Rasa Ikan Belut

Iqbal Abizars
Komunitas Blogger M
4 min readApr 19, 2020

Saya sesungguhnya ragu, sebenar-benarnya ragu, apakah belut termasuk ikan? Keraguan saya bukan tanpa sebab karena dilihat dari sudut manapun, belut tidak ada ikan-ikannya sama sekali. Belut yang saya maksud kali ini adalah belut sawah bukan belut rawa, sungai, laut, apalagi Mars.

Hewan nokturnal tersebut hidup di lubang-lubang berlumpur yang terdapat di sawah. Konon katanya, belut sawah dapat hidup berbulan-bulan tanpa air. Belut sawah tak memiliki sirip dan juga sisik. Sama sekali tidak ada ikan-ikannya, kan? Tapi secara scientific, belut sawah adalah ikan. Kaum jelata seperti saya tak bisa mengelak dari fakta mencengangkan tersebut.

Cerita ini dimulai saat saya bersama beberapa teman sedang bertugas melakukan survei untuk kepentingan pengajuan usulan pembangunan SMA/SMK/MA atau sederajat di wilayah Kecamatan Wonoboyo dan Tretep.

Kami dipercaya sebagai mandataris dari Camat Tretep, Bapak Gotri. Kedua kecamatan tersebut berada di Barat Laut Kabupaten Temanggung, persis di kaki Gunung Prau. Tiap hari dalam seminggu, kami menempuh jarak pulang-pergi sejauh kurang lebih 45 km. Tiap perjalanan kami selalu disuguhi panorama eksotis dan bagi saya dipenuhi kenangan indah nan menyayat hati. Hehehehe.

Hari itu adalah hari terakhir survei. Jam menunjukkan angka 2 siang, kami bergegas pulang karena tugas telah usai sebelum akhirnya, salah seorang teman kami mengajak mampir ke rumah warga lokal yang ia kenal akrab saat menjadi relawan Gerakan Universitas Indonesia Mengajar sebulan sebelum ia ikut survei ini. Kami langsung mengiyakan ajakan tersebut.

Pikir kami, pasti akan dapat makan siang gratis. Waktu itu kabut tebal menyelimuti, semangkuk mi instan dengan kuah kari kental sudah mengganggu pikiran kami. Perjalanan ditempuh selama 15 menit dan akhirnya kami sampai ke rumah warga lokal yang dimaksud.

Kami disapa dengan hangat, sapaan khas masyarakat pedesaan. Setelah saling mengenalkan diri, babak selanjutnya adalah ngobrol ngalor-ngidul.

Kami membicarakan apa saja yang bisa dibicarakan, mulai dari pertanian, pendidikan, pernikahan, bahkan sampai air mampat tak luput menjadi sasaran pembahasan. Kopi panas dan asap rokok lintingan menemani hangat pembicaraan kami.

Tanpa aba-aba, entah mengapa, tiba-tiba pembahasan kami sampai ke ikan belut. Tidak ada hujan dan tidak ada badai, bapak tuan rumah seketika bertanya, “Rasanya ikan belut itu seperti apa, ya?”

Saya menganggap ini pertanyaan basa-basi, mirip seperti pertanyaan, “Balon yang meletus di lagu Balonku itu warna apa, ya?”

Sudah barang tentu, pertanyaan semacam ini tak perlu dijawab sesusah pertanyaan, “Kapan kamu sunat?” Apa yang terjadi setelah pertanyaan itu dilontarkan? Reflek, saya langsung tertawa terbahak-bahak.

Tanpa berpikir panjang, saya langsung memberikan penghakiman bahwa pertanyaan bapak tersebut adalah pertanyaan yang lucu bukan main. Mana ada orang yang tinggal di negara dengan iklim tropis tempat belut sawah biasa tinggal belum pernah makan belut sawah?

Selang beberapa detik kemudian, si bapak kembali melanjutkan untaian kata-katanya, “Saya seumur hidup belum pernah makan belut. Di sini kan pegunungan, mana ada sawah? Di sini ladang semua, lahannya kering. Tidak ada belut yang hidup di sini.”

Seketika itu juga saya berhenti tertawa. Saya baru sadar kalau tawaan saya itu salah besar. Saya telah menertawakan ketidakberdayaan seorang manusia.

Singkat cerita, kami pamit pulang. Selama kurang lebih 50 menit perjalanan, saya berpikir keras. Saya berpikir bahwa selama ini saya serta-merta sering menyalahkan orang yang punya privilege akan suatu hal, tapi di sisi lain saya luput bahwa saya pun juga punya privilege yang tak dimiliki orang lain.

Parahnya, saya telah menertawakan ketidakberdayaan orang lain dengan menggunakan privilege yang saya miliki sebagai alat ukur pembanding. Hal itu tidak bijak.

Saya akui saya salah. Setelah kejadian tersebut saya merenung serius. Mungkin selama ini kita selalu merasa kalah, tak berdaya, dan paling sengsara. Perasaan tersebut berangkat dari pikiran bahwa kita selalu dikalahkan oleh orang-orang yang punya privilege yang tak bisa kita miliki.

Padahal, diri kita sendiri punya privilege yang juga belum tentu bisa dimiliki oleh orang lain walaupun sesederhana merasakan rasanya ikan belut yang gurih.

Puncak dari pikiran semacam ini adalah menjadikan kita sering lupa bersyukur. Kita sering menyisakan nasi dan lupa bahwa ada banyak anak di belahan dunia menderita busung lapar.

Kita sering membuang-buang air dan lupa bahwa kekeringan telah menyebabkan banyak orang meninggal. Kita sering mengeluh mendapatkan tugas sekolah yang menumpuk dan lupa bahwa grafik angka putus sekolah tak menurun secara signifikan.

Peribahasa Jawa mengatakan,

Urip iku sawang-sinawang,”

maknanya adalah jangan memandang manusia sebatas dengan persepsi karena apa yang kita persepsikan tentang orang lain belum tentu faktanya demikian. Daripada menyalahkan orang lain atas privilege yang dimilikinya bukankah lebih pantas jika kita berjuang untuk suatu hal?

Oh ya, perjuangan kita juga harus dilandasi rasa syukur karena tak semua orang bisa beruntung seperti kita. Kita boleh menatap langit namun kaki kita harus tetap menapak ke bumi.

Penulis: Iqbal Abizars
Ilustrator: Alif Yuniantoro
Penyunting teks: Yustin Paramita Dewi

--

--