Pergulatan Manusia dan Binatang dalam Dirinya

Ulasan atas Novel “Harimau ! Harimau !” Karya Mochtar Lubis

Adi Chandra Wira Atmaja
Komunitas Blogger M
10 min readJul 5, 2024

--

(Sc : Dok. Pribadi)

Harimau ! Harimau ! pertama kali diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1975. Kemudian diterbitkan kembali pada tahun 1992 oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Melihat penghargaan yang diterima, serta respon oleh masyarakat penulis dan kritikus sastra Indonesia, novel yang ditulis dalam penjara ini dapat dianggap sebagai karya penting yang mewakili dinamika sosial politik pada masanya.

Novel pendek ini menceritakan petualangan singkat yang menjadi pelajaran seumur hidup. Pelajaran bagi Buyung, si tokoh utama. Juga pelajaran bagi para pembaca.

Sependek 214 halaman, pembaca diajak untuk mengalami pergulatan panjang yang melampaui batas halaman. Kontradiksi yang berlangsung sejak hadirnya manusia itu sendiri. Perdebatan antara manusia dan binatang dalam dirinya.

Tapi jangan keburu membayangkan narasi filosofis dengan renungan abstrak yang terlampau berat. Novel ini justru dibangun dengan penceritaan yang mengalir dengan begitu mudah. Kau bahkan bisa menamatkan buku ini tanpa perlu mengulik sejarah yang melatarbelakangi apapun dari ceritanya.

Narasi dibangun dengan polos. Sepolos bagaimana ketujuh pencari damar, warga desa biasa, diperkenalkan. Seringan memandang bentangan alam yang indah beserta marga satwanya yang hidup bertautan dari jauh. Sebelum perlahan-lahan, menggiring pembaca untuk memasuki lapisan-lapisan terdalam; dari hutan hijau yang asri, sampai belantara yang gelap dan mencekam. Dari para tokoh dengan pengalaman dan perangai yang menarik hati, sampai dosa yang dikubur dalam-dalam.

Tentu saja pola seperti ini bisa ditemukan pada banyak karya sastra. Tapi kenyataan bahwa pengalaman membaca novel ini memberikan kesan tersendiri bagi saya (dan bisa saja berbeda bagi pembaca lain), belum tentu ditemukan pada novel lainnya. Untuk itu, saya coba ceritakan ini dengan menguraikan interpretasi dan impresi yang saya rasakan selama membacanya.

Permainan Sudut Pandang

Saya sangat menikmati bagaimana cerita ini mengalir dengan permainan sudut pandang yang rapi; antara sudut pandang orang ketiga, kacamata personal Buyung yang cukup mengambil banyak porsi, dan sesekali mengambil sudut pandang dari tokoh pendukung lainnya. Terkadang saya harus mundur ke halaman sebelumnya untuk memastikan sejak kapan sudut pandang ini berubah. Bukan karena terganggu, tapi karena perpindahannya yang halus.

Novel ini dimulai dengan common sense; wacana umum, pandangan yang lumrah, kewajaran. Dalam pengertian yang serupa dengan Vico, sebagai “Penilaian tanpa refleksi yang dianut oleh seluruh kelas.”[1] Atau mungkin juga serupa dengan Rosenfeld, sebagai “kemampuan biasa untuk menjauhkan diri kita agar tidak berkenaan dengan kontradiksi yang kotor, ketidakberesan yang nyata, atau kedok penipuan yang terbuka.”[2]

Mulai dari bab pertama, kita akan diperkenalkan oleh lanskap; hutan raya yang membentang, gunung-gunung yang menjulang, hingga lepas pada pantai, menuju ke samudera. Setelah menarasikan hamparan hutan beserta vegetasi dan berbagai makhluk yang bernafas dalam rimba, kita akan sedikit mengenali berbagai sumber nafkah manusia di dalamnya, sebelum akhirnya bertemu dengan ketujuh tokoh yang sedang mencari penghidupan di hutan raya.

Tidak ada yang mengejutkan dari ketujuh orang itu. Hanya tujuh orang biasa yang sedang mencari nafkah, seperti biasanya, di dalam hutan raya. Mereka adalah tiga orang tua dengan segudang pengalaman dan perangai yang berbeda-beda, tiga orang muda yang sudah berkeluarga (juga punya sifat dan sikap yang unik), dan satu remaja yang polos, penuh tanya dan panas sekaligus. Menukil sedikit bagian dari bab pertama, beginilah mereka dalam common sense itu :

“Mereka orang-orang wajar seperti sebagian terbesar orang di kampung. Mereka baik dalam pergaulan, pergi sembahyang ke mesjid, duduk mengobrol di kedai kopi seperti orang lain, mereka ikut bekerja bersama-sama ketika ada orang yang membangun rumah……….”(Hal. 6)

“Mereka adalah manusia biasa.” (Hal. 6)

Pembukaan yang sempat mengecoh, yang mungkin sengaja dibuat untuk mengecoh, atau mungkin memang demikianlah common sense itu. Mengecoh dan jadi alat pengecoh. Maksud saya, masalah apa yang tega ditimpakan sama orang biasa seperti ini?

Dari pandangan umum yang jauh, kita diantar untuk lebih mengenali ketujuh tokoh dengan lebih dekat. Sudut pandang Buyung mengambil porsi yang cukup banyak di sini, sisanya dikenalkan dari sudut pandang orang ketiga; Pak Haji yang semasa mudanya gemar berpetualang, telah singgah di puluhan negara, namun terkesan rendah hati dan menghindari sorotan, apalagi dipercayakan untuk memimpin apapun.

Wak Katok yang disegani orang sekampung karena kepintarannya sebagai dukun, pemburu, dan ahli bela diri. Pak Balam yang pendiam dan pesimis, tapi disegani karena pernah terlibat dalam pemberontakan tahun 1926. Begitu seterusnya dengan tokoh-tokoh yang lebih muda; Sutan, Talib, Sanib, dan Buyung sendiri.

Melalui kacamata buyung yang penuh kekaguman, segan, dan terkadang iri terhadap keenam orang-orang dewasa dengan kelebihannya itu, kita mengenal bagaimana mereka bahu-membahu sebagai kelompok; habiskan berhari-hari dalam hutan mengumpulkan damar, berburu rusa kalau sempat, mendengar pengalaman Pak Haji sambil mengelilingi api unggun, guyonan Sanip, dan nyanyian penutup malam mereka.

Kepolosan Buyung dalam memandang berbagai hal, kawan-kawan maupun dunia sekitarnya, menjadi penguat empati pembaca atas harmoni dan kesederhanaan mereka sebagai kelompok. Kebahagiaan kecil, rasa syukur atas hal sederhana, dan magisnya alam pikir masyarakat pedesaan yang perkaya warna dari dunia mereka.

Permainan sudut pandang ini kemudian menjadi lebih menarik, ketika sedikit demi sedikit common sense itu digugurkan.

Dekonstruksi atas Common Sense

Common sense yang mulanya mengalir mengantar pembaca kemudian dikupas satu persatu. Melalui obrolan-obrolan kecil dan pandangan personal dari masing-masing tokoh, yang silih berganti diceritakan dengan rapi.

Pelan-pelan kita tahu bagaimana Buyung, meskipun begitu rajin dalam bekerja dan ibadahnya, mempunyai obsesi terhadap Zaitun. Meskipun pada dasarnya ia benar menyayangi Zaitun dan berniat untuk menikahinya, namun rasa tidak percaya diri memupuk niat untuk memikat Zaitun melalui guna-guna dari Wak Katok. Sutan yang sudah beristri, mulai menunjukkan dirinya yang gila perempuan. Ketujuh orang biasa yang hangat dan akrab, serta dunianya yang harmonis dan asri, perlahan diperhadapkan dengan berbagai kontradiksi yang bersumber dari dalam diri setiap tokoh.

Tahap ini memuncak ketika teror dari Harimau — atau nenek dalam sebutan lokalnya — dimulai dalam perjalanan pulang mereka. Common sense kini diuji kebenarannya ketika setiap dari mereka dihantui oleh maut.

Ketika Pak Balam, korban pertama dari sang nenek sekarat dan mengakui semua dosa-dosanya, nama Wak Katok ikut terseret. Gugurkan citranya sebagai orang terpandang selama ini.

Dunia yang agung di mata polos Buyung perlahan berubah jadi pergulatan antara ego dan kepentingan bersama, dunia kecil yang penuh dengan kemunafikan, hingga manipulasi demi nama baik, keselamatan pribadi, dan langgengnya kekuasaan.

Keenam dari mereka yang bertahan semakin dibuat tegang oleh pesan dari Pak Balam; bahwa Harimau itu datang untuk menebus dosa mereka, dan tidak ada jalan lain selain mengakui semua dosa itu.

“Jangankan membukanya kepada orang lain, kepada diri sendiri pun, masing-masing enggan dan tak hendak mengakuinya. Karena orang yang mencoba membuka kebenaran dibenci dan dimusuhi oleh mereka yang bersalah dan berdosa.”(Hal.104)

Setelah peristiwa itu, tidak ada lagi tujuh pendamar biasa, tidak ada lagi common sense yang selama ini cerminkan wajah dari mereka. Satu per satu ditelanjangi sebagai manusia, seperti halnya manusia lainnya, penguasa maupun orang biasa. Telanjangi setiap tokoh, telanjangi pembaca.

Kebenaran dan Pembenaran

Ketika common sense dibongkar dengan menyingkap kedalaman setiap tokoh, kita dapat melihat bagaimana kebenaran umum, yang dipercaya tanpa refleksi terlebih dahulu, dengan begitu mudahnya dimanfaatkan.

Terpandangnya Wak Katok misalnya, tidak terlepas dari keterlibatannya dalam pemberontakan melawan Belanda bersama Pak Balam. Meskipun dalam praktiknya ia juga memerkosa dan merampok disela-sela masa darurat, tapi kebenaran itu menjadi tidak penting bahkan sulit dipercaya setelah menerima kebenaran umum; bahwa pejuang kemerdekaan adalah pejuang kemerdekaan.

Selama masa peperangan ia dipandang sebagai orang yang berani dan kejam karena tidak pandang bulu dalam menghabisi musuh, meskipun sejatinya, ia selalu pandai berlindung dan memanfaatkan situasi ketika ancaman telah hilang.

Nyatanya selalu ada yang berada paling depan ketika menghadapi masalah, dan ia tahu betul bagaimana membuat dirinya mendapatkan lebih banyak sorotan sebagai pemberani, meskipun hanya berlindung di belakang. Wak Katok adalah pemimpin tersohor, yang hampir tidak berjuang untuk apapun, selain memperkuat citra dirinya.

Kepandaian yang sama membuat ia dipandang sebagai orang sakti, dukun yang hebat, ahli bela diri, tabib yang cerdas, bahkan pemimpin yang pantas. Pandangan yang juga bersandar pada standard etik dan moralitas yang berlaku ditengah masyarakat umum, standard yang seringkali menjadi dasar dari common sense pula.

Kebenaran yang mudah diterima tanpa pikir panjang, kebenaran umum yang selalu menjadi acuan masyarakat, dengan mudahnya dimanfaatkan sebagai justifikasi untuk pelanggengan kekuasaan bahkan pembodohan yang terus dirawat.

Bahkan ketika mereka dipaksa untuk menukar aib demi selamat dari maut, mereka lebih memilih untuk menciptakan pembenaran lainnya; dengan meminta Wak Katok untuk memastikan bahwa serangan Harimau ini tidak ada kaitannya dengan penebusan dosa. Berharap maut dapat ditunda dengan bersandar pada justifikasi yang mereka buat sendiri, untuk mengusir rasa takut dan terhindar dari citra yang rusak.

Dari kebenaran, menjadi pembenaran.

Melawan Kezaliman di Luar Diri, atau Mengurus Kezaliman Diri Sendiri ?

Sikap terhadap kezaliman menjadi renungan yang cukup tampak ditengah banyaknya perenungan yang hadir dalam cerita. Namun sejak cerita mulai mendekonstruksi common sense mengenai setiap tokoh, timbul kesan seakan cerita ini hendak menyampaikan pandangan semacam; mending kau urus saja dirimu sendiri, sebab tidak ada yang sempurna.

Pertanyaan ini pertama kali nampak dengan jelas seusai Buyung berhubungan badan dengan Siti Rubiyah, dan berjanji pada perempuan itu untuk menyelamatkan dia dari suaminya yang zalim. Menegaskan bagaimana dorongan empati, dapat membawa masalah pada diri sendiri.

“Mengapa hasratnya hendak menolong seorang yang ditimpa kezaliman dapat membawanya ke dalam kesusahan? Dia tidak mengerti mengapa terjadi seperti ini. Disangkanya orang yang berbuat perbuatan ksatria akan berbahagia terus.”(Hal.77)

Kesan itu kemudian terus diperkuat oleh rangkaian peristiwa yang membuka tabir setiap tokoh dengan terpaksa. Memaksa pembaca untuk menghakimi manusia, yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Runtuhkan konstruksi kebenaran yang dibangun sejak lama; kebenaran bahwa kezaliman harus dilawan, yang digugurkan dengan kebenaran bahwa kita adalah kezaliman itu sendiri.

Bagi pembaca yang mengenal kiprah penulis, kesan ini akan terasa jauh lebih kuat. Kritik bernada sinisnya terhadap manusia Indonesia pernah disampaikan dengan frontal oleh Mochtar Lubis, dalam pidatonya di Taman Ismail Marzuki pada 6 April, 1977.

Pidato yang dibukukan dengan tajuk “Manusia Indonesia” itu menguraikan apa yang ia anggap sebagai enam sifat khas dari manusia Indonesia, di mana “munafik” menjadi poin nomor satu, disusul oleh enggan bertanggung jawab, feodal, takhayul, dan seterusnya. Sifat yang dengan jelas diperkenalkan dengan hangat, sebelum di bongkar perlahan-lahan dalam buku ini.

Tapi renungan tidak berhenti di situ. Cerita belum usai.

Tokoh yang mengakhiri pertanyaan ini adalah Pak Haji Rakhmad. Meskipun pada dasarnya, dia tidak kalah buruk dibanding yang lain. Tapi titik balik perenungan dimulai oleh Pak Haji itu sendiri. Ketika segala persepsi mengarah pada arus pesimistik, tokoh ini memutus pertanyaan tanpa akhir yang terus memenjarakan Buyung, pada nafas terakhirnya.

“…. akulah yang paling berdosa. Akulah yang paling tua, akan tetapi hati dan pikiranku buta. Aku terlalu sombong dan angkuh … aku menghendaki manusia sempurna, sedang manusia hanya dapat dibina dengan mencinta, dan bukan dengan membenci.”(Hal.199)

Pak Haji Rakhmad adalah tokoh yang paling tua dan berpengalaman di antara mereka. Setelah puluhan tahun menjalani hidup dari negara satu ke negara lain, menyaksikan bagaimana manusia dari benua satu dan lainnya menyikapi sesama, ia memilih pulang dengan kesadaran bahwa tiada satupun manusia yang dapat dipercaya. Tidak ada yang lebih benar dibanding mengurus diri sendiri, dan menghindari urusan orang lain.

Ia telah lama mengetahui bagaimana Wak Katok hanyalah memanfaatkan keluguan masyarakat demi status dan kekuasaannya. Tapi seperti apa yang dikatakan oleh pengalaman puluhan tahun itu; bahwa kau tidak perlu mengurusi orang lain. Ia menarik diri, menyatu dengan masyarakat yang terlanjur bobrok. Berperan sebagai agamawan hanya untuk diterima oleh masyarakat. Menjual segala pelajaran hidupnya pada kenaifan, demi hidup yang tentram.

Pak Haji adalah tokoh dengan segudang kemampuan untuk memperbaiki desanya sendiri, tapi memilih untuk menjauh dari semua peluang itu, menolak untuk percaya bahwa menolong sesama tanpa pamrih adalah sesuatu yang mungkin. Menjadi tokoh yang memuncaki renungan pesimistik, sekaligus mengakhiri lingkaran setan itu sendiri. Dengan menegaskan bahwa kezaliman harus terus dilawan, dengan terlebih dahulu melawan binatang dalam diri.

“…. ingatlah, hidup orang lain adalah hidup kalian juga. Sebelum kalian membunuh harimau yang buas itu, bunuhlah lebih dahulu harimau dalam hatimu sendiri.” (Hal.199)

Kritik Simbolik atas Kekuasaan Orde Lama

Melalui permainan sudut pandang yang apik, pembaca diajak untuk mengalami petualangan batin dari setiap tokoh. Bagaimana setiap dari mereka dipaksa untuk memilih maut atau membuka aibnya sendiri. Bagaimana mereka terus menawar maut dengan menciptakan berbagai pembenaran, demi menutup aib mereka. Dan berpucuk pada bagaimana kekuasaan yang semu — meskipun jelas bahwa kekuasaan itu hanyalah omong kosong belaka — dijadikan sebagai alat untuk mengamankan diri mereka masing-masing.

Wak Katok adalah tokoh yang secara tidak langsung menjadi pemimpin, hanya karena mempunyai karisma yang tidak dipertanyakan sama sekali kebenarannya. Saking kuatnya karisma itu, mempertanyakan adalah sesuatu yang tidak mungkin terpikirkan oleh para tokoh yang lebih muda; Buyung, Sanip, Sutan, dan Talib. Sementara itu, Pak Haji Rakhmad dan Pak Balam, sebagai dua orang tua justru memilih untuk naif dan menyimpan gelisahnya sendiri demi ketentraman hidup.

Pengalaman hidup yang panjang justru membuat mereka menarik diri dari kezaliman yang jelas di depan mata. Sikap yang tidak jauh beda pun diambil oleh mereka yang lebih muda, memilih untuk koperatif pada kekuasaan, dan sama sekali tidak mempertanyakannya demi menyelamatkan kepentingan pribadi mereka.

Kritik ini terutama berkaitan erat dengan era demokrasi terpimpin. Dalam catatan subversif (1980), Mochar Lubis mengutarakan kritik kerasnya terhadap demokrasi terpimpin yang digagas oleh Presiden Soekarno. Juga cukup dekat dengan dukungannya atas gagasan Mohammad Hatta mengenai perlunya sosok pemimpin yang muncul dari bawah, melalui proses kaderisasi yang baik, sehingga pemimpin dapat bertanggung jawab untuk dirinya sendiri dan kepada rakyat kebanyakan. Menurut Lubis, demokrasi yang sejati baru dapat dilahirkan dengan konsep demikian (Lubis, 1980).

Petualangan ketujuh pendamar, serta pergolakan batin dari setiapnya, berkali-kali menyoroti hipokrisi dan penyalahgunaan kekuasaan. Kekuasaan yang dibangun dengan karisma yang rentan, perlawanan atas kezaliman yang dirusak oleh kebinatangan dalam diri, hingga orang-orang hebat yang memilih diam demi ketentraman hidup, menyiratkan kritik atas kondisi sosial politik pada masanya.

Merangkum Kesan

Novel ini adalah penjelajahan atas kedalaman manusia dan pergulatan batinnya. Refleksi kritis atas manusia dan sikap sesamanya sebagai masyarakat, dengan menyoroti kebenaran umum dan kontradiksi yang bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri. Cerminan atas pergolakan sosial politik dan alam pikir masyarakat pada zamannya, yang masih terasa relevan sampai hari ini.

Pengalaman membaca novel ini adalah pengalaman reflektif yang mengajak pembaca untuk melihat ke dalam diri, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sesamanya.

[1] Giambattista Vico, The New Science (Yale University Press, 2020)

[2] Sophia Rosenfeld, Common Sense: A Political History (Harvard University Press, 2011)

--

--

Adi Chandra Wira Atmaja
Komunitas Blogger M

Akun ini saya buat untuk mengarsipkan ingatan, impresi dan pandangan subjektif saya atas berbagai hal; sosial, politik, budaya, seni, lokalitas.