Peran Subsidi, Harga Mi Instan dan Efek Domino yang Paradoksal

Hasbi Haris
Komunitas Blogger M
7 min readMay 9, 2024
Area Pom Bensin (sumber gambar: suara.com)

Pada suatu malam, setelah sepulang sekolah dulu yang begitu lelahnya, aku duduk di kamarku dalam diam. Badanku begitu pegal dan rasanya ingin tidur saja, namun perutku tengah meronta-ronta padahal aku sudah makan malam tadinya. Ide untuk makan mi instan muncul begitu saja di kepalaku, terlebih menonton youtube seraya makan mi intan adalah salah satu aktivitas yang kugemari.

Pada saat itu mungkin sudah jam sepuluh malam. Aku tidak terlalu melihat jam. Saat sudah sampainya di toko kelontong yang masih buka di dekat rumahku, kakiku langsung saja berjalan ke arah rak-rak panjang berisi mi instan. Aku memutuskan untuk mengambil mi instan favoritku, indomie. Kurasa malam ini makan mi goreng enak rasanya. Namun, aku berpikir ulang. Harga mi instan memang naik akhir-akhir ini. Dengan ukuran standar, sekarang sudah mencapai harga tiga ribu lima ratus.

Entah lapar atau memang nafsu makanku begitu besar malam itu, aku meletakkan kembali ukuran standar dan mengambil indomie goreng yang berukuran jumbo. Kurasa harganya hanya lebih seribu dari ukuran standar. Dengan percaya diri aku meletakkan mi instan itu ke arah meja penjual. Aku memberikan uang sebesar lima ribu rupiah dan menunggu kembalian, untung-untung lima ratus bisa kupakai buat membeli permen.

Namun penjual malah bingung kepadaku, aku juga. Dia bilang harganya pas, sudah tidak ada kembalian. Apa? Naik lima ratuskah? Ah, aku malu lalu kembali pulang. Harganya sudah naik. Kurasa, pemerintah harus memikirkan untuk subsidi indomie dan bukan hanya subsidi bbm saja. Namun, apakah selamanya pemberian subsidi itu baik untuk perputaran ekonomi? Apakah subsidi sudah tepat sasaran?

Peran Subsidi dalam Ekonomi

Subsidi ialah salah satu dari instrumen dalam kebijakan fiskal yang dipakai oleh pemerintah dalam rangka menjaga pemerataan masyarakat terhadap akses ekonomi serta pembangunan. Fungsi dari subsidi itu sendiri akan melakukan koreksi terhadap ketidaksempurnaan dan ketidakseimbangan di dalam pasar (market imperfections). Subsidi dianggap mampu menstimulus produksi agar meningkat sekaligus menjamin terwujudnya proses-proses konsumsi berjalan.

Di Indonesia sendiri, subsidi dipraktekkan agar menjaga dan mengelola pembangunan berjalan dengan baik. Selain itu, tujuan utama kebijakan subsidi di Indonesia agar masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah atau bawah mampu mengakses pelayanan publik, ekonomi, pendidikan dan sosial.

Baik negara maju maupun berkembang, rata-rata melakukan subsidi terhadap perekonomian negaranya. Pada negara yang bergabung di dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) saja misalnya, Inggris dan AS melakukan subsidi terhadap kegiatan perekonomian dalam aspek pangan dan pertanian. Subsidi terhadap distribusi pangan dianggap penting dikarenakan agar dapat memenuhi produksi di dalam negeri dan menjangkau produksi ekspor dalam ranah pasar Internasional. Dari contoh ini, dapat dianalisis bagaimana kebijakan subsidi pada negara maju mampu memberikan pelayanan yang mumpuni terhadap warga negaranya masing-masing.

Hulu dasar kebijakan subsidi dalam ilmu ekonomi berasal dari sifat dan karasteristik barang dan jasa yang tersedia di dalam pasar. Di dalam ekonomi sendiri dikenal adanya barang publik (public goods), barang campuran (quasi goods), dan barang privat (private goods). Pada barang publik, negara harus mengintervensi pemerataannya agar semua lapisan warga negara mampu dan memiliki hak atas memakai barang publik. Nah, oleh karena itu kebijakan subsidi di sini dibutuhkan. Selain barang privat yang memerlukan persaingan murni (pure rival) tanpa campur tangan dan intervensi pemerintah, kebijakan harus diarahkan pada pemakaian barang publik dan barang campuran.

Barang publik seperti kebutuhan pangan yang mencakup kebutuhan dasar, listrik, air maupun kebutuhan dasar lain diperlukan subsidi yang tepat sasaran sehingga kebijakan subsidi itu sendiri mampu dirasakan dengan baik oleh masyarakat. Sedangkan barang campuran merupakan jenis barang yang memiliki komponen antara kebutuhan pokok dan kebutuhan privat seperti akses dalam kepemilikan properti termasuk rumah dan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.

Kebijakan subsidi akan memicu eksternalitas. Eksternalitas diukur dari efek yang ditimbulkan terhadap kebijakan subsidi yang telah dikeluarkan. Efek dari kebijakan tersebut bisa positif maupun negatif. Ketika pelayanan terhadap masyarakat pada bidang-bidang tertentu yang telah tersubsidi memberikan dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup masayarakat, maka efek positiflah yang berperan. Sedangkan, jika kebjijakan subsidi tersebut tidak terstruktur, tidak tepat sasaran dan malah banyak memberikan blunder, maka negatiflah hal tersebut.

Terdapat dua jenis kebijakan pembiayaan subsidi dalam ranah fiskal. Pertama, subsidi langsung yang diberikan langsung saja kepada masyarakat seperti subsidi beras untuk masyarakat miskin. Sedangkan yang kedua yaitu subsidi tidak langsung yang lebih mengarah pada pemberian insentif terhadap berbagai bidang.

Efek Domino Subsidi BBM

Aku mengambil contoh bagaimana subsidi itu berjalan dan bagaimana pula jika peran kebijakan subsidi tersebut tidak tepat sasaran. Kurasa contohnya dari subsidi bbm saja, yah lebih mudah dipahami dan tidak ribet-ribet amat.

Di Indonesia, mekanisme kebijakan subsidi dilalui berbagai tahapan.

Mulanya pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi pada sebuah rancangan anggaran khusus. Di dalam rancangan tersebut memiliki dua item yaitu anggaran subsidi energi dan non-energi. Kebijakan mengenai subsidi akan diletakkan pada kebijakan pembangunan pada kementerian dan kelembagaan negara dan pemerintah daerah dengan APBD-nya masing-masing.

Pada ranah subsidi energi dan non-energi, sejak tahun 2007 hingga 2013 mengalami peningkatan yang begitu tinggi. Pada tahun 2007, negara menganggarkan subsidi sebesar Rp. 150 triliun, sedangkan pada tahun 2013, subsidi naik hingga Rp. 317 triliun atau bisa dikatakan naik dua kali lipat semenjak 2007. Bisa dianalisis dalam alokasi APBN, alokasi subsidi mencapai setidaknya 19–20 persen dari total keseluruhan, dengan alokasi 80 persen hanya untuk subsidi bbm. Namun, pada tahun 2022 terjadi penurunan hingga jatuh pada angka Rp. 174,4 triliun dengan catatan subsidi bbm mencapai Rp. 113,3 triliun. Sedangkan pada tahun 2023, alokasi subsidi pada bidang energi mencapai Rp. 159,6 triliun dengan catatan subsidi bbm mencapai 95,6 triliun. Angka yang turun namun masih sangat begitu besar hanya untuk konsumsi masyarakat akan bbm.

Kebijakan akan subsidi bbm yang termasuk barang habis pakai sebenarnya menjadi pedang bermata dua. Konsumsi masyarakat akan bbm yang begitu tinggi bila dikaji ulang merupakan suatu hal yang menjadi beban bagi negara itu sendiri. Alokasi bbm yang hanya akan habis begitu saja bukanlah menjadi keadaan yang menguntungkan bagi negara dalam alokasi APBN. Tiap tahunnya, subsidi bbm besar-besaran akan mengeluarkan biaya yang sangat besar dibanding bidang-bidang lain yang seharusnya lebih diperhatikan. Sedangkan, bidang-bidang lain seperti pertanian, riset dan teknologi hingga pendidikan dimana sektor tersebut merupakan sektor penunjang negara dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas malah tidak terlalu dianggap.

Pada bidang riset dan teknologi, alokasi APBN hanya mencapai Rp. 26 triliun pada tahun 2018 dan terus menerus turun menjadi Rp. 12 triliun pada tahun 2021 dan kembali semakin turun menjadi Rp. 10 triliun saja pada tahun 2023. Ini sangat ironi. Merujuk pada Laporan Indeks Inovasi Global (2022), Indonesia menduduki peringkat-75 dari 135 negara dalam ranah riset dan teknologi. Sedangkan pada bidang pertanian yang seharusnya menjadi tumpuan pangan negeri hanya mencapai Rp. 76 triliun pada tahun ini.

Kebijakan akan subsidi bbm yang begitu besar seharusnya lebih dipertanyakan lagi. Kontribusinya yang sangat besar dalam anggaran menjadi beban yang begitu masif, terlebih bbm bukanlah barang publik melainkan lebih mengarah pada barang campuran karena adanya variasi lapisan masyarakat dalam memakai bbm. Masih banyak mobil pribadi mewah yang memakai bbm subsidi dan hal ini tidaklah tepat sasaran. Angkutan pelayanan publik memang seharusnya lebih diprioritaskan di dalam penggunaan subsidi bbm.

Namun, hal ini tidaklah lepas dari pola pemikiran masyarakat itu sendiri. Kendaraan pribadi semakin menjamur tiap tahun dan pelayanan publik yang seharusnya diprioritaskan malah dikesampingkan. Ini juga berefek dari pembangunan kota yang tidak ramah terhadap pelayanan fasilitas publik seperti area pejalan kaki, area pesepeda, area orang disabilitas dan lajur bus yang tidak tersedia. Terlebih, dewasa ini perkembangan kota hanya mengarah pada lajur car centered.

Kultur masyarakat dan pola pikir terhadap konsumsi kendaraan pribadi merupakan faktor utama. Jika halnya subsidi akan bbm dikurangi maka kemungkinan besar demo akan terjadi dan itu tidak hanya terjadi sekali saja. Bahkan, sebagian besar mahasiswa juga akan malah turun ke jalan padahal jika dipikir-pikir, kebijakan yang didemokan bukanlah sesuatu yang begitu esensial dibanding bidang-bidang lain.

Bisa dikatakan, peranan alokasi subsidi bbm akan mentok dan mutar-mutar begitu saja dan malah menciptakan efek domino terhadap berbagai bidang. Bbm yang awal mulanya tinggi dan disubsidi menjadi murah, maka konsumsi masyarakat terhadap kendaraan bermotor tiap tahun menjadi naik. Hal ini menyebabkan jalanan harus diperlebar, bahu jalan harus diperbaiki dan sebagian besar jalan akan cepat rusak dan perlu perbaikan khusus. Selain itu, fasilitas umum bagi pejalan kaki, pesepeda dan penyandang disabilitas akan tergusur.

Sudahlah kota yang dibangun tidak ramah terhadap fasilitas umum yang ramah lingkungan, malah akan kembali menjadi kota yang car centered. Selain itu, kerugian negara akibat subsidi akan meningkat, lalu perbaikan berbagai sektor transportasi akan menambah beban kembali. Jika saja bbm subsidinya dikurangi, maka masyarakat akan demo dan yah, begitu saja terus-menerus terulang.

Lalu, Apakah Subsidi Mi Instan Perlu?

Aku hanya bercanda. Namun, yah jika saja itu terjadi, aku akan senang sesaat lalu berpikir ulang kembali. Apakah negara kekurangan bahan pangan yang berkualitas dengan gizi tinggi sehingga mi instan perlu pula disubsidi? JIka iya, sudah benar-benar memprihatinkan. Negara yang kaya akan sumber daya alam, negara agraria walaupun APBN terhadap perkembangan pangan dan pertanian sedikit, malah kekurangan makanan pokok yang penuh akan gizi.

Semua ada sisi positif dan negatifnya. Memang jadi pemerintah serba pusing, tapi kata banyak orang, jadi orang pemerintah akan cepat kaya. Apalagi jika bisa pandai-pandai, bukan memang benar-benar pandai.

Thank you kalau gitu.

Sumber:

Buckley, et al., (2003). Subsidizing Public Input. Journal of Public Economics 87, 819–846.

Bowles, S & Sung-Ha Hwang. (2008). Social Preferences and Public Economics: Mechanism Design when Social References Depend on Incentives. Journal of Public Economics 92, 1811–1820.

Davis, J.S, et al., (1995). Income Tax Subsidies and Research and Development Spending in a Competitive Economy: an Experimental Study. The Journal of the American Taxation Association 17 (Supplement), 1–26.

Klenner, et al., (1999). Fiscal Policy and Growth: Evidence from OECD Countries. Journal of Public Economics 74, 171- 190.

S, Budiantoro. (2013). Subsidi dalam Penguatan Kebijakan Fiskal Pro Kemiskinan. Jurnal Prakarsa.

--

--