Quo Vadis Gerakan Mahasiswa: Trajektori dan Demitologisasi

Alvino Kusumabrata
Komunitas Blogger M
4 min readMay 14, 2024
Gerakan mahasiswa. Foto: Kompas.com.

Anatomi gerakan mahasiswa melahirkan konsekuensi untuk melekatkan diri pada mitologisasi gerakan — bentuk puritannya. Perlu adanya demitologisasi sebagai upaya untuk meredefinisi gerakan mahasiswa.

Tidak ada yang tidak abadi dari gerakan mahasiswa kecuali gerakan itu sendiri. Pernyataan itu yang selalu terngiang dalam kepala saya tatkala berkutat diskusi perihal gerakan. Dalam khazanah sejarah Republik ini, corak gerakan selalu menemui bentuk purbanya: menuntut, menolak, menganjurkan, bahkan meminta atas sesuatu. Bahkan, saya yakin 100%, bentuk demikian akan awet hingga di masa yang akan datang.

Berbagai rupa gerakan mahasiswa sudah kita cicipi. Pun, ragam metode gerakan sudah pernah kita coba. Tak hanya itu, kuantitas demonstran — menjadi tolok ukur dari gerakan mahasiswa — sudah mewarnai dinamika gerakan mahasiswa kita selama ini. Tapi, apa hasilnya? Nihilnya realisasi kendati tuntutan bisa kita ukur hingga langit.

Pertanyaannya adalah: Pertama, apakah memang gerakan mahasiswa ditakdirkan untuk masuk ke dalam lingkaran setan?; Kedua, adakah upaya untuk melepas — atau dalam bahasa lebih luas — berusaha untuk mereformasi bentuk dari gerakan mahasiswa itu sendiri?

Lingkaran Trajektori Gerakan

Tampaknya, gerakan mahasiswa merupakan praktik mikro antitesis dari apa yang disebut Tan Malaka dalam Aksi Massa. dDalam karya monmumental itu, Tan berusaha mengurai bagaimana suatu gerakan dapat berhasil. Salah duanya adalah gerakan harus mampu menangkap momentum dari kondisi ekonomi-politik pada suatu teritorial dan terikat pada massa yang lebih luas. Di samping itu, gerakan memiliki dimensi yang luas, tak sekadar politik saja — bisa mencakup ekonomi, kebudayaan, psikologis massa.

Tindakan putch sebagai antitesis gerakan versi Tan sebagaimana disebutkan dalam buku tersebut terejawantahkan ke dalam bentuk gerakan mahasiswa dewasa ini. Mengapa? Pertama, gerakan mahasiswa acapkali terputus koneksi dengan massa luas yang justru ironinya menjadi objek yang diperjuangkannya. Konsolidasi untuk melaksanakan suatu gerakan justru terpatronase pada lingkar mahasiswa tertentu saja tanpa adanya partisipasi massa luas. Dengan demikian, mahasiswa menjadi terjebak pada status dirinya yang diyakini sebagai “agen perubahan sosial”. Implikasi lebih lanjutnya, mereka menjadi optimis bahwa dirinya berada diklasifikasi yang berbeda dengan massa luas. Seakan-akan mahasiswa menjadi suatu kelas tersendiri dalam masyarakat. Tak ayal pula mahasiswa sering dicap — secara peyoratif — berada di menara gading.

Selain itu, poin kedua, gerakan mahasiswa bersifat reaksioner. Hal ini berkaitan erat dengan siklus gerakan yang ada. Mahasiswa cenderung merespons kondisi tertentu dengan mengadakan demonstrasi langsung tanpa adanya pertimbangan proyeksi jangka panjang dan berkelanjutan. Dengan cara-cara seperti itu, gerakan mahasiswa menjadi sesuatu keniscayaan yang akan timbul untuk mengkritisi kondisi-kondisi yang dirasa kurang benar — tanpa memperhatikan tataran visi lebih panjang.

Ketiga, mahasiswa selalu dicekoki romantisme perjuangan mahasiswa apabila merujuk pada dinamika sejarahnya. Heroisme mahasiswa yang dititelkan pada mahasiswa sejak awal abad ke-20 menjadi suatu ironi. Dimulai adanya gerakan perlawanan 1908, kemudian dilanjutkan Angkatan 1966. Angkatan 1966 tumbang dan muncullah Angkatan 1974 dan beralih Angkatan 1989. Angkatan 1989 juga tidak bisa bertahan lama. Kemudian, bertahun-tahun lamanya, Angkatan 1998 bergumuk sebagai klimaks dari sejarah mahasiswa sebab mampu menumbangkan otoritarianisme Orde Baru.

Kisah-kisah heroisme berbagai “Angkatan Mahasiswa” direproduksi ulang menjadi semacam rezim pengetahuan yang harus dimamah oleh setiap mahasiswa. Padahal, jika kita lebih jeli melihat berbagai gejolak angkatan itu, dinamika sejarah gerakan mahasiswa tidak pernah tunggal. Setiap angkatan memliki sekondan politik untuk menyukseskan setiap gerakan mahasiswa. Tersebutlah, Angkatan 1966 yang mana mahasiswa didukung penuh oleh militer.

Sementara itu, Angkatan 1974 mampu digdaya membuat huru-hara karena keterlibatan klik militer tertentu. Barangkali, yang paling tersohor, kisah heroisme Soe Hok Gie, Soe Hok Djin (Arief Budiman), Cosmas Batubara, dan lain-lain yang menjadi eksponen Angkatan 1966 menjadi awam terdengar oleh mahasiswa menjadi bukti paling konkret dari adanya romantisme gerakan mahasiswa. Konklusi dari itu semua adalah mahasiswa justru melakukan mitologisasi terhadap gerakan mahasiswa. Mahasiswa justru mengamini mitos-mitos yang diturunkan secara turun-temurun mengenai gerakan mahasiswa.

Demitologisasi, Upaya Final?

Terbekunya gerakan mahasiswa ke dalam mitologisasi gerakan mengakibatkan perlu adanya jalan keluar. Solusi itu adalah demitologisasi gerakan. Demitologisasi terbukti menjadi metode paling ampuh hingga saat ini untuk mengurai dan menambal berbagai problem gerakan mahasiswa.

Demitologisasi tersebut bisa dimulai dari fakta bahwa mahasiswa bukanlah kelas terpisah dari massa. Mahasiswa adalah bagian integral dari massa. Dengan begitu, dalam setiap gerakan mahasiswa, perlu adanya pelibatan aktif dari berbagai kelas, misal buruh dan tani. Hal ini dimaksudkan agar gerakan lebih konkret dan menyasar jika menggandeng kelas lain atau lintas sektoral. Pun, konsolidasi gerakan mahasiswa juga harus melibatkan kehadiran dari massa lebih luas. Kolaborasi tersebut menjadi demikian penting bagi gerakan mahasiswa sebab dengan integrasinya unsur-unsur dari masyarakat akan memperjelas suatu tuntutan yang dibawakan dan tidak bersifat reaksioner semata dari golongan mahasiswa.

Hal-hal yang sudah disebutkan di atas tak akan pernah bisa tercapai apabila tanpa adanya penyadaran bahwa mahasiswa bukanlah agen perubahan sosial. Kredensial itu muncul atas pembacaan sejarah gerakan mahasiswa yang panjang sebagaimana telah disebut sebelumnya. Mau tidak mau, mahasiswa harus melepas kredensial itu dengan pertimbangan kritis bahwa mahasiswa bukanlah satu golongan semata dalam menginisiasi suatu perubahan jika merujuk pada sejarah Indonesia.

Pertanyaan yang kemudian muncul: apakah demitologisasi cukup menanggulangi mitologisasi? Tidak, hal ini disebabkan ragam metode pembaharuan akan selalu ada sepanjang dinamisnya kondisi ekonomi-politik di Indonesia. Terlepas begitu, demitologisasi — sampai detik ini-menjadi upaya mutakhir untuk melepaskan belenggu mahasiswa dari demitologisasi gerakan.

--

--