Refleksi Tubuh dan Ruang dalam Palu Menari 2022

Mencatat Palu Menari Festival 2022

Adi Chandra Wira Atmaja
Komunitas Blogger M
6 min readDec 6, 2022

--

Palu Menari Festival 2022 (Dok. Pribadi)

Senin malam, 28 November, saya jadi bagian dari banyak pengunjung lainnya yang meramaikan pelataran Rumah Seni Sjahrir Lawide. Mereka adalah mahasiswa, pegiat seni, dan masyarakat setempat yang juga melapak dan menjaga laman parkir. Setelah sekian tahun ruang ini menjadi ruang diskusi, dan sesekali menjadi tempat pemutaran film, Komunitas Seni Lobo kembali menjalankan salah satu program tahunannya; Palu Menari Festival 2022.

Kondisi ruang tadi berkaitan erat dengan 4 tahun masa bencana. Palu dilanda bencana pada 2018; Gempa, tsunami, likuifaksi. Taman Budaya sebagai sentra kesenian hancur.

Belum juga pulih, bencana non-alam melanda; Covid-19, membatasi total ruang publik. Kondisi ini benar-benar berakhir hingga Maret 2022. Giat kesenian di Kota Palu tidak berjalan dengan optimal sekitar 4 tahun lamanya. Kecuali perfilman yang cukup fleksibel dalam penggunaan ruang.

Namun berakhirnya pembatasan sosial tidak serta merta memicu gejolak berkesenian di ruang publik. Selain perfilman, konser musik yang mendatangkan musisi populer dan festival musik entertaining lainnya; giat teater, tari, rupa, yang dahulu terpusat di Taman Budaya tidak juga mencuat. Kecuali sebagai karya pesanan, perlombaan, perayaan milad, atau giat-giat formalitas lainnya.

Palu Menari 2022 tampaknya merespon kondisi ini. Dengan “Tubuh dan Ruang” sebagai tema, Lobo menghadirkan 6 koreografer muda yang berasal dari Palu, Donggala, Buol dan Gorontalo. Mereka hadir untuk menubuhkan tema dalam ruang yang disediakan oleh Komunitas Seni Lobo malam itu.

Sedikit Cerita Soal Penampil

Untuk gambaran awal, kegiatan ini berlangsung selama 3 hari. Hari pertama sebagai rangkaian pembukaan, hari kedua dan ketiga menampilkan 6 koreografer utama.

Mereka menerjemahkan tubuh dan ruang dengan berbagai perspektif; ranah domestik, ritual adat, hingga cerita rakyat. Saya sendiri main ke Lobo di hari Kedua, tepat ketika tiga koreografer pertama; Tasya Qumaira (Palu), Ardan (Donggala), dan Rintha (Buol) menampilkan garapannya.

Katuvua Mombine oleh Tasya Qumaira (Dok. Pribadi)

Penampilan pertama bertajuk “Katuvua Mombine”, oleh Tasya Qumaira. Dari propertinya, tampak jelas Tasya sedang menubuh sebagai perempuan di ruang domestik; tungku dan wajan di kiri panggung, gelas dan bebatuan di tengah, dan peralatan make up di kanan panggung. Di tengah panggung terdapat kelambu, titik awal dimana penari keluar sembari menggendong bayi dan menegeskan sosoknya yang multi-peran.

Nisinto oleh Ardan (Dok. Pribadi)

Ardan dengan tajuk “Nisinto” tampil setelahnya. Ia berangkat dari ritual adat yang berasal dari Donggala; semacam penguatan mental bagi anak yang memasuki usia remaja. Ia menciptakan gerak-gerak simbolis dengan tetap berusaha menjaga gerak esensial dari ritual tersebut, beriringan dengan musik tradisional yang dianggap berfungsi sebagai sugesti spiritual bagi pelaku.

Pususan oleh Rintha (Dok. Pribadi)

Kemudian Rintha dengan “Pususan” menjadi penutup di rangkaian penampilan pertama. Koreografer asal Buol ini mengangkat cerita rakyat dari kampung halamannya. Mengisahkan Gaharu, sosok putri yang diperebutkan oleh sekelompok bangsawan, dan memilih untuk membunuh dirinya sendiri. Karya ini membagi geraknya berdasarkan dinamika peristiwa dari cerita rakyat itu; mulai dari pengenalan identitas sosok putri, hingga memasuki konflik dan kematiannya.

Survival Refleks oleh Dian Sarkawi (Dok. Pribadi)

Esoknya, rangkaian acara dilanjutkan oleh Dian Sarkawi dengan karya yang dinamainya “Survival Refleks”. Sesuai tajuknya, gerak yang ditampilkan oleh dian ialah refleks yang berasal dari insting bertahan hidup (Survival), atas stimulus yang dianggapnya sebagai ancaman di ruang publik. Kali ini cukup berbeda dengan yang lain bentuknya yang partisipatif; mengajak penonton untuk naik keatas panggung agar nantinya sang penari dapat merespon stimulus dari penonton yang berada disekitarnya.

Ni Made Sri Wulan Devi oleh Sri Wulan Devi (Dok. Pribadi)

Dilanjutkan oleh Sri Wulan Devi, dengan karya yang bertajuk nama lengkapnya sendiri, “Ni Made Sri Wulan Devi”. Garapan ini menerjemahkan tubuhnya yang diperlakukan secara khusus dalam ruang masyarakat etnik Bali sebagai perempuan dari kasta sudra, serta ketubuhan yang berbeda di luar dari ruang etnis nya.

Dapat dibayangkan bagaimana geraknya bermain dari “Bali” hingga keluar dari pakemnya, hingga melebur pada akhir. Pada garapan ini, Devi tidak ingin menegaskan pemberontakannya terhadap kasta; melainkan proses dari turbulensi yang ia alami akibat sistem kasta, hingga titik dimana ia mampu menyikapi berbagai perbedaan tuntutan dalam beragam ruang.

Terakhir, ialah “Tikam Jejak” yang ditubuhi oleh Ikbal Daud; Koreografer asal Gorontalo. Melalui tarinya, ia mengartikulasikan pengalaman dari sosok yang dihantui oleh jejak masa lalunya, dan berupaya untuk membunuh jejak itu hingga menyadari bahwa upayanya untuk menghapus jejak hanyalah menciptakan jejak baru lainnya.

Tikam Jejak oleh Muhammad Ikbal Daud (Dok. Pribadi)

Rangkaian penampilan pun ditutup dengan kolaborasi dari Mutmainah Korona, anggota DPRD Palu, Bersama 6 penari lainnya. Kolaborasi tak berjudul ini dimainkan dengan spontan oleh ketujuh penari hingga acara.

Konstruksi Tubuh dan Ruang

Photo by Timon Studler on Unsplash

Pemaknaan terhadap ruang menjadi begitu luas ketika menyaksikan interpretasi keenam koreografer; Mulai dari ketidakpercayaan tubuh terhadap ruang publik yang ditampilkan oleh Dian, ekspresi tubuh perempuan di ruang domestic oleh Tasya, hingga Tubuh yang dituntut untuk menyesuaikan diri dengan berbagai ruang yang berbeda oleh Devi. Tubuh tidak sekedar apa yang tampak secara fisik, tapi berbagai hal yang turut menyertainya; identitas, atribut, memori, hingga budaya. Dan ruang turut mempengaruhi apa yang disertai tubuh, juga dipengaruhi oleh stimulus dari berbagai tubuh di dalamnya.

Mari kita comot konsep Strukturalisme Konstruktif oleh Pierre Bourdieu, yang di dalamnya ada Habitus, Modal, Field dan Praktek. Habitus sebagai fenomena subjektif yang ada dalam setiap agen; hasil dari interkasi agen di dalam Field-nya, Modal sebagai sumber daya material maupun simbolis yang diperebutkan, dipertukarkan, atau dikumpulkan oleh agen, Field sebagai sebuah medan atau arena dimana agen saling berjibaku dengan modalnya, dan Praktik sebagai hasil dari interaksi Habitus dan Field-nya melalui Modal yang dimiliki agen.

Agar tidak larut dalam konsepnya, Habitus dan Agen bisa kita anggap sebagai “Tubuh” sementara Field dan Modal kita samakan menjadi “Ruang”. Tubuh sebagai fenomena subjektif, sedangkan ruang sebagai konstruksi objektif. Sementara itu, “Praktik” adalah produk dari peran aktif tubuh diantara pengaruh ruangnya.

Maka, ruang dan tubuh merupakan dua bagian yang saling berinteraksi satu sama lain. Tubuh tidaklah pasif menerima tuntutan ruang, dan ruang pun turut mempengaruhi tubuh. Berbeda dengan konsep lain semisal; Eksistensialisme, yang menjadikan diri sebagai penentu utama dan mengabaikan hal-hal diluar diri / Struktur; atau Strukturalisme yang menjadikan struktur sebagai penentu dan mematikan peran diri.

Ruang yang dimaksud bisa berupa; pertemanan, keluarga, hingga ruang publik. Bahkan dalam bentuknya yang paling praktis; ruang kerja misalnya, tak dapat disebut lagi sebagai ruang kerja jika dialihfungsikan menjadi kamar mandi. Dan tentu saja, perubahan fungsi itu dikerjakan oleh manusia dengan tubuhnya.

Dengan menyadari bahwa tubuh berperan aktif di dalam suatu ruang, dapat disadari pula bahwa kita mempunyai kemampuan untuk menciptakan ruang.

Hal inilah yang kemudian di tegaskan oleh Komunitas Seni Lobo, khususnya bagi koreografer, agar tidak bergantung pada ruang-ruang yang disediakan saja; yang menjadikan tari sekedar penampil seremonial pesanan semata. Bahwa belajar menari tidak hanya berhenti sampai menjadi penari undangan dalam suatu acara pembukaan.

Ini tentu berlaku bagi berbagai bidang seni lainnya. Te usah jauh-jauh, di Kota Palu misalnya, apresiasi seni belum begitu dikenal. Seni menjadi tempelan, sampingan, dan mengesampingkan hal-hal yang dapat ditelaah lebih dalam dari suatu karya itu sendiri. Seni menjauh dari diskursus dan kritik, menjauh pula dari literasi.

Tentu saja, seperti halnya konsep yang rumit diatas. Kondisi ini juga di dukung oleh agen atau pelaku seni itu sendiri, yang kalah dengan ruang; merayakan seni sebagai euforia perayaan tahunan, sarana kumpul-kumpul, karya pesanan, tanpa berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan yang baru dari tubuh dan ruang mereka sendiri.

--

--

Adi Chandra Wira Atmaja
Komunitas Blogger M

Akun ini saya buat untuk mengarsipkan ingatan, impresi dan pandangan subjektif saya atas berbagai hal; sosial, politik, budaya, seni, lokalitas.