Pengamen, Ambulans dan Lagu Nike Ardilla

Anggit Rizkianto
Komunitas Blogger M
5 min readJul 23, 2021
Foto: https://www.instagram.com/nikeardillaaaa/

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam ketika saya melintasi jalan protokol tengah kota. Sesekali saya melihat jam di tangan, sambil tetap fokus mengendarai sepeda motor. PPKM Darurat di Surabaya rupanya tidak begitu mengurangi aktivitas orang-orang di luar rumah. Masih banyak warga kota yang harus berjibaku di jalanan karena berbagai urusan atau mungkin pekerjaan.

Kebijakan PPKM yang dimaksudkan untuk menekan laju penyebaran virus di tengah pandemi Covid-19 nyatanya memang terseok-seok dalam implementasinya. Saya sendiri saat itu tengah dalam perjalanan pulang dari salah satu pusat perbelanjaan, setelah membeli beberapa barang kebutuhan yang tidak mungkin dibeli secara daring.

Di tengah hawa malam yang dingin dan padatnya lalu lintas, tiba-tiba perhatian saya tertuju pada beberapa orang di perempatan jalan. Mereka adalah pengamen jalanan yang terdiri dari tiga orang.

Dari pengamatan saya, ada satu laki-laki dewasa yang memegang gitar dan tengah bersiap bernyanyi dengan stand mic dan sound butut. Dua lainnya adalah bocah laki-laki — atau mungkin telah remaja — yang tengah duduk-duduk di trotoar dengan kaleng tanpa tutup di tangan masing-masing.

Seketika saya memelankan laju sepeda motor saat lampu lalu lintas berubah dari hijau ke merah. Pengamen itu berada di sisi kiri jalan tepat di ujung perempatan. Saya berhenti hanya beberapa meter dari mereka. Perempatan itu sepertinya memang perempatan khusus, karena lampu merah akan selalu menyala lebih lama ketimbang lampu hijau apalagi kuning.

Si laki-laki dewasa pun mulai bernyanyi dengan menggenjreng gitarnya terlebih dahulu. Suaranya cukup merdu untuk ukuran seorang pengamen. Lantunan lagu yang dinyayikan dengan diringi suara gitar yang dimainkannya cukup membuat saya terhanyut dan tanpa sadar ikut bernyanyi. Itu adalah lagu Nike Ardilla, persisnya yang berjudul “Bintang Kehidupan”.

Ketika lagu memasuki reff bagian pertama, dua bocah laki-laki mulai menghampiri para pengguna jalan satu per satu, dimulai dari baris paling depan di perempatan jalan itu. Mereka meminta sumbangan seikhlasnya dengan gestur tubuh sedikit membungkuk dan menyodorkan kaleng tanpa tutup dengan kedua tangan. Ada yang memberi, tetapi ada juga yang tidak tentu saja.

Saat saya tengah sibuk memperhatikan kedua bocah, tiba-tiba saja terdengar suara ambulans dari arah belakang. Ambulans itu meraung-raung. Sirenenya mengeluarkan bunyi yang sangat nyaring dengan lampu yang memancarkan cahaya kemerahan ke segala penjuru.

Saya sempat menoleh ke belakang, lalu mendapati ambulans sedang stuck di belakang mobil dan sepeda motor yang mengular cukup panjang. Tanpa diduga, dua bocah laki-laki tadi langsung mengambil tindakan. Keduanya langsung meletakkan kaleng di atas pembatas jalan. Dengan gerak cepat, mereka berusaha mengurai kendaraan-kendaraan yang tengah berjejer; membuka jalan agar ambulans bisa segera lewat. Keduanya bahkan tampak berbagi tugas.

Bocah satu berusaha mencegat kendaraan dari arah lain agar berhenti, lalu memberi jalan beberapa mobil dan sepeda motor di baris depan untuk terus melaju. Bocah yang lain berusaha memberi komando ke beberapa pengendara motor untuk menepi ke kiri dan kanan jalan, sehingga ada ruang bagi ambulans untuk bergerak ke depan. Saya sendiri langsung menepi ke kiri jalan, mentok hingga ke trotoar.

Beruntung, ambulans mulai bergerak, lalu melaju secara perlahan di bawah cahaya temaram lampu jalan. Uniknya, si pengamen laki-laki dewasa sedari tadi tetap sibuk dengan gitar dan lagu Nike Ardillanya; ia tetap menyanyi di atas trotoar dengan tembang “Bintang Kehidupan”. Tak pelak lagi, suara sirene ambulans langsung beradu dengan lantunan lagu milik diva ternama era orde baru itu. Keduanya seperti membentuk jalinan orkestra yang sungguh aneh.

Suara sirene tentu sangat nyaring, namun suara vokal dari sang pengamen masih cukup jelas meskipun terdengar agak sayup. Saya membayangkan siapapun pasien di dalam ambulans itu pasti tengah berjuang karena sakitnya. Ia mungkin sedang menggigil dengan tubuh meringkuk, atau mungkin terlentang setengah sadar antara hidup dan mati. Ia juga bisa siapa saja, mungkin pedagang pasar yang tengah kesulitan karena PPKM; mungkin karyawan swasta yang baru saja dipecat; mungkin pedagang asongan; mungkin pegawai BUMN; atau mungkin pejabat negara yang sebelumnya hidup dengan baik-baik saja.

Siapapun ia, yang pasti ia tengah memperjuangkan kehidupannya, dan “Bintang Kehidupan” yang terdengar olehnya kiranya dapat memberikan penghiburan atau pelipur lara. (Bintang Kehidupan memang lagu sedih, tetapi juga memberi semangat dan memotivasi. Coba saja dengarkan!)

“Hanya satu keyakinanku
Bintang kan bersinar
Menerpa hidupku
Bahagia kan datang” — Nike Ardilla, 1990.

Setelah ambulans berhasil lolos melintasi perempatan, kedua bocah langsung memungut kembali kaleng milik mereka yang sebelumnya diletakkan di atas pembatas jalan. Mereka tampak tetap berusaha memanfaatkan peluang untuk mengais rezeki dengan menyodorkan kaleng itu ke pengguna jalan yang masih tersisa.

Anehnya, kebanyakan dari pengguna jalan yang masih tersisa tidak langsung tancap gas melanjutkan perjalanan meskipun lampu lalu lintas telah berubah hijau. Kebanyakan justru tampak menunggu kedua bocah itu menyodorkan kalengnya kepada mereka. Benar saja, mereka langsung merogoh tas atau dompet dan memasukkan selembar-dua lembar rupiah ke dalam kaleng.

Entah karena nurani mereka terketuk atau sekadar ingin memberikan apresiasi, yang pasti pemandangan itu cukup menakjubkan. Bagi saya, para pengamen itu adalah “bintang kehidupan”. Mereka telah berusaha menyelamatkan kehidupan orang lain yang entah siapa, dan tidak berlebihan jika mereka mendapat ganjaran atas itu.

Saya sendiri langsung merogoh tas selempang yang saya pakai, mencari beberapa rupiah di dalamnya. “Suwun Cak, suwun”, kata salah satu bocah ketika saya memasukkan uang ke dalam kaleng. Meskipun memakai masker, saya tetap dapat melihat senyum lebar di wajahnya dari mata yang sedikit memicing dan sudut-sudut mata yang tertarik.

Saya sampai di tempat kos sekitar pukul setengah delapan malam. Sambil merebahkan badan di atas kasur, saya kembali merekam persitiwa di perempatan jalan itu. Sebetulnya peristiwa itu bukan sesuatu yang asing belakangan ini. Pasalnya, solidaritas antarwarga adalah hal yang lumrah di tengah pandemi saat ini. Apa yang dilakukan para pengamen tadi adalah salah satu contoh sederhana dari aksi solidaritas tersebut.

Ada banyak aksi-aksi solidaritas lainnya yang dapat kita temukan dengan berbagai bentuk di luaran sana. Apalagi gerakan semacam itu belakangan ini diamplifikasi dengan narasi Warga Bantu Warga. Begitu kuatnya narasi tersebut, sampai-sampai muncul pertanyaan: warga bantu warga, negara bantu siapa?

Sempat terpikirkan oleh saya untuk membuat semacam kolase berita tentang aksi solidaritas antarwarga dan perjuangan tenaga kesehatan di tengah pandemi. Mungkin saya akan mengumpulkan berita tentang aksi para dokter, perawat, aktivis, relawan dan pihak lainnya yang terlibat langsung dalam penanganan pandemi yang sudah menjadi krisis multidimensi ini. Mereka adalah para “bintang kehidupan” saat ini; orang-orang yang berusaha menjaga kehidupan, dan menyelamatkan mereka yang berada di jurang kematian.

Jika tidak begitu, mungkin saya akan membuat esai foto tentang perjuangan nakes atau relawan covid. Esai foto itu nantinya akan saya beri judul “Bintang Kehidupan”.

Namun, saya pikir itu terlalu sulit karena akan terlalu banyak foto yang harus saya ambil, kumpulkan dan seleksi. Mungkin saya bisa membuat esai foto yang fokus pada tiga orang pengamen di perempatan jalan tadi. Saya yakin aksi penyelamatan ambulans yang baru saja saya saksikan bukanlah yang pertama kali mereka lakukan. Mereka pasti sudah sering melakukannya dan akan terus melakukannya di waktu mendatang. Sebab, kini kita hidup di zaman di mana suara ambulans lebih sering terdengar daripada suara adzan.

--

--