“Salah Satu Anak yang Beruntung Itu Nikita Willy”

No, Tiap Anak Harus Merasa Beruntung!

Dyah Laras
Komunitas Blogger M
8 min readMay 11, 2024

--

Nikita Willy
Source: Instagram @nikitawillyofficial94

Jujur saja, saya menulis ini karena ke-trigger postingan Instagram @wina.shine_ tentang Nikita Willy yang berjudul, “Salah Satu Anak yang Beruntung Itu Nikita Willy”. Dan ya, punya orang tua yang memperlakukan anaknya dengan benar, membuatnya nyaman, percaya diri, tanpa membuatnya trauma, seperti Nikita yang kini jadi role model parenting banyak ibu muda di luar sana, jelas suatu keberuntungan. Pasalnya, tidak semua anak bisa merasakannya. Saya sendiri punya trauma masa kecil yang sampai sekarang masih meninggalkan cerukan dalam.

Saya masih mengingat jelas, orang tua saya memang tidak pernah bertengkar di depan kami, anak-anaknya. Saya tidak pernah mendengar teriakan mereka satu sama lain, barang-barang rumah yang terlempar dan pecah di sana-sini, bahkan kekerasan fisik. Tapi mereka melakukan “silent treatment” satu sama lain. Bukan berhari-hari, tapi bertahun-tahun!

Entah konflik apa yang sedang mereka alami, saat saya masih SD, bapak saya jarang tidur di rumah dan lebih memilih pulang ke rumah nenek, yang letaknya di RT sebelah. Kalaupun bapak pulang, dan harus satu ruangan dengan ibu, mereka tidak mempedulikan satu sama lain. Nasi, lauk, dan piring makan memang tersaji di meja, tapi ibu diam. Bapak juga diam. Kalau bapak pulang, suasana rumah yang tadinya ramai penuh celoteh anak-anak, langsung senyap dan membeku. Karena tidak adanya interaksi di antara orang tua saya dan mereka selalu saling menghindari satu sama lain, kami anak-anak juga jadi awkward berada di situasi ini. Kami cuma bisa diam dan takut salah.

Suatu hari, mereka bahkan berbicara pada kami secara terpisah, “Kamu mau ikut ibu atau bapak? Dunia serasa runtuh. Tidak adil. Sepanjang saya mengingat, itu adalah masa kecil terburuk saya, mungkin juga bagi saudara-saudara saya lainnya.

Sangat menyiksa rasanya berada di tengah-tengah mereka yang sedang berkonflik dalam diam. Saya selalu merasa cemas dan tidak aman di rumah saat mereka berada dalam satu atap dan rasanya mengerikan! “Saya harus bagaimana? Kalau orang tua saya berpisah, saya ikut siapa?”, adalah hal yang setiap saat muncul di kepala saya.
Saya bahkan pernah merasa sangat ingin lari dari rumah, menghilang, dan berharap punya orang tua seperti tetangga saya, yang selalu hangat satu sama lain. Iri rasanya melihat keluarga cemara di sekitar saya.

Saya tidak tahu apa yang mereka hadapi saat itu karena saya masih terlalu kecil untuk paham dan mengingat. Tapi, menjadi anak kecil yang hanya bisa diam melihat dan merasakan atmosfer membeku di keluarga ini saja rasanya sudah sangat menyesakkan. Kami, anak-anak, tidak pernah membicarakan ini satu sama lain, bahkan hingga kami dewasa saat ini. Kami membiarkan ini terjadi, bahkan tidak berpikir untuk meminta pertolongan dari luar (yang bisa saja mungkin ke nenek/ kakek/ guru/ lainnya), dan menjadi tersiksa sendiri diam-diam.

Ini adalah trauma masa kecil saya, yang tanpa saya sadari terus saya bawa hingga dewasa dan berpengaruh pada hubungan-hubungan saya di masa depan.

Saya Meniru Silent Treatment Itu!

silent treatment
Source: Pexels

Bertahun-tahun kemudian, saya dalam versi dewasa baru menyadari betapa besar dampak silent treatment yang dilakukan orang tua saya satu sama lain. Selain merusak jiwa kami anak-anaknya, saya bahkan melakukan hal itu pada pasangan saya!

Tidak membela diri, tapi di masa muda, hanya itu coping mechanism yang saya tahu dan pelajari dari orang tua saya! Saat ada masalah dengan pasangan, saya lebih memilih diam atau mendiamkannya, tanpa mau membicarakan, apalagi berdiskusi untuk mencari jalan keluarnya. Akibatnya, tidak pernah ada hubungan masa muda saya yang berhasil, terutama dalam hal komunikasi.

Saya ingat di masa awal-awal pernikahan, di usia 20-an saya, setiap kali ngambek atau tidak setuju dengan sesuatu, saya lebih memilih diam. Kalau saya rasa suami saya punya salah yang cukup besar, saya bisa mendiamkannya 2–3 harian. Bagi saya saat itu, ini adalah hal yang wajar, kan saya sedang marah, kan saya sedang ngambek, kan saya lagi males ngomong. Beruntung, suami saya adalah orang yang sangat sabar dan selalu berusaha membuka jalan komunikasi yang baik. Setiap kali saya melakukan ini, dia dengan sabar menunggu dan bilang “Take your time, I will wait until you’re ready to talk,”. Dan sungguh, it melts me…

Years later, banyak buku relationship dan parenting yang saya baca dan saya baru mengingat lagi, bahwa orang yang sedang kena silent treatment itu sungguh sangat tersiksa. Tulisan-tulisan itu mengingatkan saya bagaimana bingung, cemas, dan menyiksanya berada di situasi ini. Seketika saya merasa amat sangat bersalah pada semua orang yang pernah saya perlakukan seperti ini, terutama suami saya, dan bertekad mencoba memperbaikinya pelan-pelan. Saya tidak ingin orang lain mengalami hal yang saya rasakan dulu akibat hal ini, terutama orang-orang terdekat saya.

Sebenarnya saya tahu, membuka cerita masa kecil di sini bisa berarti banyak hal bagi orang lain yang membacanya: oversharing, membuka aib keluarga, dan sebagainya..
Tapi membuka trauma masa lalu juga berarti proses healing bagi saya sebagai anak, sebagai seorang istri, dan sebagai orang tua. Karena ya, saya harus sembuh.

Heal. Because we have children who doesn’t deserve the broken version of us.

Komunikasi Adalah Kunci

komunikasi
Source: Unsplash

Menyadari bahwa trauma masa kecil saya harus segera diperbaiki, saya mulai membuka diri. Saya ingin belajar menyembuhkan luka batin saya.

Saya bercerita pada suami, dia mendukung, dan kami berdiskusi. Kami membaca bersama, berusaha mencari cara healing dari semua itu, agar tidak memengaruhi hubungan kami dan cara mengasuh kami pada anak-anak.

Punya supporting partner adalah hal terbaik dalam hidup saya, di mana saya bisa bercerita semua dengan aman dan nyaman, menceritakan semua kecemasan dan kegelisahan, menerima masukan, dan kalau dia sedang tidak punya solusi, kami mencarinya bersama.
Komunikasi adalah kuncinya. Dan ini tidak diajarkan orang tua saya dulu.

Sebab, ya, saya setuju dengan postingan tentang betapa beruntungnya Nikita Willy di atas. Anak-anak bisa tumbuh dengan baik ketika mereka memiliki akses terhadap hubungan dan lingkungan yang aman, stabil, dan membina. Hubungan dan lingkungan ini penting untuk menciptakan pengalaman masa kanak-kanak yang positif dan mencegah pengalaman masa kecil yang buruk.

Saat kecil, saya nggak pernah merasakan words of affirmation. Saya tahu mereka sayang pada anak-anaknya, tapi orang tua tidak pernah menunjukkan atau menyampaikannya. Tapi tentu, ini semua baru saya sadari saat dewasa. Otak kita memiliki kemampuan unik untuk menyimpan pesan-pesan yang kita terima saat masih anak-anak.

Ketika kecil, dengan adanya semua hal traumatis di atas, saya mengingat di rumah saya selalu merasa bingung, cemas, tidak aman, takut, nggak dicintai dan nggak penting, dan saya menyimpan pesan-pesan tersebut selama bertahun-tahun.

Lalu, apa yang saya perbaiki sekarang berdasarkan masa kecil saya? Ini beberapa hal yang berusaha konsisten saya lakukan.

Saya Memastikan Anak-Anak Tahu Mereka Dicintai

Pada anak-anak, sejak mereka bayi, bahkan baru lahir, saya dan suami tak pernah absen bilang, “I love you”, “Bunda/ Ayah sayang kakak/ adik” dan memberikan mereka pelukan setiap saat. Dampaknya, anak-anak kami tak segan mengatakan, “I love you/ I miss you” pada keluarga — kakek, nenek, tante, om, bude, pakde, yang mereka benar-benar punya bonding.

Saat mereka berprestasi, menang lomba, lulus ujian, bahkan sekadar hasil ujian yang dibagikan, kami memberi apresiasi. Whatever their achievements, our kids deserve to be appreciated.

Saya Berusaha Tidak Mengkritik Anak

Kami mencoba tidak mengkritik anak, kami berusaha selalu meng-encourage mereka, kami berdiskusi, dan mencoba berbicara topik apa pun — bahkan asmara dengan anak remaja kami.

Ingin saya, saat mereka merasa dihakimi dan diperlakukan tidak adil di luar sana, anak-anak tahu ke mana harus bercerita. Memang sulit bagi orang tua yang dibesarkan tanpa komunikasi yang baik seperti saya untuk melakukan ini, namun anak-anak saya perlu tahu bahwa saya dan ayahnya adalah tempat yang aman untuk menyampaikan hal-hal yang sulit.

Pernah suatu hari anak bungsu saya minta uang untuk jajan, yang cukup jarang terjadi karena biasanya kami belanja jajanan bersama di minimarket. Meski deg-degan karena takut dia beli jajanan nggak sehat (bukan apa, anak saya punya riwayat alergi — walau bukan alergi yang mengancam nyawa), saya mengiyakan. Tentu dengan pesan, “Hindari jajanan semacam ini dan itu, karena kamu punya riwayat alergi,”.

Sepulangnya, jajan sudah habis dan anak saya mengaku hanya beli crackers. Meski curiga, saya diam saja dan mengapresiasi pertahanan dirinya atas keinginan untuk mencoba jajan macam-macam. Malamnya, dia batuk dan badan menghangat. Sambil memberinya minuman hangat, saya bertanya lagi, apa yang dia beli tadi sore. Saya berusaha bertanya dengan nada netral, tidak menuduh, agar anak mau jujur.

Nyatanya, dia langsung mengaku telah membeli es teh plastikan yang sudah lama dia ingin coba karena melihat teman-temannya sering beli. Sambil menangis, minta maaf, dia berjanji tidak akan mengulanginya. Rupanya, kejujuran dan keterbukaan yang biasa kami lakukan punya efek juga pada anak saya. Dia bilang merasa bersalah sudah berbohong dan sekarang mendapat ganjaran atasnya (alerginya kumat!).

Goal-nya, sebisa mungkin, saya ingin menjadikan rumah adalah safe place buat anak-anak dan kami adalah the right person yang bisa mereka ajak bicara, bahkan curhat, seperti yang diterapkan mamanya Nikita Willy.

Saat Nikita merasa aman curhat ke mamanya dibanding ke teman atau orang lain, saya merasa di situlah turning point-nya. Yes, anak memang harus merasa aman dan tidak merasa dihakimi oleh orang tuanya. Dan kami masih berusaha mewujudkan hal ini. Sebab, kalau anak merasa rumahnya bukan tempat yang aman, di mana dia malah tidak bisa jujur, jadi diri sendiri, dan bisa terbuka, dia akan mencari safe place di tempat lain. Ini tentu jadi hal yang menakutkan bagi kami.

Saya Tidak Segan Mengakui Kekurangan dan Kesalahan

Sama seperti orang tua lain, saya juga punya bad days. Kadang saat overwhelming dengan kondisi kerjaan, keuangan, dan sebagainya, situasi saya tidak kondusif untuk menerapkan positive parenting di atas. Ada kalanya saya marah, yelling, berbicara nada tinggi, bahkan pernah juga mengancam anak, “Kalau nggak sholat, nanti kami laporin ke Ustadzah lho,” dan beberapa hal lain untuk mempermalukan anak, yang saya sesali kemudian.

Untungnya, setelah emosi mereda, yang alhamdulillah nggak butuh waktu lama, saya menyadari kesalahan dan nggak segan meminta maaf pada anak. Pada mereka, saya mengaku sedang tidak stabil dan melakukan hal buruk pada mereka. Ajaibnya, karena saya dan suami tidak segan meminta maaf ketika kami salah, anak-anak pun menirunya. Ketika melakukan kesalahan, mereka selalu bisa bermuhasabah diri, mengakui, dan minta maaf. Mengucap maaf, terima kasih, dan tolong, adalah hal-hal yang sangat wajar di keluarga kami. Hopefully, mereka jadi pribadi yang lebih baik karenanya.

Jadi, jika Anda adalah orang tua atau calon orang tua, jadikan anak-anak Anda merasa beruntung, seperti Nikita Willy. Kalau Anda pernah mengalami trauma masa kecil, bahkan lebih buruk dari saya — I’m so sorry for what happened to you. But this too shall pass, and you must heal. Because your kids dont deserve the broken version of you. Ketika sudah saatnya Anda jadi orang tua, stop hal-hal buruk dan trautamatis hanya sampai Anda — jangan biarkan anak-anak Anda mengalaminya.

Dan untuk saya, terima kasih sudah berjuang menjadi versi terbaik dari dirimu. Saya tahu kamu bukanlah orang tua sempurna, keep learning and listening.

--

--

Dyah Laras
Komunitas Blogger M

a storyteller by day, a rapper by night, a long-life learner