengan bagian ini, bunyinya,

"Bisa karena terbiasa."

Sebuah Pengalaman Relevan: Kenangan Masa Kecil

Menyitir kalimat tersebut, saya jadi teringat momen saya ketika pada awal memasuki SMP di tahun 2012, pada hari dimana ibu saya memberi tahu bahwa mendiang ayah—dalam beberapa waktu kedepan akan pindah lokasi dinas, yang konsekuensinya saya akan berangkat dan pulang sekolah sendirian. Saat pertama kali mendengar itu, saya cukup kaget dengan di sertai reaksi menggerutu. Saat itu Ibu mengatakan pada saya bahwa lokasi tempat dinas ayah pindah ke lokasi yang lebih jauh, itu mengharuskan ayah harus berangkat lebih pagi dari sebelumnya dan pulang lebih telat dari jam pulang sekolah saya saat itu, yaitu pukul setengah empat sore.

Ibu juga memberi gambaran kepada saya bahwa saya akan berangkat dan pulang naik angkutan umum, lengkap dengan nomor trayek dan harga ongkosnya. Ibu juga memberi tahu bahwa jumlah angkutan umum pada trayek angkutan yang akan saya tumpangi kedepannya sangatlah sedikit dan tidak langsung begitu saja jalan dengan kecepatan normal kalau penumpang belum penuh, yang risikonya saya harus bangun lebih pagi agar tidak telat dan bersiap menunggu lebih lama saat pulang dan untuk sampai kerumah. Di iringi maaf, ibu juga tak lupa mengingatkan bahwa tidak akan ada uang jajan tambahan. Ongkos angkutan umum sebesar 25% dari total uang saku (Rp.15.000) mesti saya tanggung sendiri dari yang saya terima.

Sebagai seorang anak yang sebelumnya terbiasa berangkat-pulang dengan ayah menggunakan motor —yang di modifikasi ala motor dinas Babinsa itu, juga sebagai siswa yang baru saja beberapa minggu masuk sekolah menengah pertama dan belum mendapatkan "temen barengan", tentu pemberitahuan itu membuat saya cukup "kaget". Pasalnya, buntut dari keadaan itu, saya bukan hanya akan berangkat dan pulang sekolah sendiri. Saya juga akan berjumpa dengan kondisi dimana saya mau tak mau harus bangun satu jam lebih pagi dan bersedia menunggu angkutan sekitar 15–20 menit ketika pulang setiap harinya, berdesakkan dengan para penumpang, dan terpaksa menyiasati uang jajan saya dengan simpanan untuk ongkos pulang-pergi.

"Biar saja, nanti juga lama-lama bisa (menerima) kalau sudah terbiasa." Ucap mendiang ayah saya kepada ibu yang obrolannya perihal saya saya dengar dari dalam kamar sewaktu sehabis makan malam bersama di ruang tengah.

Selama masa-masa terakhir sebelum dipindahtugaskan nya ayah dari kantor lama ke kantor yang baru, Ibu tidak hanya sekali mengingatkan berkenaan apa yang akan saya jalani nanti ketika ayah sudah pindah lokasi kerja. Di dalam percakapan yang acak, Ibu cukup sering mengingatkannya lagi, kadang-kadang disertai informasi-informasi baru seputar yang akan ditemui dari pengalaman naik angkutan umum pada nantinya. Seperti tidak enaknya mencium bau aroma parfum penumpang yang menyengat di dalam angkutan, campuran terpaan angin dan asap rokok supir/penumpang yang mengarah ke dalam angkutan, sampai supir yang mengemudi secara ugal-ugalan.

Selain menyebutkan pengalaman-pengalaman yang tidak enak. Sebetulnya, Ibu saya juga menyampaikan sisi enaknya menggunakan angkutan umum, yaitu kesempatan untuk bisa istirahat/tidur. Ibu saya hanya memperbolehkan saya tidur diangkutan umum, dengan catatan, (1) memilih bangku disamping supir (2) dan sampaikan terlebih dahulu perihal lokasi pemberhentian yang kita tuju dan minta tolong kepada supir untuk dibangunkan jika sudah sampai. Gunanya, tentu saja, supaya tidak terlewat.

Uniknya, saat tiba hari dimana ayah saya pindah lokasi kerja—yang secara bersamaan untuk pertama kalinya saya berangkat sekolah sendirian menaiki angkutan umum, saya tidak sama sekali menggerutu, saya juga tidak mengeluhkan apapun. Meski pada kenyataannya memang naik angkutan umum tidak lebih nyaman dari pada berangkat menggunakan kendaraan pribadi Ayah saya. Alih-alih "kaget". Saya ingat betul ketika saya menjalani hari itu, seolah saya sudah terbiasa menjalaninya. Saya bangun lebih awal, berangkat lebih pagi, saya terpapar asap rokok seorang penumpang, —faktor angkutan yang jarang juga membuat saya mesti berdesakkan, saya juga menunggu angkutan sesuai trayek arah rumah saya cukup lama di pinggir jalan sewaktu pulang sekolah, dan saya juga tiba dirumah jauh lebih lama dibandingkan dengan sebelumnya.

Berjalan tiga hari setelahnya, saya pun mendapatkan angkutan dengan supir yang ugal-ugalan—dengan kondisi jalanan yang terbilang parah saat itu. Kejadian kali itu membuat saya mabuk angkutan. Namun, sekali lagi, saya tidak menggerutu. Menganggap nya sebagai masalah, boleh jadi mungkin. Tapi, saya menjalaninya dengan perasaan biasa saja, seolah itu adalah hal yang lumrah dalam pengalaman saya.

Alasan sederhana—yang setidaknya saya cerna dari pengalaman itu ialah informasi-informasi yang diberikan oleh Ibu saya sejak awal—juga secara berulang, membuat saya menjadi punya gambaran akan situasi-situasi tersebut, dan dengan apa yang oleh Kahneman disebut sebagai "Efek Penyiapan" dan “Efek Paparan Belaka” secara psikologis itu membuat mental saya lebih siap dan menjadikan saya seolah sudah terbiasa dengan situasi tersebut.

Pengalaman peralihan keadaan dari berangkat bersama Ayah menggunakan kendaraan pribadi menuju menggunakan angkutan umum secara mandiri hanyalah salah satunya. Tentunya, ada banyak momen dalam hidup saya yang membuat saya merasa bahwa penting dan betapa bermanfaatnya mengetahui informasi sejak awal — juga secara berulang — berkenaan dengan sesuatu sebagai upaya penyiapan mental dan mencegah momen keterkejutan. Yang dalam istilah lebih populer nya, sering disebut sebagai “Coping Mechanism”

Sebaliknya, banyak juga momen penyesalan dan pengalaman tak mengenakkan yang saya alami lantaran tidak mengetahui informasinya sejak awal yang membuat saya pada akhirnya tidak siap ketika berhadapan dengan situasi/fenomena/objek yang saya temui.

Hanya saja, sayang, Ibu saya—entah tidak tahu atau lupa, luput memberi informasi perihal oknum supir yang seenaknya menurunkan penumpang ditengah jalan secara sepihak tanpa alasan, dimana si supir akan membebaskan biaya ongkos penumpang sambil memberi tahu bahwa angkutan lain—yang juga temannya sebentar lagi akan datang. Seolah sebagai suatu anggapan bahwa itu adalah win-win solution nya.

Kejadian itu secara spontan membuat saya “Lho?” *kaget*, sulit menerima situasi tersebut, dan berujung debat dengan si supir. Sementara penumpang yang lain hanya menggerutu pasrah “Halah bang, kebiasaan!”

Selasa Pagi di Tahun 2012

Nahas, sekitar kurang lebih sebulan kemudian, tepatnya di tanggal 4 September 2012. Saya, serta juga dengan teman-teman kelas yang baru saja memasuki mata pelajaran jam pertama tiba-tiba kedatangan sekaligus di interupsi oleh seorang guru lain. Saat itu, nama saya dipanggil, dan saya diminta memasukkan buku-buku dan peralatan tulis ke dalam tas serta membawanya. Kemudian saya di ajak ke ruang kantor, yang ternyata didalam ruangan sudah ada abang dan kakak perempuan saya yang sedang menunggu. Semua guru yang ada di kantor pun mengelus kepala saya, ada juga yang sambil memeluk saya. Saya tidak mengerti apapun saat itu. Saya diperbolehkan pulang.

Diperjalanan pun hening. Sampai tiba di tikungan dekat rumah, saya baru merasa ada yang tak wajar. Nampak berdiri tenda besar dan banyak kerumunan orang di halaman rumah saya. Bendera kuning! Seketika pun saya berontak, melompat dan hampir jatuh. Saya masuk kedalam rumah dengan mata yang berlinang. Saya mendapati Ibu, beliau sedang menangis di ruang tengah. Saya lari kedalam kamar, saya dapati Abang tertua saya sedang menangis. "Adik perempuan saya!, dimana dia?" Tanya saya dalam batin sambil berlari mengecek ruangan-ruangan lain dalam keadaan tas masih terpasang dipundak. Saya ke halaman depan, saya pun mendapati diri polos nya sedang asyik digendong paman.

Didepan rumah, langkah saya pun terhenti, kali ini saya tidak berlari kesana kemari, saya hanya terdiam celingak-celinguk bak orang kebingungan di tengah kerumunan orang-orang. Saya hanya mendapati kakak perempuan saya menangis sambil sedang memperhatikan saya. Hanya tersisa satu orang, "Ayah! Dimana dia?". Saya pun menoleh kebelakang, berlari menuju peti mati yang saya lihat di teras rumah. Saya mengangkat penutupnya dan, kosong! "Dimana Ayah saya?!" Tanya saya kala itu, seraya berteriak sambil menangis.

Paman saya yang lain pun mendekap badan saya, mengelus-elus kepala saya, dan mencium kepala saya tanpa berkata apapun. Saya kembali bertanya seraya berteriak bak orang kesurupan "Mana Ayah saya?!" . "Mana?!" Tidak ada yang menjawab, semua orang hanya melihat dengan tatapan sedih dan sebagiannya sambil menangis.

Pagi sekitar pukul 09.00 WIB — setelah setengah jam berlalu. Dalam keadaan saya menangis hebat, terdengar lah suara sirine ambulans. Saya, Abang dan kakak kompak berlari ke halaman depan dengan tangis yang begitu pecah. Pintu dibuka, jenazah yang masih lengkap dengan pakaian dinas itu diangkut, dibawanya ke ruang tengah, lalu diletakkan. Saya menangis, berteriak, mengamuk, tidak mau disentuh, saya membanting apapun yang terjangkau di sekitar, saya benar-benar tidak terkendali. Sementara Ibu dalam kondisi pingsan.

Tak terima, sulit dipercaya!

Barulah saya tahu, bahwa Ayah saya telah wafat dan tidak akan mengantar dan menjemput saya lagi ke sekolah untuk selama-lamanya.

Tanpa gagasan akan niscaya nya kematian, tanpa pemberitahuan informasi perihal niscaya nya kepergian. Saya dihadapkan pada situasi yang tidak sempat terpikirkan sebelumnya, pada kenyataan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Saya benar-benar tidak siap akan perubahan keadaan. Betapa rapuh dan hancurnya saya saat itu bila diingat. Saya kalut melebihi orang yang sedang mengikuti ujian penting di waktu pagi tanpa persiapan belajar dimalam hari.

Tak lama kemudian, seragam yang penuh dengan pangkat-pangkat itu pun akhirnya dilepas, tubuhnya dimandikan, berganti kain putih sebagai pakaian baru, pudar sudah kegagahan dengan pangkat-pangkat itu—hanya kebajikan lah yang tersisa untuknya, lalu dishalatkan dan diantarkannya beliau ke tempat peristirahatan.

Di pemakaman, tentara berbaret merah pun berbaris. Upacara digelar. Moncong senjata di arahkan ke langit. Komando berteriak "Hormat senjataaa.., Grak! "Dor!, Hadirin serempak hormat. Terompet pun dimainkan. Untuk kedua kalinya saya berhadapan dengan fakta bahwa Ayah telah benar-benar wafat dan terkubur dalam tanah. Tidak ada lagi percakapan, tawa dan mampir ke kedai untuk makan dan menikmati air kelapa saat momen menjemput. Hari demi hari pun berlalu. Hanya hening, hambar dan air kesendirian yang bisa saya teguk dalam perjalanan ke sekolah. Dan meneguknya kembali saat perjalanan pulang menuju rumah.

Bila kiranya ada reka ulang untuk memperbaiki kondisi saya saat beliau wafat, dan diperbolehkan meminta, saya hanya ingin meminta satu, beri saya pengetahuan tentang keniscayaan perubahan: bahwa mati bisa datang kapan saja, segala sesuatu bisa pergi dan hilang — entah sesaat setelah ini atau di suatu Selasa pagi yang cerah. Sehingga saya siap dan terbiasa ketika momen itu tiba.

Ayah, sosok humoris dan berwibawa yang mengajari saya tentang ketekunan, kedisplinan, memaafkan, kebesaran hati, juga kesederhanaan. Hanya dia sahabat saya pada waktu itu. Dia memperlakukan saya seperti seorang teman.

Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, memaafkan kesalahan-kesalahannya, merahmati nya dengan rahmat Nya yang luas. Aamiin.

Terimakasih sudah membaca

--

--