Perjalanan Menyembuhkan “Dia” — Inner Child yang Terluka

Maremia Azani
Komunitas Blogger M
5 min readSep 25, 2023
Source: Private Collection

“Be like dandelion. Whenever they fall, they start again.“— Random Internet Quotes

Aku duduk membahas sesuatu dengan kepalaku sambil menunggu jam makan siang. Pekerjaan sudah selesai lebih awal. Dan aku ingin segera berayun menuju ruang makan. Tapi sungkan.

Sebelumnya, aku ke kantor naik kenderaan umum dan sedikit jalan kaki. Aku selalu suka sighseeing, sebuah istilah dalam bahasa Inggris yang artinya melihat-lihat pemandangan kota.

Mereka tidak tahu, aku tersenyum di balik masker ini. Aku bahagia. Ya! Aku tahu bahagia itu sementara. Bahagia itu diciptakan. Bahagia itu sebuah situasi bukan posisi. Tapi, kalau ditanya jauh ke dalam hatiku. Mungkin perasaan ini bisa disebut momen perayaan. Sebuah harmoni dari gabungan antara rasa syukur, rasa terima kasih, rasa cukup, rasa senang, rasa suka, rasa bahagia. Sebuah perasaan yang membuatmu berpikir, “Sepertinya apapun situasinya aku akan tetap baik-baik saja.”

Seperti dalam surah Al-Baqarah: 185: “… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”

Bahkan Tuhan-pun tidak menginginkanku hidup sulit. Lalu kenapa aku mempersulit diri?

Ada yang disebut-sebut sebagai “inner child yang terluka”. Sebuah perumpamaan yang digunakan untuk menjelaskan tentang sifat orang dewasa yang masih terjebak dalam jiwa anak kecil yang sakit-sakitan. Dan kebanyakan dari kita tidak menyadarinya sama sekali.

Aku keras karena sedang melindungi diri dari banyak hal yang diantisipasi.

Aku egois karena haus untuk didengar dan menjadi bebas.

Aku dingin karena bermusuhan dengan masyarakat adalah bentuk pemberontakan.

Sifat ini sudah menjadi temanku selama tujuh tahun lebih. Menemani hari-hari berkata pada diri sendiri, aku selalu bisa sendiri. Dan 3 tahun terakhir aku kehabisan energi. Merasa lelah dan berserah. Tuhan aku menyerah.

Aku tidak ingin lagi keras seperti batu yang mengira dirinya kuat. Aku ingin lentur seperti karet karena ia sebetulnya tangguh.

Batu itu keras. Tapi dia mudah retak dan hancur jika kena hantaman.

Karet itu lentur. Dijadikan apapun, bentuknya tidak akan berubah.

Karena merasa ada yang salah dengan diri sendiri. Akhirnya aku memutuskan untuk menuntun diri ini lagi ke jalan yang benar. Perjalanan yang membuatku sadar tentang konsep Tuhan yang sebelumnya tidak aku sadari.

Bagaimana Awalnya?

Saat itu aku jatuh cinta, tapi jauh dalam hatiku ada perasaan untuk tidak perlu melanjutkan perasaan ini. Karena aku masih rusak.

Aku ingin jujur, tapi tidak perlu. Karena jauh di dalam hatiku seperti ada suara yang mengatakan, proses ini adalah pembelajaran bukan percintaan.

Anehnya hal-hal disekitarku juga mendukung. Kesulitan menemukan cara dan waktu untuk jujur dengan perasaan ini. Berhasil mencegahku untuk tidak mengungkapkannya. Sampai akhirnya aku menerima jawaban itu di tanganku sendiri — tanpa perlu bertanya dengan y.b.s.

Meskipun aku patah hati. Tapi aku teramat bersyukur. Karena ada suara dalam diriku yang mengatakan:

“Sampai kamu berhasil berbenah dengan dirimu sendiri. Sampai nanti hati dan jiwamu sudah cukup baik. Aku akan memberikan apa yang kamu butuhkan. Tapi kali ini tidak. Karena aku tidak mau -tanpa kamu sadari-, kamu justru merusak jiwa orang lain dengan sifat burukmu yang bahkan kamu pikir tidak buruk.”

Suara itu menusuk tajam. Seolah-olah menjelaskan bahwa banyak hal dalam diriku yang perlu diperbaiki. Aku mengerti sekarang. Segala jenis kebingungan, kebetulan, dan obrolan itu hanya menuju satu titik. Membuatku sadar siapa diriku sebenarnya.

Bagaimana Mengatasinya?

Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. — Pepatah lama

Aku menghabiskan banyak waktu bermonolog. Pada saat itu, melanjutkan hidup apa adanya adalah prinsip hidup yang paling aku hindari. Namun beberapa tahun belakang prinsip ini pula yang membantuku memberikan jawaban.

Terima kasih, kita dikelilingi oleh informasi GRATIS di internet. Kalau bisa bijak menggunakannya kita akan mendapat manfaat. Kebetulan, saat itu sedang trend pembahasan soal inner child di sosial media. Right moment, right time. Sedang trend dan aku sedang butuh.

Tanpa berlama-lama, aku memutuskan untuk menerapkan metode tersebut. Lebih spesifik lagi, aku menggunakan cara yang diajarkan Analisa Widyaningrum.

Cukup siapkan selembar foto masa kecil. Tatap dengan penuh perasaan. Bayangkan kalau kamu kembali pada masa itu. Kamu mau ngobrol apa dengan “dia”? Atau apa yang akan “dia” sampaikan ke kamu?

Entah bagaimana ceritanya, menurutku satu proses itu sudah cukup untuk menyadarkan betapa rusak mental ini karena aku selalu memaksakan diri. Tidak sadar kalau anak kecil dalam diriku meronta-ronta ingin di sayang. Dia mau aku ingin menjadi manusia yang jujur dan tulus. Tanpa sadar, aku menangis. Teramat deras dan sakit. Sudah lama sekali. Aku tidak menangis seperti itu. — Mungkin terakhir kali menangis seperti itu saat umur 7 tahun.

Begitulah seharusnya manusia yang selalu menggandeng anak kecil dalam dirinya. Ia akan diingatkan untuk menjadi sosok yang jujur, tulus dan berperasaan. Selayaknya anak kecil.

Bagaimana Sembuhnya?

Seperti dalam surah Al-Fatihah: 1 & 2. “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.” Al-Qaf: 16 “…Bahwa Tuhan lebih dekat dari urat leher kita.” Lalu dalam Ali-Imran: 173, “…Bahwa Tuhan adalah sebaik-sebaiknya penolong.”

Ayat-ayat tersebut adalah reminder. Prosa Tuhan yang mengingatkanku untuk selalu kembali pada-Nya, pada hidup itu sendiri dan pada diriku. Mengingatkanku bahwa Tuhan itu dekat, kasih sayang-Nya tidak terbatas dan cuma Dia yang bisa membantuku.

Apa yang aku baca di dalam Al-Qur’an mengingatkanku untuk selalu mengulang kembali momen itu. Aku sembuh dengan mengingat dan mengulang.

Repentance (pengulangan) adalah cara yang kugunakan untuk tetap konsisten menjadi manusia. Seseorang yang jujur dengan perasaan, pikiran, isi hati, dan bahkan apa yang dia inginkan.

Aku mengulang-ulang kembali momen dimana seolah aku merasakan kehadiran-Nya di dalam diriku. Merinding yang konsisten dan air mata yang tidak kunjung berhenti.

Seolah-olah anak kecil dalam diriku berkata:

“Aku sudah memaafkanmu. Bahkan jauh sebelum kamu meminta maaf. Dan jangan kurung aku lagi di dalam kotak hitam hatimu. Jangan menyiksaku lagi. Jangan jadikan aku kambing hitam lagi atas segala kebencian dan perilaku buruk manusia terhadapmu.”

Ketika aku paham bahwa hal-hal yang bersinggungan dengan isu mentalitas juga ada di dalam Qur’an, aku pun menjadi jauh lebih tenang. Bahkan apa yang aku pikir bukan sebuah ujian, ternyata Tuhan sampaikan dalam Al-Baqarah: 155, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan…”

If all these day you think God hates you, maybe you’re wrong. He only trial you by giving less of self love. With hope, someday you will find a better way for loving your self. So, you could teach and inspires others.

Jadilah seperti Dandelion. Dimanapun mereka jatuh, mereka akan tumbuh lagi.

--

--