Sejarah

Perang Puputan dan Bunuh Diri Massal di Bali, Indonesia

Sri Ayuningsih
Komunitas Blogger M
5 min readJun 16, 2020

--

Cerita dimulai saat aku sedang duduk melamun di tengah Mata Pelajaran Sejarah, pasalnya bukan kali ini Bu Guru Sejarah berhasil membuat aku dan beberapa temanku yang lain mengantuk. Aku heran, sangat heran dengan orang-orang yang berhasil terjaga saat Pelajaran Sejarah di kelas.

https://id.wikipedia.org/wiki/Puputan
Sumber Gambar : Wikipedia

Well, rasanya mengulang masa lalu agak membosankan kan? Tapi Bu Guru Sejarah di kelasku adalah pejuang, ia persis seperti tokoh-tokoh yang sering ia ceritakan, gigih dan tidak mau menyerah saat dia tahu bahwa sebagian muridnya memilih menikmati kantuk dibandingkan dengan mendengarkan dirinya bercerita.

Kegigihannya adalah dengan melempar pertanyaan acak ke salah satu murid yang juga acak. Saking acaknya, aku heran saat diriku yang menjadi sasaran kegigihannya kali ini.

“Jadi siapa yang tahu arti dari Perang Puputan? Slamet tahu?” tanya Bu Guru padaku. Ini momen paling menjengkelkan, seluruh kelas akan memberi perhatian yang penuh pada murid yang ditanya oleh Bu Sejarah karena biasanya mereka tidak bisa menjawab pertanyaan dan berakhir dengan ditertawai oleh seisi kelas.

Tapi yang benar saja, aku Slamet, kata ibu aku lelaki Jawa Tulen, pastinya aku tahu arti dari Perang yang dimaksud oleh Bu Guru kan? Tapi agak aneh sih sebenarnya arti puputan yang aku tahu disandingkan dengan kata perang. Namun daripada aku jawab tidak tahu, mending aku jawab setahu diriku dong.

“Tahu bu, Perang Puputan itu Bayi. Biasanya bayi baru lahir kalau pusarnya mau dilepas harus puputan dulu.” Jawabku dengan percaya diri.

Seluruh kelas tertawa, Bu Sejarah ikut tertawa, sedangkan aku bingung.

Setahuku yang disebut puputan ya itu, upacara pemotongan tali pusar bayi. Biasanya untuk bayi yang baru lahir, itu adat yang selalu dilakukan oleh orang-orang desaku. Tapi sepertinya bukan kan? Aku sudah merasa sih, kata Perang di depan Puputan berarti artinya lain, bukan bayi, ini mungkin perang sesungguhnya.

Anehnya, setelah ditertawai, dan Bu Guru Sejarah mulai menulis tahun di papan tulis, aku mulai tertarik untuk menyimak sejarah perang yang dimaksud.

Kantukku hilang, bahkan Sebagian besar anak-anak kelas mulai memperhatikan Bu Sejarah, mungkin diantara mereka ada yang sama bingungnya denganku, tahu arti puputan sebagai adat jawa, namun tidak tahu arti puputan jika dibarengi dengan perang.

Bu Guru menulis Tahun 1906 di Bali sebagai awal cerita Perang Puputan, ia mengatakan bahwa di tahun itu, Bali dipimpin oleh raja-raja agung dan di tahun itu pula Belanda sedang berkuasa di Indonesia, Belanda menjajah Indonesia, termasuk Daerah Bali yang saat itu termasuk dalam Wilayah Indonesia.

Sejarah mencatat bahwa Perang Puputan pertama yang terjadi di Bali adalah saat 1.000 orang Kerajaan Badung melakukan bunuh diri massal, awalnya konflik terjadi karena tuduhan perampokan yang dilayangkan Kapal Cina terhadap rakyat Kerajaan Badung di Bali. Akibatnya Belanda menuntut ganti rugi uang kompensasi dengan jumlah yang banyak terhadap Raja Kerajaan Badung.

Raja menolak memberikan ganti rugi, menanggapi penolakan, Belanda menyiapkan pasukan untuk menyerang Kerajaan Badung sekitar Tanggal 20 September. Pihak Kerajaan Badung juga mempersiapkan diri untuk melakukan perlawanan. Namun siapa sangka bahwa perlawanan yang mereka lakukan adalah melakukan bunuh diri massal dengan cara saling tusuk-menusuk hingga 1.000 orang Kerajaan Badung diperkirakan tewas.

Peristiwa ini dikenal dengan nama Puputan. Dalam Bahasa Bali, puputan artinya mati atau habis, berasal dari kata puput.

Puputan berarti bertempur melawan musuh hingga titik darah penghabisan. Puputan biasanya dipimpin oleh seorang raja yang menyatakan akan melakukan puputan, maka semua rakyatnya, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak wajib ikut serta dalam perang tersebut. Selain Kerajaan Badung yang melakukan Perang Puputan, Kerajaan Klungkung di Bali juga melakukan Perang Puputan di Tahun 1908. Setelah itu Bali sepenuhnya jatuh ke tangan Belanda.

Ternyata Perang Puputan terjadi tidak hanya di Masa Penjajahan Belanda, pada Masa Perang Kemerdekaan, Perang Puputan kembali terjadi, dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai, perang ini diberi nama Puputan Margarana karena tempat kejadian perang tersebut di Daerah Margarana, Tababan, Bali. Ujar Bu Guru masih menjelaskan.

Aku merasa ada yang salah dengan diriku, tidak kusangka mendengarkan sejarah perang akan seseru dan semenegangkan ini. Arti kata puputan dalam Adat Jawa yang merupakan lepas tali pusar ternyata sangat jauh berbeda dengan arti puputan dalam Bahasa Bali yang berarti mati dan habis.

Bu Guru kembali menjelaskan, lebih detail mengenai Perang Puputan Margarana yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai,

Dimulai saat Perjanjian Linggarjati dilaksanakan. Perjanjian atau Perundingan Linggarjati ini merupakan persetujuan antara Belanda dan Indonesia mengenai status Kemerdekaan Indonesia. Hasil Perundingan Linggarjati disepakati di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani serta disahkan oleh kedua negara pada 25 Maret 1947.

Dalam Perjanjian Linggarjati, Bali tidak termasuk ke dalam Wilayah Indonesia. Secara de facto, Belanda hanya mengakui Wilayah Sumatera, Jawa dan Madura sebagai Wilayah Indonesia. Sehingga kala itu Belanda hendak menjadikan Bali sebagai Wilayah Indonesia Timur, Belanda masih ingin menguasai dan menancapkan kekuatan di Bali.

I Gusti Ngurah Rai yang saat itu merupakan Kolonel Kepala Divisi Sunda Kecil, sebelumnya diberi berbagai macam tawaran dari Belanda agar mendukung rencana Belanda menjadikan Bali sebagai Indonesia Timur.

Namun karena kecintaannya pada Indonesia membuat Ngurah Rai bertahan. Ia justru memerintahkan Pasukan Ciung Wanara untuk merampas persenjataan Polisi Nica (Nederlandsh Indie Civiele Administration) atau Polisi Belanda yang menduduki Kota Tabanan.

Dalam aksi tersebut berjalan mulus. Puluhan senjata berhasil dirampas, namun Tindakan itulah yang memicu kemarahan Belanda yang kemudian Menyusun strategi untuk melakukan penyerangan terhadap Pasukan Ciung Wanara.

Saat pasukan sedang melakukan longmarch ke Gunung Agung, tiba-tiba rentetan senjata beruntun dari Pasukan Belanda menyerang mereka. I Gusti Ngurah Rai dan pasukanya melakukan tembakan balik. Mereka tidak berusaha kabur atau bersembunyi saat rentetan peluru menembus tubuh mereka, mereka lebih memilih menjadikan perkebunan palawija menjadi saksi genosida manusia yang terjadi di Bali pada 20 November 1946.

Perang Puputan Margarana berakhir saat I Gusti Ngurah Rai dan seluruh pasukannya telah gugur.

Pada penghujung penjelasan Bu Guru tentang Perang Puputan, beliau menjelaskan bahwa Bali menjadikan Tanggal 20 November sebagai Hari Perang Puputan Margarana, untuk mengenang peristiwa tersebut, di Desa Margarana dibangun sebuah Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa, karena ada sekitar 96 pahlawan gugur pada perang tersebut.

Kesimpulan yang aku dapatkan setelah mendengar keseluruhan cerita yang disampaikan Bu Guru, pertama mengenang sejarah tidak semembosankan itu, ternyata ada pentingnya, aku dan mungkin kita semua bisa lebih menghargai jasa-jasa para pahlawan yang tengah berjuang melawan kekejian penjajah di masa kolonial maupun masa awal kemerdekaan.

Aku dan mungkin kita semua bisa lebih mencintai identitas diri kita sebagai anak bangsa Indonesia. Kemudian aku dan mungkin kita semua bisa menumbuhkan jiwa patriotism yang selalu digaungkan Guru Pendidikan Pancasila saat Pelajaran dimulai.

Published 17 Juni 2020

--

--

Sri Ayuningsih
Komunitas Blogger M

Enthusiastic in Historical, Reviewer and Article Writer