Platonic Relationship: Mungkinkah Bisa Terjalin?

Mengulas skeptisisme hubungan non-romantis antar lawan jenis

Raushan Fikr A
Komunitas Blogger M
10 min readDec 5, 2021

--

Ketika mendengar kata relationship, apa yang pertama kali muncul di benakmu?

Gambaran yang mungkin paling melekat dan dekat dengan kita — selain hubungan darah — adalah pacar atau sahabat. Kedua jenis relationship ini yang menurutku hampir semua dari kita pernah merasakannya.

Di antara hubungan yang familiar seperti keluarga, pacar atau sahabat, pernah tidak sih kamu membayangkan jenis hubungan lain yang tidak terikat status tapi sangat dekat secara emosional karena kesamaan minat, spiritual, atau pandangan tentang dunia ini sampai ada keinginan untuk tetap dekat satu sama lain, namun tidak memiliki keterlibatan romantis maupun seksual sama sekali?

Konon, ada kisah dari zaman Yunani silam dimana setiap tamu di sebuah jamuan makan wajib membacakan pidato untuk menghormati Dewa Eros — Dewa cinta, seksual dan juga disembah sebagai Dewa kesuburan. Di antara pesertanya adalah penulis naskah, Aristophanes, sang filosof, Socrates, dan tentu saja, muridnya, Plato. Orang-orang di jamuan ini bersaing dan saling memperdebatkan arti cinta yang sesungguhnya.

Pada saat itulah Plato menulis tentang definisi cinta dalam karyanya, Symposium. Bahwa Eros melambangkan cinta yang dianggap mampu mengilhami manusia untuk mencapai tingkat keberanian, tindakan lurus dan kemuliaan. Cinta seperti itu dipandang jauh di atas duniawi menuju dunia spiritual.

Di zaman Renaissance, seorang filsuf Italia, Marsilio Ficino, mencetuskan istilah “cinta platonik” yang diterjemahkan sebagai hubungan cinta non-seksual. Dalam arti, cinta ini tidak berpusat pada nafsu atau keinginan memenuhi kebutuhan duniawi. Sebaliknya, cinta tersebut menginspirasi keinginan untuk mengejar sesuatu yang lebih jernih.

Meskipun ditulis dalam kata bentuk “cinta”, sebetulnya tidak terbatas pada satu pengertian saja di masa kontemporer ini. Beberapa cenderung menyebut “sahabat” alih-alih “cinta”.

Persoalan mana yang lebih tepat antara cinta atau sahabat, aku rasa inti keduanya berada dalam spektrum yang sama. Istilah yang kita kenal sekarang dengan hubungan platonik.

Kembali ke pertanyaan awal, bisa jadi kamu satu tahap lebih maju dari hanya sekedar membayangkan hubungan ini. Mungkin kamu pernah merasakannya, atau malah sedang merasakan tapi tidak menyadarinya.

Jangan lupakan fakta kalau di usia dewasa muda — rentang usia 19 sampai 30 tahun menurut Psikososial Erickson — pertemanan di antara sesama kita terlihat lebih menonjol dibanding masa remaja. Karena di usia ini, kita memiliki kemampuan untuk meleburkan identitas dengan orang lain tanpa ketakutan kehilangan identitas sendiri. Dan ketika sudah menemukan makna keintiman, kita tidak akan ragu lagi berbagi kepercayaan dan komitmen dalam dua hubungan individu yang setara.

Di tahap ini, dewasa muda yang telah dianggap menemukan jati dirinya akan menjalani hubungan interpersonal yang lebih dewasa. Sehingga bentuk pertemanan lawan jenis lebih berpotensi terjalin pada masa ini.

Tapi pertanyaannya adalah…

Mungkinkah hubungan platonik bisa terjalin? Adakah pra hingga syaratnya? Dan bagaimana cirinya?

Berhubung aku pernah dan masih menjalaninya, mari kita ulas dengan tanya jawab. Beberapa dialog ini berasal dari obrolan dengan temanku yang tidak yakin bahwa hubungan semacam ini nyata.

Aku ingin bertanya dari hal mendasar. Jangan tersinggung, tapi aku agak skeptis. Bagaimana kamu memulai hubungan dengan ambiguitas semacam ini?

Pertama-tama, harus diakui bahwa sejak Sekolah Dasar aku memiliki semacam kompleks dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis. Kita mengenal ini dengan istilah low self-esteem.

Dari sekian faktor penyebab low self-esteem pada anak usia Sekolah Dasar, aku menduga penyebab utama yang kujangkit adalah masalah kebiasaan bersosialisasi. Sejak Sekolah Dasar — dimana sekolahku berbasis Islam Terpadu — kami memang diajarkan dan dibiasakan untuk tidak terlalu intens bergaul dengan lawan jenis. Di Sekolah Menengah Pertama — dengan basis yang sama — kelas antara laki-laki dan perempuan bahkan sempat terpisah.

Menuju jenjang berikutnya, ambisi pribadiku menjalin indahnya hubungan khas anak SMA akhirnya harus pupus setelah orangtuaku justru menyekolahkan ke boarding school — SMK pula. Parahnya lagi, sekolah ini ternyata tidak menerima murid perempuan sama sekali.

Pembiasaan diri tanpa interaksi antar lawan jenis dalam jangka waktu yang tidak sebentar itu membentuk pandanganku terhadap perempuan semakin berbeda. Layaknya ada jurang pemisah, ini seperti hal yang sulit digapai bahkan hanya untuk sekedar berbincang-bincang.

Lebih lanjut, perspektif yang terbentuk dikombinasikan rasa low self-esteem dan dukungan ekosistem sekolah, perlahan menjelma menjadi prinsip untuk tidak mengecap status ala pasangan sebelum ada ikatan pasti.

Tidak jarang aku merasa cukup naif dan merutuki prinsip tersebut. Di tengah heterogenitas pasca sekolah (dunia kampus) yang sama sekali baru, aku bahkan sempat mengalami shock culture. Menyadari disitu letak ujian prinsipiilnya, mau tidak mau standpoint dalam menjalin hubungan antar lawan jenis harus ditentukan.

Tentu standpoint saja tidak cukup. Belajar membentuk konsep diri menjadi lebih matang juga aku lakukan agar punya self control yang baik, sehingga tidak mudah terombang-ambing pada interaksi yang berpotensi menyebabkan perubahan intention.

Inilah sebab awal mengapa aku dapat menjalin hubungan dengan lawan jenis tanpa — atau minim — melibatkan perasaan romantis.

Kasus yang dialami terjadi khusus pada dirimu, bukan? Maksudku, bagaimana partner platonismu memahaminya? Apakah dia punya latar belakang serupa?

Begini, aku mengenal baik teman perempuan yang juga meyakini hubungan platonik itu bisa terjalin. Tapi dalam kasusnya, ia punya sifat yang bersebrangan denganku. Jauh malah.

Ia sudah terbiasa berteman dengan laki-laki semenjak usianya masih kanak-kanak. Bahkan, mereka juga membentuk circle kecil yang secara ajaib masih bertahan sampai sekarang.

Tanpa disadari, mungkin itu membentuk karakternya sendiri yang akhirnya sering dibilang mirip laki-laki; Dingin, tidak peka dan blak-blakan kalau berbicara.

Dari penuturan yang disampaikan, ia juga sulit jatuh cinta. Karena saking terbiasanya dengan pria, ia jadi sangat selektif untuk menjalin hubungan romantis. Beberapa kali ia malah denial atas apa yang dirasakan — seperti benih-benih perasaan cinta, misalnya.

Nah, kalau begitu…

Sebentar, aku lanjutkan lagi sedikit. Ini berkaitan dengan partner platonisku.

Partner platonisku, ia sebagaimana gambaran perempuan yang disepakati pada umumnya; Anggun, lemah lembut, dan berbagai karakteristik feminin lainnya.

Artinya, ia tidak berada di sudut ekstrim seperti diriku maupun teman perempuanku ini. Terlebih, ia juga memiliki pasangan yang sudah diajak komitmen bersama.

Memang, kami memiliki latar belakang pendidikan dasar yang sama. Hanya saja mereka berdua tidak sampai punya kompleks sepertiku. Tidak ada alasan yang menyebabkan mereka harus menghindar ketika bertemu lawan jenis — seperti yang kulakukan sewaktu sekolah. Mereka juga punya komunikasi yang cukup baik. Tidak ada masalah sama sekali.

Alasan yang membuat mereka, secara khusus, partner platonisku, menganutnya adalah karena mengerti rumus dasar menjalin hubungan ini.

Tentu saja, setelah diterapkan melalui pertemanan intens dan waktu yang tidak sebentar. Hal ini membuat kami saling mengerti sedang berada di standpoint yang sama.

Bukankah itu sangat samar? Bisakah kita melihat garis batas dari hubungannya?

Hal yang wajar bagi kita ketika bertemu dan berinteraksi dengan lawan jenis kemudian memproyeksikan kira-kira seperti apa landasan dari hubungan ini. Aku sempat menyinggung soal intention — yang berkaitan erat dengan attraction — dan inilah persisnya yang kumaksud:

Aesthetic

Kamu pernah tertarik berinteraksi dengan seseorang karena sosoknya yang manis? elegan? atau mungkin menawan nan rupawan?

Kira-kira begitu mudahnya. Keindahan yang terpancar yang dijadikan alasan utama tanpa ada keinginan lebih jauh seperti menjadikannya kekasih.

Platonic

Aku sudah memberi penjelasannya di bagian prolog. Dan lagi pula kita sedang membahas tentang ini. Jadi, lanjut saja.

Sensual

Ini mungkin tipe attraction yang sedang populer di media sosial beberapa waktu belakangan.

Keinginan berinteraksi satu sama lain dengan sentuhan atau rabaan hingga hugging atau cuddling, tapi biasanya menolak hubungan seks.

Sexual

Tidak kalah populer dengan sensual attraction, sexual attraction juga banyak dianut karena sama-sama memiliki ketertarikan berhubungan seksual dengan orang lain — biasanya didasarkan ketertarikan fisik.

Contoh yang sering kita temui ada di dalam istilah Friends with Benefit — istilah ini mengalami penyempitan makna — yang kini dipakai untuk melakukan interaksi seksual tanpa ada komitmen apapun.

Romantic

Bisa ditebak, ketertarikan ini untuk memiliki apa-apa yang dianggap sebagai hubungan romantis. Seperti kencan, makan berdua, pergi berlibur dan hal-hal lain yang diinginkan dari orang yang saling mencintai secara romantis.

Dalam konsep hubungan umum yang diketahui dan diyakini banyak orang, romantic attraction seringkali bertindak sebagai kunci untuk bertransformasi menuju attraction lainnya — tentu selain platonic.

Types of attraction menurutku bisa menjadi rambu agar kita dapat mengklasifikasikan harus bersikap apa dan bagaimana. Meskipun bisa saja berpindah dari satu attraction ke attraction lainnya (atau penggabungan dari beberapa), hal yang perlu diingat, bahwa ada kondisi internal maupun eksternal yang tidak bisa diabaikan sebagai barrier yang turut andil menegaskan batas tersebut.

Penggambaran menarik. Aku bisa sepakat soal Types of Attraction. Tapi kondisi internal dan eksternal? Apa persisnya?

Awalnya, aku mengira ini adalah tentang bagaimana kita bisa mengesampingkan ciri-ciri fisik lawan jenis agar hubungan yang terjalin tetap murni. Maksudnya, aku seringkali menganggap lawan jenis, terutama partner platonisku, setara di berbagai hal. Bahkan pada hal-hal yang menurut pandangan umum seharusnya dikerjakan oleh salah satu gender saja — biasanya melibatkan aktivitas fisik.

Selain itu, meskipun mungkin terdengar hampir mustahil, aku menghindari flirting dan mengupayakan agar tidak ada sentuhan fisik yang berlebihan. Anggapan dan tindakan preventif ini cukup menjauhkanku dari hasrat biologis.

Kemudian, akhirnya aku menemukan bahwa yang menjadi poin utama sebetulnya bukan soal mengesampingkan ciri-ciri fisik.

Tentu tiap orang punya kecenderungan menjalin hubungan romantis yang cocok dengan tipenya masing-masing, karena seperti yang kupaparkan sebelumnya, dengan asumsi dasar romantic attraction sebagai kunci menuju attraction lainnya, idealnya ini bisa menjadi pegangan dari dalam diri sendiri untuk bisa memilah attraction mana yang patut atau kurang patut dijalankan.

Singkatnya; selama partner platonis itu bukan tipe pasangan idaman kita, aku rasa akan lebih mudah terjalin.

Disisi lain, dari berbagai kondisi eksternal yang mungkin terjadi, keterlibatan pihak ketiga seperti pasangan akan meningkatkan kesadaran secara konkret bahwa kondisi tersebut menjadi batas yang tidak dapat dilalui.

Menurutku itu terlalu kaku

Justru sebaliknya. Setelah mulai mengerti rambu-rambu dan batas yang semakin jelas, aku rasa kita bisa lebih luwes menentukan jenis hubungan dibanding sebelumnya.

Tapi bagaimana pandangan sekitarmu melihat pola hubungan itu?

Mungkin kita bisa memaklumi bahwa hubungan dalam konsep platonik masih sering disalahpahami di masyarakat. Norma sosial yang dipegang terbatas dalam mengatur bagaimana pertalian pertemanan individu antar lawan jenis saja. Sehingga dari keterbatasan ini muncul stereotip bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan yang cenderung dekat adalah hubungan romantis.

Implikasi paling nyata terlihat ketika sekitar kita menjadi biro jodoh dadakan. Hal yang kerap ditemui, bukan? Menurutku, perubahan yang terjadi justru sebagai penanda sudah sedalam apa hubungan yang terjalin. Dan di tahap ini, biasanya, justru lahirlah pikiran dan keputusan “Sebetulnya hubungan ini apa dan bagaimana?”

Seperti de ja vu, ya? kita justru kembali ke titik dimana topik ini bermula. Tapi ini malah bisa menjadi poin krusial untuk menentukan hubungan apa yang ingin kita jalin ke depannya. Akan aku jelaskan soal ini di bagian akhir.

Aku sudah cukup mengerti bagaimana relasi ini terjalin. Boleh aku ajukan pertanyaan terakhir?

Silahkan. Aku tidak keberatan.

Sejauh yang kutahu, manusia itu dinamis. Seandainya di satu waktu kamu melihat partner platonismu dengan pandangan berbeda, apa yang akan kamu lakukan?

Biar aku perjelas. Maksudmu, apakah mungkin dan sah jika partner platonis menjadi partner hidup alias pasangan romantis? Jika iya, harus berbuat seperti apa?

Apakah seperti itu?

Betul. Begitu pertanyaan jelasnya

Manusia adalah makhluk dinamis, aku sepakat soal itu. Jujur saja, terkadang di momen-momen tertentu aku merasakan hal-hal yang diharapkan dari sosok idamanku. Mendapat feedback yang memuaskan dari topik obrolan tertentu, misalnya.

Di momen itu pula aku berusaha untuk menolak keberadaan apa yang sedang kurasakan. Bagaimana caranya?

Take your time.

Mengambil jeda sejenak. Ini yang aku lakukan. Meskipun sebetulnya pertemuanku tidak sesering itu juga, tapi ini bukan hanya soal kehadiran sosok (fisik) saja. Juga melibatkan pikiran dan tindakan preventif agar tidak ada gestur yang menuju ke arah romantis. Cara ini terbukti berguna untukku.

Kalau terlintas pertanyaan, “Mengapa keras kepala sekali menjalani hubungan aneh semacam ini?”, jawabannya tentu saja karena aku ingin terus berada di dalam nuansa ini. Cukup.

Baiklah, kalau kurang puas dengan alasan di atas, aku bisa memberi tahu turunannya. Beberapa contohnya seperti berikut:

  1. Takut merusak persahabatan apabila menjadi pasangan lalu usai
  2. Sudah ada orang ketiga dalam hubungan (Salah satu atau salah dua sudah punya pasangan seperti yang sempat aku bahas soal barrier)
  3. Takut disakiti dalam hubungan percintaan. Meskipun hal ini bisa terjadi pada setiap jenis hubungan, tapi sahabat yang menjadi kekasih lalu menyakiti aku kira lebih tajam rasanya
  4. Sedang tidak ingin menjalin hubungan kekasih pada saat ini. Mungkin yang kita inginkan hanya teman berbagi kisah

Kecuali, jika satu waktu aku dan partner platonisku bertemu kembali dengan keadaan berbeda, dalam arti menyadari potensi terjalinnya hubungan romantis dan ingin beranjak dari hubungan platonik, hal itu sah-sah saja. Atau bahkan jika salah satu ada yang terjebak friendzone, tidak ada masalah. Selama ada komunikasi terbuka, keputusannya tergantung bagaimana kesepakatan bersama.

Kita bisa memilih dari empat cara untuk menentukan hubungan lawan jenis seperti yang disampaikan Guerrero dan Chavez dalam jurnalnya, yakni:

1. Strictly Platonic

Strictly platonic (platonik yang tegas) adalah jenis hubungan dimana salah satu individu sama sekali tidak mau mengubah hubungan pertemanan menjadi hubungan romantis dan memercayai serta menginfiltrasi bahwa individu lainnya juga tidak menginginkan hubungan romantis.

Dalam kasus lain, bahkan keduanya saling mengonfirmasi ingin tetap berada di hubungan ini. Dan meskipun kedua individu ini sadar ada ketertarikan, dengan sengaja tidak menurutinya.

2. Desires Romance

Desires romance atau adanya hasrat menjalin hubungan romantis, merupakan kondisi dari salah satu individu yang menginginkan untuk beranjak dari hubungan pertemanan menjadi hubungan romantis tetapi percaya bahwa individu lainnya tidak akan menyambutnya. Tentu ini hanya spekulasi dari si individu pertama.

3. Rejects Romance

Sering disebut juga sebagai friendzone. Yang mana individu satu menginginkan hubungan romantis sedangkan individu lainnya hanya mencukupi sebagai hubungan pertemanan. Sedikit berbeda dengan desires romance, ada penolakan yang jelas di sini.

4. Mutual Romance

Barangkali ini akan menjadi permulaan dari kisah indah dua individu yang akhirnya menyepakati bertemu di titik persamaan hubungan romantis.

Cara memvalidasi kehendak individu lain selain mengamati gestur adalah mengujinya secara langsung lewat pertanyaan dengan resiko terjebak di dalam friendzone. Jika taruhan berhasil dimenangkan, yang didapatkan tentu sepadan.

Sebagian orang tentu merasa bahwa menentukan hubungan apa yang tepat dan dengan siapa cukup merepotkan jika terlalu dipikirkan. Mereka yang menganut ini percaya, apapun hubungan yang akan terjalin terjadi di alam bawah sadar. Dengan kata lain — dalam kasus hubungan romantis — perasaan ini ditumbuhkan untuk siapa itu di luar kehendak kita.

Sementara lainnya, secara sadar memilih untuk memiliki berbagai macam jenis hubungan — khususnya platonik — dengan cara keterbukaan, memahami dan memaknai. Meskipun waktu yang dibutuhkan mungkin tidak sebentar dikarenakan proses filtrasi lebih ketat.

Setelah beberapa waktu menjalin hubungan platonik — dari pertemanan biasa yang bertransformasi— bagiku ini bukan hanya sarana melatih kontrol diri dari keserampangan emosi yang seringkali datang membabi buta.

Lebih dari itu, ia juga menyuguhkan kualitas hubungan yang luas dan fleksibel sekaligus kokoh. Di dalamnya aku mendapati dukungan dan evaluasi untuk kemajuan diri secara jujur tanpa mempengaruhi kepentingan — atau kesibukan — masing-masing pihak.

Dan yang tidak kalah penting, adanya wawasan juga pemahaman bagaimana gender tertentu melihat dan menyelesaikan persoalan — yang tentu saja penting bagi keharmonisan kehidupan berpasangan kelak.

--

--