Perlukah Anak-Anak Tahu tentang Konflik Palestina-Israel?

Dyah Laras
Komunitas Blogger M
8 min readNov 7, 2023
free palestine
Unsplash — protes Free Palestina

Penting nggak sih, anak-anak kita tahu tentang konflik Palestina-Israel? Menurut saya perlu. Ada banyak alasan mengapa orang tua harus membekali dan menyiapkan diri untuk menjelaskan pada anak-anak tentang apa yang terjadi di dunia.

Siapa yang nggak remuk hatinya melihat berita, video, dan narasi-narasi yang berkembang seputar perang Palestina-Israel yang terus mengalami eskalasi beberapa minggu ini? Setiap hari, potongan video, foto, dan berita tentang perang ini makin membuat sedih, karena kita tidak bisa berbuat apa-apa, selain menyumbangkan donasi dan doa (sebenarnya ada satu lagi — dengan terus menyuarakan kebenaran dan kemanusiaan di media sosial!).

Sayangnya, bukan hanya orang dewasa yang mendapat informasi masif ini. Di era digital dan teknologi ini, anak-anak kemungkinan besar sudah melihat berita dan mendapat cerita tentang konflik ini dari TV, media sosial, atau temannya, dan orang tua harus siap menjawab pertanyaan atau menjernihkan pemahaman jika mereka punya kesalahpahaman.

Anak saya contohnya. Pagi ini, saya iseng menanyakan anak 8 tahun saya mengenai konflik yang terjadi antara Palestina-Israel. Surprisingly, dia bilang sudah tahu tentang ini. Yang lebih mengagetkan, anak saya mendengar seseorang menarasikan dari shorts di YouTube (yang suggestion-nya muncul begitu saja saat dia menonton) bahwa Israel menyerang Palestina karena mereka menyerang duluan. Menurutnya, Palestina “nakal” karena menyerang anak-anak tak berdosa di Israel.

Saya akui saya cukup shock mendengar ini dan merasa bersalah karena tidak mengajaknya berdiskusi sejak awal. Padahal, saya merasa penting untuk mengenalkan anak apa yang terjadi — di Indonesia maupun dunia — dan saya merasa kecolongan kali ini.

Saya takut, mengingat dia bisa saja mendapat informasi yang menyesatkan dari mana saja saat ini. Jika Anda juga mengalami hal ini, terutama jika anak Anda tergolong kritis dan punya akses informasi yang luas — media sosial, grup chat teman sebaya, dan lainnya, tempat di mana segala informasi, termasuk yang disinformasi berkembang biak, Anda wajib waspada.

Meski perang merupakan konsep yang mungkin agak sulit dimengerti oleh anak-anak, tapi ada urgensi khusus buat saya untuk menjelaskan sejarah dan fakta, karena faktor-faktor di atas.

Apa Urgensinya Anak-Anak Tahu tentang Perang dan Konflik di Dunia?

palestine vs israel
Unsplash — anak-anak bermain bersama

Berita serangan Hamas maupun pihak Israel ke masing-masing pihak akhir-akhir ini cukup mendominasi tayangan di mana pun, mulai dari berita di TV, media sosial TikTok, YouTube, Instagram, bahkan di grup-grup chat anak-anak saat ini.

Gambaran media yang mengerikan mengenai kehancuran dan kematian, dengan banyaknya anak-anak yang terkena dampak kondisi perang saat ini di Gaza, tentu hal yang menarik perhatian dan mengusik perasaan kita semua, tak terkecuali anak-anak.

Ini sebabnya, sebagai orang tua, kita sebaiknya bersikap proaktif, karena anak-anak zaman sekarang mudah terekspos melalui media atau informasi dari teman.

Apalagi kalau anak punya rasa ingin tahu yang cukup besar, seperti anak saya misalnya, yang baru saja mengaku, sejak dia mendengar berita ini, dia sering “ngobrolin” dengan teman-temannya.

Ini hal yang urgen buat saya. Untung saja pagi ini saya menanyakan apakah dia pernah mendengar tentang konflik tersebut, karena dari sini saya benar-benar disadarkan bahwa jangan pernah underestimate pada anak-anak. Menganggap mereka masih kecil, tidak peduli, dan tidak ada kaitannya dengan konflik yang jauh di luar sana adalah mengerdilkan kemampuan anak.

Padahal, mereka makhluk dengan perasaan dan moralitasnya sendiri, yang punya rasa ingin tahu tinggi, dan bisa saja salah paham atau tersesat dengan banyaknya narasi di luar sana.

Jangan kira karena anak tidak bertanya, itu berarti anak tidak tahu dan tidak peduli dengan apa yang terjadi di luar sana. Bisa saja mereka hanya merasa sudah mendapat informasi cukup dari TV, HP, atau teman sebaya. Atau, malah kita sebagai orang tua, tidak dianggap sebagai orang yang “tepat dan tepercaya” untuk menjelaskan pada anak tentang hal ini.

Kalau ada kesalahpahaman pada anak dan tidak ada yang meluruskan, ini yang bahaya. Lebih parah lagi, kalau orang tua tidak tahu sudah sejauh apa kesalahpahaman pada anak dan tidak pernah mengajaknya berdiskusi serta melatih critical thinking-nya, entah ke mana moral compass anak akan berkiblat.

Menjadi proaktif dengan mengajak bicara anak juga memberi kita kesempatan untuk membantu anak menghadapi gambaran atau cerita menakutkan apa pun yang dilihatnya, baik secara langsung melalui media — baik itu melihatnya di TV, media sosial, yang kita tahu sering kali menjadi tempat di mana anak-anak terpapar konten-konten yang meresahkan.

Mulai mengajak anak diskusi dengan isu-isu terkini, tentu sesuai usianya, perlahan menumbuhkan kepercayaan anak pada kita, sebagai orang yang akan dipilihnya untuk bertanya dan mencari tahu, alih-alih sumber lain.

Bagaimana Caranya?

pray for palestine
Unsplash — ibu dan anak membaca

Melihat anak-anak tumbuh di masa perang, termasuk Rusia-Ukraina yang juga baru-baru ini terjadi, bisa saja membuat anak merasa takut atau terancam juga meski terjadi jauh di benua lain sana. Membicarakan konflik maupun perang pada anak memang topik yang berat dan sangat sulit.

Bicaralah dengan anak-anak tentang konflik Palestina-Israel dengan cara yang sesuai dengan usia mereka.

Sebenarnya banyak yang menganggap menjelaskan tentang konflik dan perang terlalu berlebihan untuk bisa dipahami oleh perkembangan anak-anak. Tapi dengan kasus saya, di mana anak saya sudah terpapar informasi (walau tidak sengaja) dan malah mencari tahu, ini adalah hal urgen untuk ditindaklanjuti.

Lalu, bagaimana caranya menjelaskan hal ini pada mereka? Ini yang saya lakukan.

1. Bekali Diri dengan Informasi

Setelah mendapat jawaban anak tadi pagi, saya bertekad memberikan gambaran yang sehat dan berimbang pada anak saya. Namun saya nggak mau melakukan itu dengan tangan kosong. Jadi, saya membekali diri dengan sebanyak mungkin informasi tentang kondisi Palestina-Israel.

Saya baca lagi sejarahnya, saya urutkan timeline konflik dari berbagai sumber, dan mencoba hanya memfokuskan pembicaraan pada peta dan konteks sejarah, meski rumit. Tujuannya ya, supaya anak saya punya gambaran dari apa yang terjadi.

Saya memulainya dengan membuka peta dan menunjukkan area konflik, lalu mulai berdiskusi.

2. Sebisa Mungkin Tidak Melibatkan Emosi

Anak adalah peniru ulung. Orang tua bagi sebagian anak adalah influencer utamanya. Anak bicara dengan gaya yang sama yang diperlihatkan orang tuanya. Anak merespon dengan cara yang mirip dengan cara orang tuanya merespon lingkungan atau orang-orang di sekitarnya. Ini sebabnya, anak adalah sasaran mudah untuk di-brainstorming oleh orang dewasa.

Namun tentu bukan itu goal saya. Justru saya ingin seberimbang mungkin memberikan informasi (meski sulit, karena sejarah jelas mencatat konflik, perang, dan perjanjian apa saja yang terjadi di antara Palestina-Israel).

Tantangannya, ini adalah hal yang sangat sensitif dengan faktor politik dan agama yang berperan. Tapi saya mencoba berpikir jernih. Sebab, saya pikir anak saya lebih membutuhkan konteks dibandingkan opini atau pilihan politik saya.

Saat duduk bersamanya, saya buat tulisan di kertas sebagai gambaran sejarah dan apa yang terjadi dengan suara senetral mungkin, dari berbagai sumber yang saya pilih dengan sekredibel mungkin.

Saya hanya mencoba mendorong anak saya untuk berpikir kritis terhadap hal-hal yang mereka lihat dan dengar, namun tidak ingin menggurui dan terkesan mengarahkan.

Saya sampaikan pada anak saya bahwa informasi yang salah bisa saja saat ini membanjiri media sosial dan seluruh internet, apalagi di zaman buzzer seperti sekarang. Jadi, penting bagi anak untuk tidak selalu percaya dengan apa yang mereka lihat dan baca.

Pada anak sulung saya yang lebih besar dan turut serta dalam pembicaraan ini, karena dia memiliki akses ke internet, saya mencoba mendorongnya untuk bersikap skeptis terhadap video yang dibagikan di media sosial dan menawarkan bantuan untuk mengevaluasi sumber berita. Meski sulit, anak perlu belajar memilah mana yang asli dan mana yang hoax.

Penting untuk membantu anak memahami apa yang terjadi dan hanya menyajikan fakta, namun juga tidak perlu terlalu detail.

3. Tidak Semua Anak Dapat Mencerna Topik Sulit

Anak-anak saya, bahkan ketika masih sangat kecil sekalipun, saya kira dapat mencerna topik yang kompleks. Namun saran saya, sebagai orang tua, Anda bisa memilah sendiri mana yang perlu dan tidak perlu dibicarakan, sebab Anda yang paling mengenal anak Anda. Pasalnya, tidak semua anak bisa diajak berdiskusi topik berat.

Tapi kalau untuk menjelaskan sejarah, dan ini konteks yang sangat penting, saya pikir setiap orang tua tidak perlu segan-segan menjelaskan hal ini pada anak-anaknya.

Mencoba menjelaskan suatu permasalahan pada anak memang perlu melihat usia biologis maupun usia mentalnya (kedua berbeda, by the way). Kalau Anda bisa menggambarkan konflik yang terjadi dengan analogi yang sederhana, itu bagus, tapi tak perlu menyederhanakan konflik secara berlebihan.

Di timeline media sosial saya, sempat mampir sebuah video dari seorang ibu dari US yang mengajak para orang tua untuk menjelaskan konflik Palestina-Israel pada anaknya, daripada anak mendapat info yang salah dari media sosial. Si ibu menganalogikan “pertama mengambil sebuah mainan saudaramu, lalu semua mainan di kamarnya, kemudian seluruh kamar saudaranya diklaim”.

She’s not wrong, tapi saya kurang setuju dengan analoginya. Tapi, ini bukan poinnya. Bagi saya, poin pentingnya adalah mengajak anak berbicara mengenai isu-isu yang terjadi, baik di negara sendiri (naudzubillah, semoga tidak terjadi) maupun di negara lain yang bahkan jaraknya sangat jauh.

Sebab, di dunia modern ini, apa yang terjadi di dunia bisa terasa dekat dan relatable dengan adanya media sosial. Anak bisa saja mendapat informasi yang menyesatkan.

Anak bisa saja merasa takut, khawatir, dan membayangkan ini terjadinya di lingkungannya. Tugas kita adalah memberikan konteks, terutama sejarah dan kronologis yang jelas, sefaktual mungkin, agar anak tidak terbawa arus dengan narasi liar dari internet dan lainnya. Selain melindungi anak, ini juga berguna melatih critical thinking pada mereka.

4. Prioritaskan Empati dan Kemanusiaan

Bagi saya, membuat framing saat berdiskusi dengan anak hanya akan mengotak-ngotakkan mereka dan menumbuhkan prasangka. Jadi, meski topik perang ini cukup traumatis bahkan bagi orang dewasa sekalipun, sebisa mungkin saya memberikan pemahaman yang memprioritaskan empati dan kemanusiaan.

Saya tidak tahu bagaimana lingkungan mereka kelak, akan tinggal di mana kelak, akan bertemu dengan siapa saja kelak. Maka mendidik anak jadi picik, saya rasa bukanlah langkah bijak.

Maka saya mencoba membiarkan anak tumbuh tanpa prasangka, judgment, dan lebih memfokuskan pada empati, kemanusiaan, dan penuh kasih. Saya ingin kelak anak saya dapat melihat diri mereka sendiri dan orang lain sebagai global citizen — yang semuanya berupaya untuk hidup bermartabat.

5. Tidak Apa-Apa jika Kita Tidak Tahu Jawaban dari Setiap Pertanyaannya

Berbicara dengan anak tentang topik berat seperti perang yang cukup traumatis tentu sangat sangat sulit.

Ketika anak saya bercerita apa yang dia tahu tentang perang ini, matanya sempat berkaca-kaca. Lalu dia bertanya, siapa yang salah, siapa yang harus dibantu, pada siapa kita harus berpihak, dan seterusnya.

Ini hal wajar, kita pun mempertanyakan hal ini. Tapi di beberapa pertanyaan, saya merasa tidak bisa menjawab pertanyaannya dan saya mencoba jujur. Saya menjelaskan padanya bahwa saya mencoba memberikan penjelasan yang seimbang dan meyakinkan, namun juga jujur.

Jadi, ya, tidak apa-apa kalau kita tidak selalu punya jawaban atas semua pertanyaan anak. Ada hal-hal di luar kuasa kita yang berperan dalam dunia ini dan kita hanyalah manusia biasa.

Urgensi mengajak anak berdiskusi mengenai topik perang tentu bisa berbeda antara orang tua satu dengan lainnya. Kesiapan dan mentalitas anak juga perlu Anda pertimbangkan.

Namun yang terpenting, gunakan momentum ini sebagai kesempatan sebagai cara kita bonding dan berkomunikasi lebih baik pada anak. Membuka diskusi dengan anak akan memberi pemahaman pada orang tua untuk tahu apa yang ia pikiran, pahami, dan harapkan atas kejadian tersebut.

Semoga perang dan ketidakadilan di dunia segera berakhir sehingga anak-anak — di mana pun mereka berada — bisa hidup dengan normal dan menjadi manusia merdeka.

***

--

--

Dyah Laras
Komunitas Blogger M

a storyteller by day, a rapper by night, a long-life learner