Praktek Pendidikan Humanisasi ala Paulo Freire

Hasbi Haris
Komunitas Blogger M
7 min readMay 18, 2024

“Without a sense of identity, there can be no real struggle.” — Paulo Freire.

Paulo Freire (sumber gambar: jacobin.com)

Setahun lalu, ketika sudah tidak ada lagi bahan bacaan yang terpajang di rak lemari kamarku, pagi itu sekitar jam sepuluhan aku memutuskan buat datang ke Gramedia Pekanbaru. Biasanya aku ke Gramedia sekitar enam bulan atau paling cepat tiga bulan sekali. Itupun tergantung uang jajan yang mampu kukumpulkan untuk membeli buku.

Biasanya memang aku jarang keluar rumah ketika akhir pekan, kecuali untuk bermain futsal bersama teman-temanku tiap hari sabtu. Aku tidak terlalu suka mengunjungi ruang publik layaknya Mall atau pusat perbelanjaan lain. Terkadang, ketika berada di keramaian membuat napasku sesak dan itu sungguh tidak nyaman. Namun bukan berarti aku pemalu dan tidak mampu berbicara di depan umum, hanya saja energiku cepat sekali habis jika berada di dalam keramaian dengan segala kebisingannya.

Lain halnya dengan Gramedia. Tempat ini kalem sekali dan dingin. Begitu nyaman untuk seseorang sepertiku dan sangat menenangkan. Awalnya, aku bingung hendak memilih buku apa. Sekitar hampir tiga puluh menit berlalu kakiku mondar-mandir kesana-kemari menuju berbagai rak dari berbagai jenis genre buku. Namun, seketika aku teringat akan satu buku yang pernah aku ingin beli dulu. Gambarnya ada di telepon genggamku.

Nama bukunya ialah “Pendidikan Kaum Tertindas” terbitan tahun 1968. Aku mencarinya ke ranah genre buku sosial dan pendidikan. Akan tetapi buku itu kosong! Namun hal baiknya ialah ada dua orang pegawai Gramedia yang tengah menyusun sejenis buku di pojokan kiri rak. Aku bertanya mengenai buku yang ingin kubeli, menunjukkan gambarnya dan untungnya buku itu sedang ada di tangan kakak pegawai itu. Beberapa bulan sebelumnya buku “Pendidikan Kaum Tertindas” masih ada di rak, dan sepertinya terbitan buku barunya yang lebih bagus di-stock kembali. Aku tersenyum dan tidak lupa mengucapkan terima kasih.

Jadilah aku menenteng buku “Pendidikan Kaum Tertindas” karya Paulo Freire di tanganku, lalu membayar ke kasir.

Dan pada kesempatan kali ini, aku ingin bercerita mengenai esensi pendidikan dari buah pemikiran Paulo Freire, seorang pendidik dari Brazil dengan janggut tebal putih layaknya Sinterklaas itu.

Paulo Freire

Paulo Freire lahir pada tahun 1921 di sebuah wilayah bernama Recife di Brazil. Wilayah ini dikenal sebagai distrik yang miskin dan terbelakang. Paulo Freire tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kriminalitas dan kelaparan. Dalam kondisi tersebut, Freire banyak belajar mengenai kondisi sosio-masyarakat yang penuh akan dinamika sosial. Pemahamannya akan realitas yang terjadi membentuk kepribadiannya yang kritis dan penuh akan pemikiran-pemikiran revolusioner.

Freire hidup melewati masa The Great Depression pada tahun 1929. Suatu pengalaman yang membuatnya menaruh rasa empati dan prihatin terhadap kaum miskin dan marginal. Ia memulai pendidikan akademiknya pada tahun 1943 di Universitas Recife sebagai mahasiswa hukum. Namun rasa raus akan pengetahuan juga membawa perjalanan intelektualitasnya kepada ilmu filsafat dan psikologi bahasa. Pada tahun 1944, dirinya menikah dengan seorang rekan sesama guru yaitu Elza Maia Costa de Oliviera.

Tahun 1959 menjadi tonggak awal pemikirannya mengenai ide-ide pendidikan melalui disertasinya di Universitas Recife. Pada tahun 1964, Freire mendekam dibalik jeruji besi atas berbagai bentuk pemikirannya yang tidak sejalan oleh rezim pada saat itu dan dicap sebagai pemberontak. Padahal, pada dua tahun sebelumnya jasanya pada bidang pendidikan begitu urgen. Dirinya berhasil mengajarkan 300 orang buruh kebun untuk membaca dan menulis hanya dalam 45 hari. Atas metodologinya yang menentang keras bentuk dehumanisasi dan penindasan itu, telah membantu banyak orang-orang miskin dan buta huruf dalam berbagai wilayah di Brazil hingga seluruh dunia.

Setelah melalui pengasingan diri di Bolivia, Freire bekerja di Chili selama lima tahun dalam Gerakan Pembaruan Agraria Demokratis Kristen. Pada 1967, ia menuliskan buku pertamanya yaitu “Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan”. Lalu muncul buku lain yaitu “Cultural Action for Freedom” dan “Pedadogy of The Oppressed” (Pendidikan Kaum Tertindas). Ketiga bukunya mendapatkan atensi publik begitu tinggi oleh banyak peneliti dan pakar pendidikan dunia. Hingga pada saat itu, Freire dikenal menjadi sosok fenomenal dan intelek Brazil yang penuh akan pemikiran-pemikiran yang mencerahkan.

Pemikiran Dasar Paulo Freire

Freire memandang manusia ialah sebagai individu yang seharusnya tumbuh dan berkembang menjadi “manusia yang utuh” seutuh-utuhnya. Hakekat manusia adalah pendidikan yang mengarah pada pembebasan dan kemerdekaan yang penuh, bukan dengan doktrin akan pendidikan yang mengarahkan pada penindasan.

Ia banyak menyebut praktik dehumanisasi dan humanisasi. Menurutnya, keadaan buruh dan kaum marginal yang selalu menjadi korban praktek dehumanisasi haruslah diberantas melalui cara-cara pendidikan yang mencerahkan. Praktek dehumanisasi hanyalah membuat kakekat manusia menjadi budak seutuhnya, tanpa adanya kompromi kebebasan dari pihak tertindas itu sendiri. Praktek ini dilakukan oleh kelompok orang yang ia sebut sebagai Kaum Penindas. Segolongan orang dari elit yang menguasai sumber daya ekonomi sepenuhnya. Kaum Tertindas seperti buruh dan rakyat miskin yang sudah terkontaminasi oleh pendidikan doktrin yang mengarah pada dehumanisasi akan selalu menjadi korban dan pihak yang tidak diuntungkan.

Setiap manusia harus berhubungan dengan realitas dunia secara kritis. Manusia sepatutnya memahami data-data obyektif dan fenomena masyarakat secara mendalam sehingga mampu mengajukan refleksi atas apa yang terjadi selama ini. Namun menurut Freire, dunia kini semakin terkotak-kotakkan dan dikotomis antara Kaum Penindas dan Kaum Tertindas itu sendiri.

Menurut Freire, segala bentuk pembebasan menjadi hal yang sakral dan harus dilakukan. Pembebasan ini tentu akan memakan korban, namun hal tersebut tidak dapat dielakkan jika menginginkan transisi perubahan. Pendidikan yang dimulai dari egoisme Kaum Penindas yang tertutupi oleh kemurahan hari palsu akan terus melenggang bebas jika tanpa pengawalan. Pendidikan selayaknya sesuai dengan akal, budi dan kemurahan hati maka praktek humanisasi adalah jawabannya.

Tugas pendidikan yang humanis berperan sebagai transisi pemikiran pada masyarakat. Melalui praktek pendidikan yang humanis akan menciptakan manusia yang utuh pada hakekatnya sebagai manusia yang penuh akal budi. Usaha ini tidak hanya mampu dilakukan dengan slogan-slogan saja, layaknya kaum kolonialis yang menindas potensi pemikiran seorang individu. Namun harus mengakar pada masyarakat yang sadar akan penindasan yang telah dilakukan. Masyarakat yang tercerahkan dan teredukasi oleh kemampuan baca-tulis, bernalar kritis dan berakal budi adalah masyarakat yang tercermin dari pendidikan yang humanis. Bukan dari praktek pendidikan doktrin dan dehumanisasi oleh Kaum Penindas yang memakai “manusianya” hanya untuk kebutuhan industri dan perbudakan.

“Kenikmatan untuk menguasai orang lain (atau makhluk hidup yang lain) adalah esensi dari dorongan sadisme. Dengan kata lain untuk menejelaskan hal ini adalah dengan cara memberitahukan bahwa tujuan dari sadisme adalah mengubah manusia menjadi benda, sesuatu yang hidup menjadi sesuatu yang mati, karena saat manusia dikontrol secara penuh, mereka akan kehilangan kualitas hidupnya yang paling esensial yaitu kebebasan.” Erich Fromm, The Heart of Man (New York, 1966), halaman 38 dari Pendidikan Kaum Tertindas.

Pendidikan Gaya Bank vs Pendidikan Hadap-Masalah

Menurut Freire, pendidikan dehumanisasi ialah apa yang ia sebut sebagai pendidikan Gaya Bank. Singkatnya, praktek pendidikan ini hanya mengarah pada pendidikan statis dan tidak dinamis. Guru hanya menjadi satu-satunya sumber materi dan metode ceramah yang membosankan akan selalu dihadirkan. Konsep pendidikan Gaya Bank layaknya menabung di Bank, murid berperan sebagai wadah yang dijadikan isi tabungan dan guru berperan sebagai penabung.

Sumber gambar (gramedia.com)

Alih-alih menjalankan praktek pendidikan yang penuh dengan dialog dan diskusi yang kritis, guru hanya mengeluarkan pernyataan akan materi dan menjelaskannya dengan cara kuno dan murid harus sabaar menerima, mengingat serta mengulangnya tanpa adanya revisi terhadap pemikiran tersebut dan analisis mendalam terkait apa yang telah dipelajarinya. Murid hanya akan terdoktrin dan terus terdoktrin. Murid hanya akan menjadi wadah tanpa adanya hak yang sama untuk mengeluarkan pendapat. Murid akan salah jika tidak tepat mengulangi apa yang dikatakan persis yang dikatakan oleh guru sebagai narator. Cara ini sungguhlah meredam hakekat manusia sebagai makhluk yang terbebas dari praktek dehumanisasi.

Pengetahuan seharusnya hadir dari dialog dan penemuan-penemuan, melalui usaha pencarian tanpa henti dan bertahap bersama manusia yang kritis dan analitis bukan dari murid yang dijadikan “wadah” hapalan. Dalam praktek pendidikan Gaya Bank, pengetahuan hanyalah hadiah dari mereka yang berilmu dan diturunkan pada wadah yang tak berilmu tanpa adanya revisi dan pembaruan. Ketidakpedulian akan bernalar inilah yang menjadi ideologi penindasan, menolak pengetahuan sebagai proses dari pencarian.

Karasteristiknya menurut Freire, seperti:

1) guru mengajar dan murid diajar

2) guru mengetahui segalanya dan murid tidak tahu apapun

3) guru berpikir dan murid dipikirkan

4) guru berbicara dan murid hanya patuh mendengarkan

5) guru adalah subjek proses belajar dan murid hanya sekadar objek

6) guru memilih dan memaksa pilihannya dan murid hanya menerima

Sedangkan, pada pendidikan Hadap-Masalah, murid dihadapkan pada praktek diskusi dan pencarian ilmu bersama-sama. Murid diberi kebebasan untuk berpendapat dan posisinya sejajar bersama guru sebagai manusia yang sama-sama mencari pengetahuan. Pendidikan Hadap-Masalah membentuk manusia yang berproses menjadi manusia seutuhnya dan dekat dengan ideologi humanisasi.

Pendidikan Hadap-Masalah merupakan gaya pendidikan yang berbanding terbalik dengan pendidikan Gaya Bank. Pendidikan ini berbasis dialog yang dibangun atas akal-budi, kerendahan hati, cinta antara guru-murid dan hubungan saling mempercayai sebagai manusia penuntut ilmu pengetahuan.

Murid dibebaskan untuk menganalisis bersama-sama dan merevisi atas apa yang terjadi. Ketika terjadi permasalahan, baik pada masa lalu ataupun permasalahan masa kini, guru dan murid sama-sama berdiskusi atas apa yang seharusnya dianalisis. Maka dengan hal ini akan tercipta pembaruan pada ilmu pengetahuan dan memacu perkembangannya itu sendiri.

Murid akan terbebas dari doktrin dan percaya diri akan penalarannya. Manusia yang seutuhnya dan berbasis humanisasi akan terbentuk.

Semangat terus berproses

Yah, begitulah seharusnya menjadi manusia. Kita, kau dan aku semua berhak mendapatkan hak dalam pendidikan yang memerdekakan dan juga membebaskan. Menjadi manusia yang haus akan ilmu seharusnya terbebas dari sifat-sifat sombong dan egois. Tolak ukur manusia menjadi bodoh adalah sewaktu dirinya merasa pintar dan berhenti ingin belajar.

Layaknya apa yang dikatakan Socrates lebih dari 2400 SM yang lalu.

“Satu-satunya yang aku tahu adalah bahwa aku tidak mengetahui apa-apa.”

Thank you sudah membaca.

Peace.

Sumber:

Freire, P. (2019). Pendidikan Kaum Tertindas. Penerbit Narasi.

Fromm. (1966). The Heart of Man. New York.

Muchlis R. Ludin. (2007). Alternatif Kebijakan Pendidikan yang Berpihak Kepada Rakyat. Jakarta: Makalah Seminar Nasional, 22 Agustus 2007.

Piter, R., & M, Magnus. (2020). Konsep Pendidikan ‘Hadap-Masalah’ Paulo Freire dan Relevansinya Bagi Pendidikan di Indonesia. Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang.

Supriyanto. (2013). Biografi Sosial Intelektual Modernisme Pendidikan. STAIN Kendari.

--

--